Surat pengunduran diri sudah Embun persiapkan. Berita tentang dirinya yang resign sebelum sebulan bekerja juga sudah tersebar di lab. Sebagian besar menyayangkan keputusannya yang dianggap gegabah.
Tapi Embun memantapkan hati, meyakinkan diri, bahwa langkah inilah yang terbaik. Dia yang akan menjalani semuanya, bukan orang lain.
"Kenapa mengundurkan diri. Kamu bahkan belum satu bulan bekerja di sini. Belum gajian loh," ucap Bu Fitri, manager QC yang akhirnya meminta Embun menghadap ke ruangannya.
"Mohon maaf , Bu, saya tidak tahu kalau ternyata harus bekerja shift." Amunisi pertama mulai Embun keluarkan. Sebenarnya dia tidak ingat apakah pada surat perjanjian, ada poin dia harus bersedia kerja shift.
"Kenapa nggak bilang dari awal kalau tidak mau shift? Dari tiga analis baru yang masuk, kamu adalah jagoan saya yang paling saya unggulkan." Bu Fitri berkata tegas penuh kewibawaan. Mengetahui fakta itu, membuatku sedikit bangga. Aku bisa menyisihkan puluhan saingan tanpa ada relasi atau nepotisme.
"Tapi kalau hanya karena itu, saya bisa atur supaya kamu tidak kena shift," lanjut Ibu Manajer.
"Sebenarnya saya berniat kuliah lagi, Bu. Rasanya sulit, kalau tetap di sini karena Sabtu masih harus masuk. Padahal saya berencana kuliah ekstensi di sabtu minggu." Amunisi kedua Embun tembakkan. Hatinya sudah deg-degan tak karuan.
Embun menunduk. Sebenarnya tidak ada alasan dia resah, karena memang dia merasa tidak melakukan kesalahan. Di dalam kontrak juga tidak dijelaskan denda atau pinalti bila mengundurkan diri.
Setelah perdebatan yang alot, dengan berat hati bu Fitri pun melepas Embun. Kata beliau, "Saya menghargai kejujuran kamu, Embun. Mudah-mudahan sukses di tempat yang baru."
Ah, senang sekali rasanya. Akhirnya dia akan pergi tanpa ganjalan.
***
"Padahal lab jadi ramai loh ada kamu, malah keluar," ucap Mbak Yoyoh, analis cantik yang juga istri Mas Depra sambil memeluk Embun.
Hari ini hari terakhir Embun bekerja di tempat ini. Tepat satu bulan kurang dua hari. Awalnya dia ingin membawa makanan. Tapi usulannya ditolak mentah-mentah oleh Mas Nadhif.
"Nggak usah repot-repot. Kamu aja belum gajian, pasti uangmu mepet buat transpor kan? Dah, besok kita masak mi aja. Bikin mi goreng sama martabak mi," ujarnya kemarin. Dia paham banget kondisi kantongku yang memang sudah sangat mengkhawatirkan.
Disinilah mereka sore ini. Saling berpelukan dan mendoakan semua hal baik yang terjadi. Bahkan Sigit sempat meminta maaf pada gadis itu atas sikapnya selama ini.
Benar-benar lega. Satu bulan yang akan dikenang Embun selamanya.
Setelah semua urusan di Cikarang selesai dan berpamitan dengan keluarga Eni yang selama ini sudah Embun tumpangi, akhirnya Embun bisa kembali menghirup udara Bogor yang selalu dirindukannya.
"Bogor, I'am back," ucap Embun lirih saat bis yang ditumpanginya memasuki terminal Bogor. Rasa letih perlahan terurai, berganti dengan bahagia.
Dibelinya buah tangan untuk teman-teman nya di kos. Beberapa kotak martabak manis bertabur keju dan meises coklat yang gurih dengan kilatan mentega di sisi-sisinya.
"Mbak Embun, telepon," teriak Eka saat gadis manis itu tengah menceritakan kisah petualangannya selama sebulan ini di Cikarang di ruang makan Wisma Cahaya.
"Dari siapa?" tanya Embun menghampiri Eka yang sudah senyum-senyum sambil memegang gagang telepon di tangan kirinya.
"Pacar," sahut Eka, yang mendapat sambutan heboh dari anak-anak kos yang sedang berkumpul.
"Kak Bayu, bukan?" tanya Rahma.
"Bukan. Ini mah Aa ti Bandung," ledek Eka sambil tertawa.
"Ehm, apa kabar?" tanya Embun dengan seseorang di seberang sana setelah mengucap salam.
Tiba-tiba terdengar Mbak Sita bersenandung
"Aku di sini... Kau ada di sana...
Membentang luas samudra biru
Memisahkan kita
Ingin ku berenang ke kotamu
Tapi takut tenggelam dan kau sedih..."Embun malah menyimak senandung Sita, begitu pun Awan.
"Ramai banget kayaknya di sana. Jadi kangen," sahut Awan.
"Kangen siapa nih," tanya Embun iseng.
"Sama yang lagi angkat telepon lah. Memang siapa lagi."
"Bisaan," jawab Embun singkat.
"Besok saya ke Bogor ya."
"Akhirnya..." ucap Embun girang.
"Kenapa? Ada masalah?" tanya Awan dengan nada khawatir.
"Banyak yang terjadi beberapa minggu ini, Wan. Aku bingung mau ngubungin kamu ke mana. Padahal aku benar-benar butuh seseorang buat sharing. Tapi udah aman sih sekarang mah. Besok aja deh cerita lengkapnya," jawab Embun.
"Nggak papa, cerita aja sekarang. Saya terlanjur penasaran nih."
"Panjang Aa. Nanti pulsanya mahal kalau ceritanya di telepon," jawab Embun gemas.
"Tadi panggil apa?"
"Apa? Aa?"
"Nah, harusnya dari dulu kamu panggil saya begitu. Saya lebih tua dua tahun loh dibanding kamu."
"Iya deh, yang udah tua," ledek Embun. "Lanjut besok aja ya, A."
"Yah, diusir. Padahal masih kangen," kekeh Awan membuat Embun tersipu.
"Ya udah. See you besok siang ya."
Telepon ditutup. Tinggallah Embun yang senyum-senyum sendiri. Teman-temannya sudah kembali ke kamar masing-masing.
Ini rahasia ya. Salah satu alasan lain Embun kembali ke Bogor adalah Awan. Awan yang selalu menenangkan. Awan yang sudah membuatnya nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Slice Of Life (Cerita Kita)
General FictionManusia tidak akan pernah tahu kehidupan di depan sana. Tidak bisa mengira walau hanya semenit saja. Begitu juga aku. Untukku, hidup seperti menaiki tangga. Untuk mencapai tangga ke seribu aku hanya perlu menapakinya satu per satu