Anak Baru

7 1 0
                                    


Embun menatap tajam gedung bertingkat di hadapannya. Tak disangka rejeki yang Tuhan berikan,  berada nun jauh di Cibitung , Cikarang.

Biasa dengan hawa sejuk di Bogor, membuat Embun harus berusaha keras menyesuaikan diri di sana. Air di bogor itu dingin banget, kadang habis magrib udah nggak berani mandi saking dinginnya. Tapi di Cikarang, sesaat setelah mandi saja badan kembali berkeringat. Airnya juga kurang segar. Tapi ya, mau bagaimana lagi kalau sudah rezeki.

Untuk sementara Embun tinggal di rumah sahabatnya, Eni di Bekasi Timur sebelum mendapat tempat kos yang layak. Eni ini teman kos sekaligus teman sekelas waktu kuliah.  Jadi Embun sudah sangat akrab dengan keluarganya juga.

Tidak muluk yang diinginkannya. Cukup jalani saja hari ini, karena tidak ada yang pernah tahu eaok atau lusa.

***

"Kamu bawaannya siapa, Embun? Wah namamu unik, adem," ujar Mas Nadhif pada Embun. Mas Nadhif ini salah satu senior analis di tempat kerja gadis itu, sebuah pabrik mi terbesar di Indonesia itu.

"Maksudnya gimana, Mas. Aku nggak mudeng," jawab Embun. Embun benar-benar tidak paham dengan pertanyaan seniornya.

Gadis kurus itu menjalani tes dari awal bersama tiga puluh lebih kandidat yang lain. Mulai tes psikologi, beberapa kali tes wawancara, hingga akhirnya diterima. Butuh durasi yang panjang hingga kurang lebih tiga bulan. Dia tidak pernah merasa punya koneksi di sini.

"Analis baru kan yang diterima ada tiga orang. Dewi itu bawaannya Pak Nanang, supervisor produksi. Katanya ponakannya. Terus si Ari kan adik iparnya Kang Ucup. Makanya saya tanya. Soalnya di sini susah masuk kalau nggak ada orang dalam." Pria berusia kepala empat itu berusaha menjelaskan dengan detail maksudnya.

"Oh gitu. Saya sih nggak pakai orang dalam, Mas. Nggak ada yang kenal blas, sama sekali. Sebatang kara saya mas di sini." Dengan mantap Embun membuka jati dirinya.

"Berarti kamu pinter dong. Soalnya yang saya tahu bu Manajer kalau nyari orang nggak main-main," ucap seniornya lagi.

Dalam hati Embun kebingungan mencerna ucapan Mas Nadhif. Nggak main-main tapi kok nepotisme. Ya udah lah. Embun kan hanya ingin bekerja, bukan mencari masalah.

Sebagai anak baru, Embun harus mengikuti begitu banyak training. Dia merasa cukup senang karena mendapat banyak teman baru, sedaerah pula.

"Mas, kalau mau analisa FFA pakai reagentnya yang mana ya?" tanya Embun pada Mas Sigit, salah seorang senior juga, hanya beda bagian. Mas Sigit bertugas sebagai QC IPC (In Process Control). Jadi tugasnya lebih banyak di lapangan. Melakukan sampling dan beberapa analisa langsung secara in situ seperti pH, kekentalan dan lainnya

"Kamu sudah baca prosedurnya belum?" tanya Mas Sigit menyelidik. Nada bicaranya cenderung sinis dan galak.

"Sudah, Mas. Sudah saya catat di buku juga. Saya buat bagan biar gampang. Tapi saya belum tahu reagent yang sudah di meja boleh dipakai atau nggak? Atau saya diharuskan membuat dulu semua dari awal. Lumayan banyak soalnya," jawab Embun.

"Ya bikinlah sendiri. Masa mau pakai punya orang," jawab Sigit ketus tanpa melihat ke arahnya.

Embun hanya beristigfar dalam hati. Jadi begini dunia kerja yang orang bilang keras. Gadis itu hanya mengingat petuah bapak ibunya agar bisa membawa diri di mana pun berada.

"Oh, ya udah kalau harus gitu. Makasih, Mas," balas Embun mencoba ramah. Bagaimana pun dia anak baru di sini.

Sepertinya hari ini akan jadi hari yang sangat panjang, pikirnya.

Embun mulai menghitung. Dia berusaha mengingat lagi, berapa gram reagent padat yang dibutuhkan untuk membuat cairan 2 Molar. Belum lagi ada beberapa reagent yang cukup rumit pembuatannya.

"Em, belum mulai analisa?" Seseorang mengagetkannya Embun yang sedang menimbang. Gelas piala, labu ukur, gelas ukur, semua sudah siap di atas mejanya.

Ditolehkan kepalanya ke arah suara. Ternyata Mas Deni. Embun mudah mengenali senior yang satu ini karena unik. Saat kenalan, dengan santainya dia langsung bilang, "Saya udah punya istri. Tuh," ucapnya lucu sambil menunjuk seorang wanita cantik berkerudung yang juga seorang analis. Mungkin maksudnya biar Embun nggak naksir atau istrinya nggak cemburu, karena memang Mas Deni ini manis dengan bodi oke. Satu lagi dia tidak mau dipanggil Deni. Dia lebih dikenal dengan panggilan Depra kependekan dari Deni Prasetyo.

"Ini mas, saya bikin reagent dulu semua. Nanti kalau udah selesai, baru mulai analisa," jawabku sambil kembali menimbang reagent dengan neraca analitis.

"Lah memang reagent yang udah jadi habis semua. Banyak itu loh, Em." Mas Depra menunjuk telunjuknya pada deretan reagent yang berjejer rapi di meja analisa.

"Memang yang itu, boleh dipakai, Mas?" tanya Embun heran.

"Ya boleh banget. Nanti kalau yang di meja habis, baru silakan kalau mau bikin. Yang banyak sekalian biar bisa dipakai yang lain juga," sahut Mas Depra kalem.

"Lah tadi Mas Sigit nyuruh saya bikin sendiri. Jadi bingung saya, Mas."

"Oh, Sigit." Mas Depra tersenyum misterius sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Embun pakai aja yang di meja. Kalau takut sama Sigit, jangan pakai yang bikinan dia. Kan ada inisial pembuatnya di tiap label reagent. Sabar ya, Em. Nggak papa banyak tanya kalau nggak ngerti."

Embun mengangguk dan mengucap terima kasih pada senior baik hatinya itu.

"Ah, besok-besok mending aku tanya ke Mas Depra aja kalau gitu. Udah ganteng, baik lagi, sayang udah punya istri," ucap Embun bermonolog. Mau tak mau lengkungan di bibirnya muncul begitu saja. Memang selalu ada dua jenis manusia di dunia.

Slice Of Life (Cerita Kita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang