3.

711 87 5
                                    

tw// trauma, violence


"Aku pulang..."

"Oh, Terima Kasih Tuhan. Tuan Hoseok.."

Hoseok yang basah kuyup menoleh ke arah bibi Kang. Sedikit berlari ke arahnya sambil memasang wajah lega dan takut. Dibahunya terdapat handuk seakan sudah mempersiapkan. "Tuan dari mana saja? Bibi khawatir." Jelasnya sambil memberikan handuk pada Hoseok.

Bibi Kang seperti ibunya. Tulus
menyayanginya, yang baginya cukup.

"Aku terlambat pulang les, Bibi. Ponsel ku juga mati, dan tertinggal Bis terakhir. Maafkan Aku sudah membuatmu khawatir." Jawab Hoseok. Membelai pipi keriput Bibi Kang, tersenyum menandakan bahwa ia baik-baik saja.

"Kau selalu membuat semua orang kerepotan dan mengkhawatikanmu!!!"

Hoseok mematung seketika, mendengar suara lain yang tak asing namun lama tak terdengar. Hoseok menangkap raut wajah ketakutan Bibi Kang. Mengkhawatirkan yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri, sedih ketika melihat putranya akan mendapat masalah.

Hoseok menelan salivanya yang bercampur air hujan susah payah. Tak menampik dirinya pun ketakutan mendengar suara dominant ayahnya, namun ia buang. Hoseok mencoba tersenyum pada Bibi Kang, mengatakan tanpa bersuara pada wanita paruh baya di depannya yang sangat mengkhawatikannya. Tenanglah. Aku tidak apa-apa. 

Hoseok berjalan menuju ruang perapian, tempat dimana ayahnya berdiri sambil menghisap rokoknya tepat didepan bingkai fotonya beserta keluarganya. Termasuk Hoseok dan mendiang ibunya.

"Selamat malam, Ayah." Sapa Hoseok kepada ayahnya. Membungkukan tubuhnya tanpa memberi hormat kepada yang lebih tua.

"Dari mana saja kau? Tidak lihat diluar sana hujan deras, Hah?! Kau mau mati kedinginan??!!"

Hoseok masih diam. Ia tak mau menatap ayahnya yang sedang marah. Ia tak mau melihat mata ayahnya yang saat ini menyalang. Hoseok gemetar tentu saja, tetapi ia membenci sifatnya ayahnya yang sekarang. Maka dari itu, Hoseok tidak mau menatap ayahnya.

PAKKK!!!!

Hoseok yang hendak menatap, seketika merasakan pipinya panas karena tamparan keras dari ayahnya. Hoseok mendengar isakan ketakutan Bibi Kang. Menutup mulutnya agar tidak menimbulkan suara yang pasti akan membuat Tuan besarnya semakin marah.

Hoseok sudah terbiasa, sangat terbiasa. Tidak kaget ketika ayahnya pulang untuk melampiaskan kemarahannya pada Hoseok. Menurutnya, ini tidak seberapa. Tubuhnya seakan beku dan kebal dengan semua kekerasan dari ayahnya. Tidak merasakannya sama sekali.

Cuiihh...

Hoseok membuang liurnya yang bercampur darah. Menegakan kepalanya menghadap kedepan wajah ayahnya. Datar, namun ia tidak bisa melakukan apa-apa. Semua akan percuma, membela diri sendiri pun tak ada gunanya. Maka dari itu, Hoseok tetap diam. Merasa baik-baik saja, menganggap tidak terjadi apa-apa. Mungkin ayahnya sangat lelah saat ini, sehingga butuh pelampiasan untuk mengeluarkan semuanya.

"Maafkan Aku, Ayah. Aku... ceroboh." Hoseok membungkuk lagi.

"Anak tidak tau diri!!! Masih untung kau aku besarkan!!! Jika tidak, kau sudah jadi gelandangan diluar sana!!!"

