Kegalauan Embun

10 2 0
                                    


Embun masih bergeming. Dinginnya malam semakin menusuk tulang. Genggaman tangan Awan sedikit menghangatkan.

Dulu sekali Embun pernah berkhayal, menikah dengan salah seorang sahabat, lalu bulan madu dengan hiking atau naik gunung, menikmati romantisme cinta dengan memasak bersama di depan tenda, saling berpeluk mesra di atas matras, berbaring di dalam sleeping bag sambil menikmati indahnya angkasa. Nggak muluk liburan di hotel berbintang lima, karena di sana dia dapatkan tempat ternyaman di bawah jutaan bintang. Terdengar menye-menye mungkin, tapi begitulah adanya.

Pernah juga membayangkan pria itu adalah Awan, yang akan menemaninya hingga tutup usia. Tapi entah mengapa saat ini rasanya begitu benar tapi juga salah dalam waktu bersamaan.

Suasana hening, hanya angin malam yang semakin memberi gigil. Sang gadis mengembuskan napas panjang.

"Wan, kamu laki-laki baik..." ucapnya pada akhirnya dengan lirih tapi jelas terdengar.

"Nggak papa kalau nggak kamu jawab sekarang, Em. Take your time," potong Awan. "Jangan langsung menolak saya dengan alasan saya pria baik atau terlalu baik. Itu alasan paling konyol dan nggak masuk akal menurut saya. Jadi lebih baik, ambil waktu kamu buat memikirkan tawaran saya. Saya nggak buru-buru. Tapi lebih cepat lebih baik," ucapnya sambil tersenyum.

Embun hanya menanggapi dengan anggukan. Sungguh hatinya ingin bersorak "Yes" tapi otaknya masih memikirkan banyak hal. Terutama restu ibunya.

***

"Awan itu orang tuanya tinggal di mana?" tanya Bu Rum di malam sebelum Embun wisuda. Siang harinya Embun memperkenalkan Awan pada Bapak dan ibunya.

"Orang Bandung asli, Bu," jawab Embun penuh semangat.

"Weleh, berarti orang Sunda ya? Pak, piye iki. Kalau Embun dapet orang Sunda gimana, Pak. Adoh tenan to, Pak, Bandung itu." Belum apa-apa, Bu Rum sudah diliputi banyak kekhawatiran. Tentang Embun yang akan menetap ratusan kilometer terpisah dari mereka kalau sudah menikah, repotnya saat ingin menengok cucu nantinya dan pikiran-pikiran negatif lainnya.

Begitulah orang tua memandang anaknya. Sampai kapan pun anak tetaplah anak yang ikatannya tidak pernah hilang dari hati dan pikiran.

"Nggak usah mikir jauh-jauh dulu to, Bu. Embun saja masih muda. Jalannya masih panjang. Nak yo ngono to, Nduk?" Embun berbinar senang mendapat dukungan dari Pak Iman.

"Tapi yo kalau bisa, dapet jodohnya yang deket aja. Sama-sama orang Jawa. Biar gampang. Nggak ada kesulitan komunikasi. Nggak ada masalah yang muncul karena beda tradisi. Intinya meminimalkan masalah. Masalah orang hidup itu banyak. Jadi kalau ada yang bisa dikurangi kenapa nggak. Gitu to, bu?"

Embun hanya bisa meneguk ludah. Resah membayangi masa depan hubungannya dengan Awan.

"Lah temanmu yang sering main ke rumah itu kuliah di Bogor juga kan, Nduk?" Bu Rum masih bertanya menyelidik.

"Siapa, Bu? Arga? Beda kampus dia mah. Besok dateng kok ke tempat wisuda bareng temen-temen yang lain. Tapi ya nggak bisa masuk gedung, kan undangannya dibatasi." Penjelasan Embun membuat wajah Bu Rum berbinar.

"Nah, kenapa nggak sama Arga itu. Anaknya baik, sopan, lucu. Ibu nggak bisa nahan tawa kalau dia lagi ngobrol sama bapakmu."

Embun mendesah. Bagaimana menjelaskan ke Bapak dan Ibunya. Kenapa lagi kudu belok ke Arga. Jelas-jelas Arga itu temen doang.

***

Kekhawatiran orang tua Embun sedikit banyak mempengaruhi pikiran gadis itu. Hatinya menjadi gamang. Rasa ragu perlahan datang. Baginya restu bapak ibu tetap nomor satu.

Belum lagi kehebohan teman-teman Embun saat mendapati Awan yang menjadi pendamping wisudanya.

Pelototan Bayu dan interogasinya di pojok gedung menambah pusing kepala. Ditambah lagi sahabat-sahabat perempuan Embun yang kurang setuju dengan Awan.

"Lo yakin sama Awan? Dia aja datengnya nggak jelas. Suka-suka dia. Kadang tiap minggu dateng, kadang sebulan penuh nggak dateng. Okelah sekarang masih tahap penjajagan. Tapi pikirin juga saat nanti kalian benar-benar menikah." Kurang lebih begitu kekhawatiran mereka.

Hingga akhirnya Embun memilih menjalani yang ada. Biar waktu yang menjawab semua tanya yang masih belum terjawab.

Tuhan pasti lebih tahu apa yang terbaik untuk semuanya.

Slice Of Life (Cerita Kita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang