Embun dan Bayu berjalan beriringan di trotoar yang malam ini sedikit basah sisa gerimis tadi sore. Embun mengunci kedua bibirnya. Pikirannya melayang pada siapakah sosok yang sedang menunggunya saat ini di kos. Tangannya memegang kuat kedua tali tas ranselnya. Tidak berbeda dengan Bayu yang tidak mengeluarkan sedikit pun suara.Embun berjengit saat tangan Bayu merangkul pundaknya, membimbingnya untuk menyeberang jalan utama yang mengelilingi Kebun Raya Bogor.
"Tumben diem lo, Bay?" tanya Embun pelan.
Bayu mengembuskan napas lelahnya. "Patah hati gue," jawabnya singkat.
Embun menatap Bayu sekilas. Dilihatnya wajah Bayu yang mengeras. Tulang pipinya yang tinggi dengan rahang kokoh dan hidung mancung menjadi sebuah pahatan yang indah anugerah dari Tuhan. Sepertinya Tuhan sedang tersenyum saat menciptakannya.
"Kasih tahu gue dulu, Em. Siapa yang datang jauh-jauh dari Bandung ke Bogor malam-malam begini?" Bayu menuntut jawaban.
"Kok lo tahu kalau dia dari Bandung?" tanya Embun penasaran.
"Ayu tadi yang bilang. Namanya Awan. Awan mendung kali. Tahu nggak sih, gue kesel. Makanya dari tadi gue diem."
Embun masih mencerna apa yang baru saja dikatakan Bayu, senyum mengembang dari bibirnya.
"Kenapa lo senyum-senyum sendiri. Siapa Awan?" desak Bayu.
"Kawan dari Bukit Siguntang," jawab Embun singkat. Lalu pikirannya menerawang pada awal pertemuannya dengan sosok Awan Satriaji, tiga bulan yang lalu. Pertemuan romantis dalam sebuah perjalanan mengarungi laut cina selatan.
Flash back (pov Embun)
Agustus 2000
Waktu menunjukkan jam sepuluh pagi. Kapal yang aku tumpangi akan segera berangkat. Menurut jadwal, aku akan terapung di lautan selama kurang lebih 24 jam dari titik awal di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, sampai besok merapat di Tanjung Priok, Jakarta. Tidak ada satu pun teman atau setidaknya orang yang aku kenal di antara ribuan penumpang di sini.
Aku mendapat tempat di dek tiga di kelas ekonomi. Dalam satu ruangan sebesar ini hanya pemandangan ratusan tempat tidur yang berjejer diselingi lorong-lorong sebagai jalan. Barang-barang penumpang yang diletakkan tidak beraturan membuatku pusing. Untung saja aku hanya membawa sebuah tas ransel, jadi aku bisa meletakkan di ujung tempat tidur dengan nomor yang sama dengan yang tertera di tiket.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain membaca buku dan menonton televisi yang dipasang di beberapa area. Sudah berjam-jam aku di ruangan ini. Setelah makan roti dan salat yang kulakukan dengan jama' qasar zuhur dan asar, aku mulai bosan. Sementara perjalanan masih amat panjang. Suasana yang penat, hingar bingar orang berjualan mulai dari makanan sampai peralatan elektronik seperti kamera bahkan televisi, membuat kepalaku berdenyut. Aku memutuskan untuk keluar ruangan berharap bisa mendapatkan udara segar.
Angin laut yang cukup kencang segera menampar pipiku begitu aku keluar dari geladak. Kuhirup udara segar sambil berdiri dan berpegangan di pagar pembatas. Dimana-mana yang kulihat hanya air dan air saja. Tapi di sini paling tidak aku bisa menikmati kesendirian.
Untuk apa sebenarnya aku melakukan ini semua. Melintasi Pulau Sumatera sendirian dengan bekal seadanya, bahkan tanpa perencanaan yang matang dengan dalih refreshing dari skripsi dan revisi. Aku sekedar ingin melarikan diri. Dari perasaan yang salah. Dari cinta yang tidak tepat. Menjatuhkan hati pada sahabatku sendiri, yang ternyata diam-diam jatuh cinta dengan sahabatku yang lain. Ah, mengingatnya membuat dadaku kembali sesak.
Aku sibuk menikmati indahnya senja sambil sesekali berbincang dengan penumpang lain, sampai tak terasa azan magrib berkumandang.
Aku menuju ke Musala yang berada di dek tujuh, paling atas di kapal ini.
Musala di kapal PELNI Bukit Siguntang ini ternyata cukup bersih dan nyaman. Sambil mengantre berwudu, aku menyapa bocah laki-laki yang duduk di sebelahku. Ternyata dia sedang menunggu ayahnya yang sedang sembahyang. Tidak lama ayahnya selesai dan menyapaku.
"Mau salat mbak?" sapanya.
"Iya Pak," jawabku singkat.
"Kalau boleh tahu mau ke mana mbak?" lanjutnya. Kapal yang aku naiki ini akan berlayar hingga Ujung Pandang. Beberapa kali transit, salah satunya di Tanjung priuk, tujuanku.
"Saya mau ke Jakarta Pak."
"Oh, asli Jakarta?" tanyanya lagi.
"Bukan pak, dari Jakarta saya lanjut ke Bogor," sambungku.
"Bogor na ti mana teh?" sahut sebuah suara lain di belakang si bapak dengan logat sunda lemes. Seorang pria muda berambut gondrong dengan alis tebal, hidung bangir dan senyum manis. Penampilannya juga cukup santai tapi terlihat keren. Celana kargo, kaos bergambar Barong dan sepasang sandal gunung. Begitu pas, tidak ada yang kurang.
"Saya di Bojong Neros A', deket Kebun Raya," jawabku singkat.
"Oh ya, saya Awan, asli Bandung," lanjutnya sambil mengulurkan tangan mengajak berkenalan."
"Saya Embun, bukan asli Bogor sih, tapi saya kuliah di sana." Aku membalas uluran tangannya.
"Wah seneng banget saya ketemu temen satu daerah, udah bertahun-tahun di sini nggak ada yang bisa diajak ngomong sunda." Matanya berbinar dengan tatapan lembut dan bersahabat.
"Saya nggak terlalu bisa ngomong sunda loh, bisa pun sepertinya nggak berani karena bukan sunda halus," jawabku sambil tersenyum.
"Ah teu nanaon Teh, nu penting mah batur salembur," ucapnya riang.
Lalu seperti layaknya sahabat lama yang sudah bertahun-tahun kenal, kami mengobrol sepanjang malam di dek teratas Bukit Siguntang ditemani kerlip berjuta bintang.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Slice Of Life (Cerita Kita)
General FictionManusia tidak akan pernah tahu kehidupan di depan sana. Tidak bisa mengira walau hanya semenit saja. Begitu juga aku. Untukku, hidup seperti menaiki tangga. Untuk mencapai tangga ke seribu aku hanya perlu menapakinya satu per satu