Hoseok masih membungkuk, namun tangannya terkepal keras hingga buku tangannya memutih. Sakit hati. Iya, Hoseok sangat sakit hati. Bisa-bisanya Ayah kandungnya sendiri berbicara seperti itu terhadap anaknya. Tak apa jika Hoseok terus dipukuli sebagai pelampiasan emosi dari ayahnya, hanya saja ia tak sanggup mendengar kata-kata kasar yang keluar dari mulut ayahnya sendiri.

Ayahnya membuang putung rokok kearah wajahnya, sehingga sisa apik yang berada diujung rokok itu mengenai wajah sebelah kirinya. Hoseok Hanya diam. Ia tak ingin menambah Amaral ayahnya. Yah, lebih baik seperti ini. Ayahnya berlalu menuju ruang kerjanya, sementara itu Bibi Kang berlari tergopoh-gopoh menuju Hoseok. Mengusap lembut dan sayang punggung pemuda yang sudah ia anggap anaknya itu.

"Tuan..."

"Aku tidak apa-apa, Bibi." Jawab Hoseok yang masih mempertahankan senyumnya. " Bisakah aku minta tolong untuk menyiapkan air hangat untukku? Aku ingin sekali mandi air hangat."

Bibi Kang mengangguk setuju, "Tentu, Anak ku. Aku akan menyiapkannya untuk mu. Tunggu lah sebentar ya, Sayang." Hoseok mengangguk kegirangan. Ia memang butuh berendam malam ini. Menenangkan emosinya dan meredam sakit pada wajahnya dari tamparan ayahnya dan putung rokok yang mengenai wajahnya.

♤♤♤♤♤

Setelah Bibi Kang selesai menyiapkan air hangat untuk Hoseok mandi, wanita paruh baya itu menawarkan teh hangat untuk diminum Hoseok.

"Nanti letakan saja di nakas ya, Bi. Mungkin aku akan lama."

"Baik, anak ku. Aku akan membuatkan teh terbaik untukmu."

"Teh buatan mu selalu menjadi yang terbaik. Dan itu sudah mutlak." Jawab Hoseok yang sekaligus menggoda dan menghibur Bibi Kang agar tidak terlalu mengasihani apa yang Hoseok dapet malam ini.

Bibi Kang memeluk Hoseok erat, mengusap punggung nya penuh kasih sayang.

"Akan ada dimana hari kamu akan bertemu dengan orang yang benar-benar tulus menyayangimu, Nak. Pemuda yang baik sepertimu, akan di pertemukan dengan orang yang sama baiknya."

Hoseok terdiam. Merasa lucu dengan apa yang dikatakan pengasuhnya itu. Lagipula siapa yang akan menyayanginya dengan tulus? Sedangkan Hoseok type yang pemilih untuk menjadi temannya. Sebenarnya ia lelah terus berpura-pura, ia ingin mencari hidupnya sendiri. Namun terhalang dengan nama keluarga Jung yang tersemat di namanya. Dan Ayahnya akan kembali murka padanya.

"Tetaplah menjadi baik, Nak. Karena kita tidak akan tahu, rahasia apa yang Tuhan sembunyikan dengan apa yang kita alami sekarang. Bibi sangat mengenalmu, bahwa kau akan kuat dan tabah menghadap semuanya. Seperti ibumu."

Hoseok termenung dengan semua kata-kata yang diucapkan Bibi Kang. Tubuhnya yang hampir sepenuhnya tenggelam didalam bath tub, yang menyisakan kepalanya bersandar.

Apakah akan ada hari yang bahagia untuknya? Apakah ia masih diberikan kesempatan pada Tuhan untuk bahagia sekali lagi dihidupnya? Setelah kepergian sang ibu.

Tanpa sadar, airmatanya Menezes di seluruh pipinya. Mengingat sang ibu, membuat hatinya perih. Lama kelamaan bagusnya bergetar dan isakan itu semakin lama semakin terdengar. Tubuhnya yang penuh lebam terlihat samar-samar, namun Hoseok tak peduli. Sakitnya tak sebanding dengan sakit batinnya.

Dimana hujan yang masih turun, menyamarkan suara tangis pilunya.

O N L Y (VHOPE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang