Konsekuensi

9 1 0
                                    


"Pak, kalau Embun pindah kerja, bagaimana, Pak?"

Pagi itu Embun menyempatkan menelpon Pak Iman di kampung, setelah malam sebelumnya Embun sudah menitipkan pesan pada Pak Carik, tetangga bapak di kampung.

Komunikasi tercepat memang lewat telepon. Tapi satu kampung hanya satu orang saja yang memilikinya. Embun cukup salut dengan Pak Carik dan putra-putrinya yang bersedia direpotkan dengan menerima telepon dari para warga di perantauan. Menyampaikan pesan atau bahkan memanggilkan keluarga si perantau dengan segera.

"Loh, lah kerja baru masuk kok sudah mau pindah to, Nduk. Apa nggak sayang. Kemarin kan dapatnya susah. Tesnya saja berkali-kali. Waktunya juga panjang sampai lebih dari tiga bulan. Nggak ditelateni dulu saja, Nduk?"

Embun sudah memperkirakan respon yang akan dia dapat dari Bapaknya. Pemilik cinta pertamanya itu tentu saja akan khawatir. Itu juga yang membuat gadis itu tidak memberi kabar sebelumnya.

Selama ini orang tua Embun selalu demokratis. Mereka akan mendukung pilihan dan keputusan anak-anaknya selama masih pada jalur yang benar dan bisa bertanggung jawab dengan pilihannya. Jadi Embun pikir, kali ini Bapak dan ibunya juga akan mendukung pilihannya. Toh, gadis itu harus membuat keputusan dengan cepat.

Hanya satu yang harus dia lakukan. Meyakinkan orang tuanya.

"Pekerjaan yang baru ini di Bogor, Pak. Satu kali naik angkot dari kos. Gajinya lebih gede dibanding yang di Cikarang. Sabtu minggu libur, jadi Embun bisa lanjut kuliah lagi. Kalau yang di Cikarang, sabtu masih masuk setengah hari. Dan mulai bulan depan sudah mulai kena shift. Embun sudah hitung positif negatifnya, Pak. Jadi pilihannya balik ke Bogor." Dengan detail Embun menjelaskan semua hal yang sudah menjadi pertimbangannya.

"Lah nanti, kamu bakalan terus-terusan kerja di situ apa enggak? maksud bapak statusnya karyawan kontrak opo piye, Nduk?"

Dari suaranya yang bergetar, Embun tahu, Pak Iman masih ragu dengan keputusan Embun. Embun jadi merasa bersalah jadi menambah-nambah pikiran Bapaknya.

"Statusnya sama, Pak. Yang di Cikarang, kontrak dulu enam bulan. nanti dievaluasi, kalau kerjanya bagus, bisa langsung diangkat karyawan tetap. Nah yang di Bogor kontraknya malah hanya tiga bulan. Begitu tiga bulan selesai, langsung jadi karyawan tetap kalau memenuhi syarat," jelasnya

Embun mendengar desahan panjang dari pria kesayangannya di seberang sana.

"Padahal yang di Cikarang itu wis bonafid loh, Nduk. Kok yo malah pindah. Piye, Nduk. Wis. Bapakmu ini nggak mudeng. Tapi kalau sudah jadi keputusanmu, Bapak hanya bisa mendukung. Mudah-mudahan ini pilihan yang tepat."

"Insyaallah, Pak."

Walaupun sepertinya masih ada ganjalan, panggilan itu pun berakhir. Ada sedikit sesak di hati Embun, tapi dia merasa sangat yakin dengan jalan yang dipilih.

Sekarang, satu hal lagi yang masih harus dipikirkan Embun.

Mengundurkan diri baik-baik dari tempat kerjanya. Prosesnya mungkin akan sedikit sulit. Apalagi belum sebulan dia bekerja.

Di surat perjanjian kerja yang sudah ditandatangani sebelumnya, seingat Embun tidak mencantumkan harus membayar pinalti atau sejenisnya bila keluar kerja.

"Datang tampak muka, pulang tampak punggung" setidaknya itulah yang harus dilakukan. Dia datang baik-baik, jadi harus keluar dengan baik juga.

Terngiang lagi petuah salah satu dosennya. "Saat kalian sudah masuk ke dunia kerja, kalian tidak hanya membawa nama pribadi atau diri sendiri, tapi juga nama almamater. Jadi tolong kalian jaga nama baik kampus ini." Begitu kurang lebih yang disampaikan beliau.

Imbauan itu terus didengungkan karena ada beberapa oknum yang alumni yang berbuat seenaknya di tempat kerja. Masuk dengan baik, tapi keluar tanpa permisi, entah kabur karena tidak betah atau kasus seperti Embun. Pergi karena mendapat yang lebih baik.

Dari sikap kurang baik itu, bahkan beberapa perusahaan kesal dan tidak mau menerima karyawan dari alumni satu almamater Embun.

"Kenapa, Em. Bapakmu nggak setuju ta?" tanya Mbak Dita yang mendengar telepon Embun karena berada di meja makan.

"Iya, Mbak. Biasa lah khawatir gitu. Tapi nggak masalah sih, karena aku udah yakin juga," sahut Embun sambil menyeduh teh untuk mengawali paginya.

"Kalau menurutku sih, kamu jujur aja, Em. Sebenarnya tindakanmu kurang tepat juga. Seharusnya kamu nggak sembarangan tanda tangan perjanjian kerja baru dulu, karena setahu Mbak, perusahaan biasanya minta one month notice. Artinya Embun baru bisa keluar sebulan setelah pengajuan surat resign." Mbak Dita memberi pertimbangan.

"Tapi aku kan belum karyawan tetap mbak. Gimana tuh?" Serius Embun tidak tahu.

"Iya juga sih. Ya pokoknya menurutku besok kamu jujur aja sama HRD yang di Cikarang. Siapa tahu kan kamu malah ditawari yang lain. Gaji lebih gede misalnya," ucap Mbak Dita lagi.

"Nggak mungkin sih kayaknya mbak. Tapi makasih banyak sharingnya, Mbak Dit. Buat tambahan amunisi besok nemuin atasan," ucapku sambil menyeruput teh hangat di depanku.

"Mudah-mudahan Tuhan memudahkan semua jalanku," gumam Embun.


Slice Of Life (Cerita Kita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang