Embun melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanan Awan, masih delapan lewat lima menit. Masih ada dua jam menuju jam sepuluh. Jam malam yang berlaku di kos hanya di malam minggu. Karena di hari biasa penghuni kos mematok jam malam tepat di jam sembilan.
Embun memegang jam tangan Awan dengan tangan kirinya. Ngomongin jam tangan, suatu ketika, Indi, adik kelas Embun pernah menyeletuk, "Gue suka sama cowok lo, Mbak."
Embun hanya melongo bingung dengan maksud Indi. Hingga dia segera meralat pernyataannya. "Sorry, maksud gue, gue suka cowok yang pake jam tangan di pergelangan tangan kanannya kayak cowok lo, gitu," jelasnya sambil mesem-mesem. Membuatku ikut menyunggingkan senyum."Kenapa lihat jam saya sambil senyum-senyum. Jadi deg-degan saya," ujar Awan.
"Nggak papa. Lagi inget temen yang suka sama cowok yang pakai jam tangannya di sebelah kanan. Ada-ada aja."
"Kalau kamu?" tanya Awan sambil menaik-naikkan alisnya.
"Apaan sih?" Embun yang tersipu hanya melengoskan wajah dan menyikut lengan Awan.
Lima sahabatnya sudah pamit dari tadi saat selesai makan dengan alasan mau mengerjakan tugas kuliah, yang sudah jelas bohong. Mana mungkin mereka rajin begitu. Selama ini hanya Embun yang merepotkan dirinya untuk membereskan semua tugas kuliah, sementara sahabat-sahabat nya tinggal menyalin saja.
Awan mengajak Embun ke seberang. Mereka duduk di undak-undakan teras depan kantor pos bersebelahan dengan tenda nasi goreng yang juga menjadi favoritnya. Malam minggu tempat ini cukup ramai. Beberapa muda-mudi asik menikmati kudapan yang dipesannya. Beberapa lagi hanya sekedar mengobrol seperti yang dilakukan Embun dan Awan.
"Kamu beneran nggak mau kopi?" tanya Awan sambil menyesap segelas kopi hitam yang terlihat nikmat.
"Enggak. Aku nggak bisa ngopi," jawab Embun. " Aku pernah diajak nemenin temen nunggu pasien di rumah sakit. Ceritanya temenku lagi pedekate sama temenku yang lagi sakit. Sebagai ucapan terima kasih, dia membelikan segelas kopi hitam, itu juga kopi sachet yang diseduh air panas. Tapi efeknya, semaleman aku nggak bisa tidur, jantungku berdetak kencang dan harus bolak-balik kamar mandi untuk buang air kecil. Sejak saat itu, aku sadar, kalau aku nggak bisa ngopi," cerita Embun.
"Kamu nggak deg-degan gara-gara cowok yang beliin kopi itu kan?" tanya Awan iseng.
"Nggak lah. Dia mah udah anggep aku emaknya. Lebih sering bikin kesel dari pada seneng. Bangun tidur aja udah ke kosan minta bikinin kopi." Embun bercerita penuh semangat.
"Em, kok saya cemburu ya sama temen kamu itu. Bisa dibuatin kopi tiap pagi," celetuk Awan.
"Dih. Nggak perlu lah . Dia itu cuman males aja masak air. Kosnya juga hanya selang lima rumah dari kosan aku. Jadi tiap pagi dia bawa kopi sendiri ke kos minta diseduhin," jelas Embun.
"Iya. Saya percaya sama kamu. Cuma nggak percaya sama temen kamu itu," sahut Awan kalem.
"Ehm... Em, kamu kuliah berapa lama lagi?" tanya Awan lembut.
"Dua tahun kayaknya. Kenapa Aa?" ledek Embun.
"Duh, kamu panggil Aa, otak saya langsung blank. Lupa mau ngomong apa tadi?" tanya Awan sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
"Hm, dua tahun ya? Temen-temen saya udah pada nikah, Em. Malah banyak juga yang udah punya anak," ucapnya pelan.
"Maksudnya gimana, A?"
"Ya, saya mau juga. Mm... menikah. Saya kan bukan pegawai yang punya gaji tetap, atau punya dana pensiun buat hari tua. Pinginnya sih nggak mau lama-lama. Biar saat anak-anak perlu biaya, saya masih kuat bekerja. Jadi kalau memang sudah mantep, ya udah, nikah gitu. Gimana Em?" Awan dengan pelan dan runut menyampaikan maksudnya.
Embun terhenyak. Saat ini di kepalanya belum ada lagi target menikah.
"Ya udah atuh, nikah," sahut Embun pelan.
"Maksudnya, Em? Kamu mau nikah sekarang sementara kamu juga masih kuliah," Awan masih bingung dengan pernyataan dari gadis manis di sampingnya.
"Ya kalau aku, maunya nanti setelah lulus," gumaman Embun pelan, tapi masih dengan jelas didengarnya.
Awan mengembuskan napas lelah.
"Kalau saya mau sekarang, sementara kamu mau dua tahun lagi, kumaha atuh, Neng. Saya pinginnya saya sama kamu nikah di hari sama, dengan nama kita tertulis dalam undangan yang sama."
Dada Embun rasanya sudah ingin meledak. Wanita mana yang tidak bahagia saat ada seseorang mengajaknya menikah. Mengikat janji dengan Tuhan.
Seketika otaknya memunculkan gambar-gambar orang tuanya, adik-adiknya, kuliah, pekerjaan, pernikahan, lalu potongan-potongan itu berputar cepat di kepala hingga ia kebingungan mana yang akan lebih dulu diraihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Slice Of Life (Cerita Kita)
General FictionManusia tidak akan pernah tahu kehidupan di depan sana. Tidak bisa mengira walau hanya semenit saja. Begitu juga aku. Untukku, hidup seperti menaiki tangga. Untuk mencapai tangga ke seribu aku hanya perlu menapakinya satu per satu