Petuah Senior

6 1 0
                                    

Netra Embun kembali menatap nanar bangunan di depannya. Tidak pernah menyangka jika tempat ini hanya menjadi persinggahan sementara. Bahkan tidak sampai seumur jagung. Rumah kontrakan yang sedianya akan dia tempati tidak jadi disewanya. Keputusan sudah dibuat dengan bulat. 

"Embun, hari ini aku mau ngajarin kamu pengujian sampel stabilitas ya. Ini juga termasuk pekerjaan rutin. Tapi masuk jadwalnya mingguan. Bisa sekaligus dikerjakan pas analisa harian juga. Hanya beda di format laporan." Mas Nadhif menjelaskan dengan detail semua yang akan dilakukan Embun hari ini.

"Kowe mudeng ora? Kok dari tadi diem aja?" tanyanya lagi.

Mas Nadhif ini memang terkenal cuek dan sedikit galak. Tapi entah kenapa Embun justru banyak belajar padanya. Jika dihitung dengan skala, pengetahuan Mas Nadhif di lab ini nilainya sembilan dari sepuluh. Paling tinggi dan paling pintar dibanding semua analis yang lain.

"Iya siap bos. Sudah mudeng," jawab Embun sambil mengangguk.

"Nah, gitu dong. Aku seneng kamu cepet belajar. Pokoknya kalau nggak ngerti langsung aja tanya, nggak usah takut. Aku nggak nggigit." Embun hanya menanggapi dengan tawa banyolan seniornya.

"Mas, kalau aku resign gimana kira-kira?" tanya Embun pelan.

"Heh! Edyan tenan. Kamu mau keluar?" teriak Mas Nadhif.

"Duh, Mas, jangan kenceng-kenceng ngomongnya to. Ini aku curhat rahasia, kok sampeyan malah pakai toa mesjid." Embun bersungut kesal.

"Embun, kamu nggak inget ya susahnya masuk sini. Di luar sana, di belakang kamu ada ribuan orang yang udah ngantre, bahkan rela cuma jadi operator produksi atau tenaga packaging atau tenaga kasar lainnya, yang penting bisa masuk dulu. Lah ini, posisi kamu aja udah enak loh. Nggak nyesel nanti?" Mas Nadhif menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya dengan ulah juniornya yang baru kerja dua minggu itu.

Embun termenung. Pikirannya melayang pada obrolan dengan Bapaknya dua hari yang lalu. Pantas saja bapak begitu khawatir. Teman baru seperti Mas Nadhif saja ikut-ikutan khawatir.

"Em, kamu ngerasa nggak, sikap si Sigit ke kamu kurang suka, cenderung judes dan galak?" tanya Mas Nadhif sambil berbisik.

"Yo jelas ngerasa lah, Mas. Dari hari pertama malahan. Masa aku disuruh bikin semua reagent baru untuk analisa. Untung aja ada Mas Depra waktu itu. Embuh, aku juga nggak ngerti salahku apa. Padahal aku sopan-sopan aja loh sama dia." Aku malah curhat mengingat senior satu yang selalu sinis setiap saat itu.

"Weh, lah kamu belom tahu. Dia itu nganggep kamu ngusir dia, Em?" seru Mas Nadhif

"Loh, maksudnya piye, Mas?" Embun mengernyitkan dahi makin penasaran.

"Dia tadinya analis di lab sini. Setelah kamu masuk, dia dipindah ke bagian QC in process. Kalau QC in process kan kerjaannya capek. Nggak ada berhentinya. Keliling terus di ruang produksi. Kalau sudah di lab harus bikin laporan. Jauh lebih capek kerjaannya yang sekarang. Makanya dia kesel tuh sama kamu. Gitu loh ceritanya."

Embun benar-benar baru tahu fakta yang disampaikan seniornya. Perkiraannya selama ini ternyata salah.

"Lah tapi kan bukan salahku, Mas. Aku aja nggak ngerti opo-opo masalah itu," sewot Embun.

"Ya itulah namanya manusia, Em. Nggak ada puasnya. Sebenernya ini isunya sudah lama. Semua analis kimia di lab sini terutama yang masih junior dan lulusan SMK atau STM akan diganti dengan yang lulusan D3. Itu isu lama dari management. Semua orang di sini juga sudah tahu. Apalagi saat kalian mulai tes, suasana lab jadi agak panas. Banyak yang kasak kusuk yang di sini. Takut siapa yang bakal digeser. Salah satunya ya Sigit itu. Karena performanya kurang di lab, dia dipindah ke in process control."

Embun hanya mengangguk-angguk mengerti. Dia benar-benar baru tahu fakta ini.

"Jadi pikir-pikir lagi kalau mau resign. Kamu itu termasuk orang pilihan," lanjut seniornya.

"Terus gimana dong, Mas. Aku udah tanda tangan kontrak kerja di tempat lain."

"Weladalah. Lah kok nekat to kowe. Kalau udah gini nggak ngerti aku. Kamu tanya aja sama Depra, gimana cara ngadepin Bu Fitri." Mas Nadhif jadi iku sewot karena ceritaku.

"Yang perlu kamu ingat, Em. Kerja di mana-mana sama saja. Persaingan selalu ada. Pinter-pinternya kamu bawa diri. Selain otak, di tempat kerja yang lebih penting adalah attitude. Kamu masuk baik-baik, jadi usahakan keluarnya juga baik. Kalau udah gini, aku dukung keputusan kamu, Em."

Embun sedikit merasa lega selama ini berteman dengan Mas Nadhif yang luarnya gahar tapi lembut hatinya. Ah rasanya beban Embun sedikit terlepas. Masih ada orang baik di sekitarnya. 

"Tinggal mikir menghadap Ibu Manager, doakan aku ya, Mas," ucap Embun yakin.

Mas Nadhif mengacungkan dua jempolnya sebagai tanda dukungan.

Bismillah... Semoga semua dimudahkan.



Slice Of Life (Cerita Kita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang