Kawan dari Bukit Siguntang

18 4 2
                                    

Perjalanan yang tadinya aku kira akan begitu membosankan ternyata menjadi hal yang paling mengesankan. Mungkin tidak akan pernah terulang.

Aku sudah melewatkan makan malam, saat perut terasa kerocongan hingga menimbulkan bunyi yang memalukan.

"Udah makan belum tadi?" tanya Awan sambil menatapku.

"Belum. Nggak nafsu lihat penyajiannya," sahutku singkat.

Oh iya, di Kapal Bukit Siguntang yang membawa ribuan penumpang ini, kami mendapat fasilitas makan. Tadi aku lihat orang-orang mengantre mengambil jatah. Hanya saja aku seketika tidak tega makan karena nafsu menghilang saat menatap penyajiannya. Sebuah baki dari logam yang disekat di beberapa sisi sebagai pemisah nasi, sayur dan lauk tanpa penutup di serahkan begitu saja. Mungkin karena aku berada di kelas ekonomi. Aku langsung berbalik keluar antrean dan memilih makan roti, bekal yang untung saja aku bawa.

Sebenarnya ada juga restoran di dek atas, cuma aku harus berhemat dengan uang saku yang diberikan omku dari Tanjung Pinang.

"Mau ke resto? atau pesan Pop Mie? Banyak tuh yang jualan." Awan sudah turun dari tempat duduknya.

"Pop Mie aja deh, kayaknya cocok dingin-dingin begini." Aku ikut beranjak.

"Eh, kamu tunggu sini aja. Saya sebentar doang pesan. Jangan kemana-mana ya, saya butuh teman." potongnya.

Aku hanya mengangguk setuju.

Sepuluh menit kemudian, Awan sudah datang dengan membawa dua cup Pop mie dan air putih kemasan botol. Disampirkannya sebuah sweter biru laut di pundakku.

"Pakai sweternya. Anginnya lumayan kencang." Awan mengaduk mi dalam cupnya. Aroma soto menguar membuat air liurku menetes. Benar kata Awan. Mungkin kami salah memilih tempat mengobrol karena bisa saja besok kami masuk angin terkena angin laut dari segala arah..

Tapi sepertinya tempat ini paling enak. Berada di luar kapal di dek paling atas sensasinya seperti berada di roof top paling tinggi dari gedung bertingkat. Tidak ada penghalang antara aku dengan langit malam yang indah bertabur bintang. Rasanya ribuan inspirasi puisi bisa aku dapatkan di sini.

Sementara sejauh mata memandang hanya samudera tak bertepi yang menemani. Akan lebih romantis seandainya pria di sampingku saat ini sang kekasih hati. Ah pikiranku mulai berulah. Aku ingin melarung semua kenangan sendu dari masa lalu, bukannya malah berkhayal yang lain.

"Ayo dimakan mi-nya mumpung masih hangat," Awan mengangkat cup mi miliknya yang tinggal separo.

Aku mencium sweter yang menggantung di pundakku.

"Tenang, belum saya pakai sweternya, harum pewangi pakaian aja itu," Awan seakan tahu apa yang kupikirkan.

"He-he, sorry, refleks, kamu nggak pakai? Nanti malah kamu yang masuk angin," ucapku.

"Nggak lah, saya kan laki-laki. Harus kuat," sahutnya sambil mengepalkan telapak tangan kanannya.

Aku segera mengenakan sweter Awan dan menyantap Pop mi yang ternyata masih panas. Aku sebenarnya tidak terlalu suka dengan mi instan cup ini, tapi ternyata menyantapnya di saat-saat begini, di atas kapal yang melaju begitu tenang rasanya sungguh pas.

"Kamu kuliah di mana? Saya punya banyak teman di Bogor. Kapan-kapan saya mampir ya."

"Oh ya? Saya kuliah di AKA. Kayaknya kamu nggak bakal tahu deh. Kampusnya itu kecil di depan pasar Ramayana. Sama sekali nggak tenar di Bogor. Malah lebih terkenal pasarnya dibanding kampusnya." Aku berbicara yang sebenarnya. Kampusku itu memang sangat mini. Hanya ada tiga ruang kelas saja, sementara setiap angkatan ada dua kelas. Bisa dibayangkan begitu padat jadwal ruang kelas itu. Apalagi saat pergantian kelas dengan jeda waktu yang tidak terlalu lama, lorong akan padat dan penuh dengan mahasiswa.

Saking kecilnya, sampai-sampai singkatannya diplesetkan jadi Akademi Kecil Amat. Selain itu banyak sekali mahasiswa mahasiswi yang berjodoh di kampus mungil itu. Dosen maupun stafnya juga banyak yang masih kerabat. Dijuluki lagi lah jadi Akademi Keluarga Aing. Seru lah. walaupun kecil tetap aku cinta.

"Pasar Ramayana mah saya tahu. Teman saya ada yang rumahnya di Empang, ada juga yang di Malabar. Lumayan hafal lah, walaupun sudah lama nggak ke sana," sahut Awan senang.

"Kamu kerja di sini?" Aku tidak tahan untuk bertanya.

"Saya kerja di Batam. Udah empat tahun, jadi pingin pulang. Kayaknya nggak balik lagi untuk seterusnya. Mau nyoba cari kerjaan di Jakarta atau Bandung aja, walaupun mungkin kesempatannya nggak banyak, karena saya hanya lulusan STM, bukan anak kuliahan." Tatapannya menerawang ke laut lepas. Suara ombak yang bergesek dengan laju kapal halus terdengar. "Orang tua saya juga maunya begitu," lanjutnya.

"Iya atuh, pulang kampung membangun desa. Kasihan sekarang jumlah petani makin berkurang. Anak mudanya semua merantau ke kota." Aku membetulkan rambutku yang sudah awut-awutan terkena angin laut dan mengikatnya dengan karet rambut yang dari tadi aku jadikan gelang.

"Kamu udah nikah?" tanyaku iseng.

"Ha-ha-ha... Memang tampang saya udah kayak bapak-bapak? Lagian kalau udah nikah, mana berani saya ngobrol sama perempuan lain. Mana berduaan doang, sepi pula. Asli. Sebenarnya suasananya romantis banget sekarang." Dia melirikku sambil tersenyum. Rambutnya yang panjang ikal sebahu dibiarkannya melambai tertiup angin. "Empat tahun lalu saya memang punya seseorang. Tapi menjalin hubungan jarak jauh ternyata tidak mudah. Berkomunikasi hanya lewat surat yang tidak begitu intens, jarang bertelepon. Ah, entahlah saya aja nggak tahu status hubungan saya saat ini. Mungkin akan jelas saat kami bertemu nanti," jelasnya.

Ah, ternyata sudah ada yang mengisi hatinya. Aku hanya membalas dengan senyum kecut.

Awan satriaji, dengan kemampuannya menghidupkan suasana membuat malam itu berlalu tanpa terasa. Bahkan kami masih berbincang hingga jam tiga pagi seakan tidak ada esok atau lusa.

Bersambung...

Slice Of Life (Cerita Kita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang