Hari Penentuan

15 5 1
                                    


Hari ini akan menjadi hari penentuan bagi Embun. Setelah berbulan-bulan berkutat dengan penelitian, skripsi, revisi tiada henti, sidang akhir pun tiba.

Sedikit banyak Embun berterimakasih pada Awan yang walaupun jauh, sesekali masih menyempatkan datang menemanimya membereskan skripsi. Saat dilanda malas dengan revisi, Awan juga yang tidak pernah bosan mengingatkan.

Sebagai ucapan terima kasih, Embun menyematkan namanya dalam prakata, dengan kata-kata manis "untuk kawan dari Bukit Siguntang". Ah sungguh indah sekali.

Setelah semua pembimbing ACC dan mendapat waktu yang pas dan sesuai dengan tiga orang penguji, keluarlah jadwal sidang hari ini Kamis jam 10 pagi.

Salah satu penguji hari ini merupakan dosen favorit Embun.  Masih terngiang saat satu minggu yang lalu dia mengantar undangan sekaligus menyerahkan berkas skripsi kepada Pak Agus, salah satu dosen yang sangat bersahaja.

"Wah, skripsinya tentang Zeolit. Gimana, kamu sudah ngelotok kan dengan seluk beluk Zeolit?" ucap Pak Agus sambil membaca sekilas judul skripsi Embun.

"Ya, lumayan, Pak. Saya fokus di cara aktivasinya, Pak," Jawab Embun.

"Tapi tetap saja harus tahu dasarnya juga. Sifat, karakteristik dan lainnya. Tuh, saya ada text booknya." Pak Agus menunjukkan sebuah buku teks bersampul hitam dengan ketebalan  kurang lebih delapan sampai sepuluh sentimeter.

Embun hanya terbelalak menatap buku itu. Belum baca saja kepalanya sudah pusing, apalagi kena timpuk buku itu, bisa-bisa langsung pingsan.

"Kalau kamu mau, bisa saya pinjamkan," lanjut Pak Agus sambil tersenyum.

"Mau banget, Pak," sahut gadis itu penuh semangat.

Setelah mendapat beberapa wejangan, Embun pun undur diri.

Dan hari ini penentunya. Dengan setelan kemeja putih dan rok hitam, Embun melangkah mantap menuju ruang ujian sidang akhir. Dia sudah berusaha menyusun skripsinya sebaik mungkin. Seminggu terakhir ini bahkan dia minta ijin untuk tidak mengajar privat dulu, demi mempersiapkan semuanya. Membuat materi presentasi yang menarik dan mempelajari hasil penelitiannya lebih dalam.

Walaupun sepertinya sedikit terlambat, Embun sempat membaca buku teks dari Pak Agus terutama poin-poin penting yang kemungkinan akan ditanyakan dalam ujian. Dia juga mempelajari kembali dasar-dasar kimia analitik, reaksi kimia yang mendukung sampai metode statistik yang digunakan. Sungguh rasanya kepalanya sudah ngebul.

Sehari kemarin, Arga, salah seorang sahabatnya yang berbeda kampus dengan Embun, malah dengan tega menjemputnya dari kos dan mengajaknya refreshing di timezone hingga menjelang senja.

"Ya Allah, Embun Kinara, tahu nggak sih, muka kamu udah kayak zombie. Pucat banget. Kucel lagi, udah berapa hari nggak mandi," omel Arga saat melihat sahabatnya dari SMA itu.

Begitulah hingga akhirnya Embun tidak bisa menolak ajakan Arga. Dan benar saja. Pikirannya rasanya lebih jernih. Badannya juga lebih segar setelah satu jam bermain basket di arena bermain itu.

"Awas aja ya, Ga. Kalau sampai hafalanku rontok gara-gara main basket, kamu harus tanggung jawab."

Arga hanya mengerling. "Nggak mungkin, Kin. Kamu itu cerdas, pintar dari lahir, rajin pula. Besok insya Allah lancar.

Pagi tadi Embun juga mendapat pompaan semangat dan doa restu dari keluarganya walaupun hanya melalui telepon singkat saja.

Saatnya tiba. Setelah merapalkan doa, Embun melangkah mantap memasuki ruang ujian. Menyapa ramah para penguji dan pembimbing. Melakukan presentasi dengan super lancar. Menjawab pertanyaan-pertanyaan penguji dengan sigap, dan setelah satu setengah jam yang sedikit mencekam, nilai sempurna A didapatkan gadis itu.

Embun keluar ruangan dengan wajah semringah dan binar bahagia. Dia disambut teman-temannya yang sudah menunggu di luar untuk berebut mengucapkan selamat, mereka saling berpelukan. Menangis bersama penuh haru dan bahagia.

"Alhamdulillah... Beres juga perjuangan gue. Yuk lah, gue traktir es cendol depan kampus sama kue pancong Mang Nana," teriaknya pada teman dan sahabatnya.

"Em, telepon nih dari Bayu," Rina mengulurkan ponselnya pada Embun.

Embun baru meletakkan benda hitam pipih itu di telinganya saat teriakan Bayu mengagetkannya.

"Hai Em, selamat ya... Akhirnya perjuangan lo nggak sia-sia. Gue pingin peluk tapi jauh, gimana nih? Sorry gue nggak bisa cuti buat ngasih dukungan lo. Sebagai gantinya, nanti malam gue traktir. Lo yang milih tempatnya," cerocos Bayu.

"Thanks, Bay. Peluk-peluk, pohon depan kampus noh lo peluk sambil main india-indiaan. Eh lo kan masih gawe, kok bisa nelpon?"

"Iya ini gue nyolong-nyolong demi lo. Lagian dua puluh menit lagi istirahat. Ya udah deh. Selamat sekali lagi ya..."

Setelah mengucapkan terima kasih, Embun menutup panggilan dan mengembalikan ponsel itu pada si empunya.

Embun sudah berada di depan kampus bersama teman-temannya saat pandangannya bersiborok dengan sosok di depan sana. Dengan senyum lebar pria itu menghampiri sang wanita.

"Selamat ya, Em. Saya bangga sama kamu," ucap sosok itu sambil menjabat erat tangan Embun.

Setelahnya dia mengulurkan hadiah. Bukan setangkai mawar atau karangan bunga, tapi tiga kotak donat lengkap berbagai rasa.

Embun tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Diterimanya kotak-kotak itu sepenuh jiwa. "Makasih Awan... Kamu memang tidak bisa ditebak."

Dan suasana kembali riuh dengan pesta donat dadakan dari Awan. Kawan dari Bukit Siguntang.

Slice Of Life (Cerita Kita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang