cerita dibalik mendung

7.9K 1K 87
                                    

"Ayah.."

Pagi yang mendung dan dingin seolah cukup bisa mempresentasikan bagaimana perasaan Jeno hari ini. Tubuh kurus yang bagai tulang berbalut kulit adalah hal yang pertama kali menghantam dan menyakiti relung Jeno sebagai seorang anak. Jeno pikir, ayahnya yang dulu hidup serba berkecukupan dan sangat sehat kini telah kehilangan hampir separuh bobot awal tubuhnya.

Tapi kesakitan Jeno tidak hanya berhenti sampai disitu. Sejak dua puluh menit pertama kedatangannya— yang juga menjadi pertemuan pertama mereka setelah sekian tahun— sampai dua jam yang diberikan oleh sipir berakhir, rupanya ia dihentak kenyataan bahwa Donghae juga bermetamorfosa menjadi seorang tua yang mengidap penyakit alzheimer.

Jeno sempat bertanya-tanya, kenapa ia tidak diberitahu sama sekali atas hal ini? Atau, apakah pihak yang menaungi para tahanan tidak mengecek kesehatan mereka secara berkala? Atau juga, kenapa ayahnya dibiarkan kesakitan sampai-sampai melupakan banyak hal yang menjadi ranah pribadinya sejak lama secara perlahan? Bukankah jika sampai lupa dengan bagian DNA nya sendiri berarti sudah masuk pada tahap kronis? Itu berarti ayahnya adalah penderita pada tahap berat, kan?

Semua pertanyaan yang menjurus pada kata kenapa terus berputar-putar di kepala dan mendesak pasokan udara.

Jeno, yang tadinya hendak mengajak bicara ayahnya dan menceritakan betapa indah Amerika, pertemuannya dengan sang ibunda, karirnya, juga meminta restu atas pernikahannya dengan Jaemin yang akan dilangsungkan tak lama, akhirnya memilih kembali menelan semua rancangan kalimatnya bulat-bulat.

Pandangan kosong dan penuh tanya yang Ayahnya tunjukkan seolah sudah cukup menjelaskan bahwa sekarang bukanlah waktu yang tepat. Biarlah Jeno kembali bersabar dan mengalah, pada jahat yang entah sudah kian keberapa mengejek jalan hidupnya.

"Waktu kunjungan sudah habis, Jeno-ssi.."

Lingkaran besi dingin kembali dipasang pada kedua tangan Donghae, disusul derap langkah sipir yang menuntun pria itu agar kembali ke dalam ruang sempit tahanan.

Donghae sendiri masih menatap Jeno dengan kepalanya yang mulai terasa sakit. Panggilan ayah yang sudah lama tidak didengarnya kembali tersemat, membuatnya pusing dan sedikit terusik.

"Tunggu!" Jeno beranjak dari duduknya, menghampiri pria berseragam polisi yang wajahnya terlihat tak bersahabat. "Apa saya bisa membawa ayah saya lain waktu ke rumah sakit?"

"Untuk itu, akan saya bicarakan pada yang berkaitan nanti,"

"Nanti? Kapan? Sampai ayah saya mati karena tersiksa dengan penyakitnya?" Jeno tersulut emosi. "Ayah saya sudah pada tahap tidak bisa mengenal saya sebagai anaknya sendiri. Apa anda masih percaya pada kata nanti jika orang tua ini adalah orang tua anda?"

Sang sipir yang masih mempertahankan rautnya menggeleng, membuat Jeno menghembuskan napas kasar ke udara. "Tanpa ditanya pun kami masihlah manusia, Tuan Lee Jeno. Kami masih memiliki nurani meski terhadap para pembunuh yang raganya terjebak untuk waktu lama di sini. Kesehatan dan hidup para narapidana adalah tanggungan kami juga negara, jadi jangan khawatir. Para dokter pun satu bulan sekali datang untuk mengecek kesehatan mereka, terlebih para narapidana lanjut usia." ucapnya memberi penjelasan.

"Lain waktu datanglah lagi ke mari, dan jika diperkenankan kami akan membuat surat agar anda bisa membawa Tuan Donghae melakukan pemeriksaan sendiri ke rumah sakit."

Sembari mencium punggung tangan ayahnya, Jeno yang sedari tadi mendengarkan alibi sang sipir menganggukkan kepalanya samar. Ia toh, tidak bisa berbuat apa-apa meskipun statusnya adalah anak, karena ayahnya sekarang berada dalam pengawasan ketat negara dan tak memungkiri bahwa jika ia bertindak konyol, maka itu akan membahayakan dirinya juga sebagai warga negara.

"Baiklah, terimakasih.." sahutnya seraya mengulas senyum tipis.

"Kembali kasih, Tuan Lee Jeno. Kalau begitu permisi."

Langkah Donghae yang agak tertatih mengikuti sang sipir masuk kembali ke dalam lorong yang Jeno ketahui dikhususkan bagi para narapidana kelas berat seperti ayahnya. Dengan dibatasi oleh jeruji tinggi bersensor, Jeno berteriak, memanggil ayahnya yang sudah masuk ke dalam sel.

"Ayah! Jeno sayang Ayah! Lain kali Jeno datang lagi, Ayah harus sudah ingat Jeno ya?"

" ... "

"Jeno pulang dulu ya, Ayah? Ayah baik-baik di sini ya? Dah, Ayah!"




---




Saat ditanya bagaimana bisa Jeno memaafkan dan mendamaikan hatinya yang rusak akibat perlakuan buruk sang ayah padanya di masa lalu dengan begitu mudah, maka jawabannya adalah..

.. Renjun.

"Aku belajar banyak dari Renjun, Na." jawabnya, begitu Jaemin dengan segala rasa penasaran akhirnya berani bertanya. "Dia mengalami banyak kesulitan karena perbuatanku, tapi dengan lapang mau memberi maaf.."

Jeno mengambil rebah di sebelah Jaemin, meletakkan kepalanya pada paha sang submisif. "Sejujurnya aku masih malu Na kalau membicarakan Renjun," lanjutnya dengan senyum kaku. "Rasanya bahkan kaya aku nggak pantes buat sekedar sebut nama dia."

"Jeno, kamu cuma lagi terjebak sama kesalahan kamu di masa lalu. Inget? Sebelum ke Amerika, kita semua sudah berdamai, kan?"

"Tetep, Na.. rasanya aku masih nggak pantes buat dapet maaf dari Renjun,"

"Aku ngerti kok.." Jaemin tersenyum, kemudian menepuk-nepuk pipi Jeno dengan lembut. "It's okay Jeno, kamu udah berusaha jadi baik, itu lebih dari cukup. Jangan terlalu banyak merasa dan menerka-nerka, karena hati manusia nggak ada yang bisa menebak. Kalau Renjun bilang sudah memaafkan, berarti dia memang sudah memaafkan kamu.. dan tugas kamu sekarang hanya membuktikan,"

"Membuktikan apa?"

"Membuktikan kalau maaf yang kamu terima bukan hal yang sia-sia. Kasih bukti ke semuanya ya Jen, kalau Jeno yang sekarang berbeda dengan Jeno di masa lalu.." Jaemin mengecup lama puncak kepala Jeno, membuat lelaki dibawahnya tersenyum lebar hingga lengkungnya memunculkan sabit yang indah. "Kamu orang baik, Jen, aku tau itu bahkan sejak awal kita ketemu."

Jeno menggenggam tangan Jaemin yang berada di kepalanya, kemudian tersenyum dan berucap dengan sangat manis. "Terimakasih ya, Na.."

"Sama-sama, Jeno!"

Dengan hanya ditemani suara dari mesin penghangat ruangan di sudut kamar, kedua anak manusia itu kini sudah saling berpelukan dengan selimut yang menutupi sampai batas leher. Jeno sendiri hampir terlelap kalau saja Jaemin tidak kembali mengajaknya berbicara, perihal.. anaknya.

"Omong-omong, kalau diliat-liat lebih teliti ya, ternyata Junhyuck mirip banget lho Jen sama kamu.." begitu katanya, yang langsung mengundang keantusiasan sekaligus mengusir kantuk Jeno.

"Oh yaaa?"

"Iya Jenoo! Oh, tunggu sebentar.." Jaemin merogoh ponselnya, memainkannya sebentar sebelum menunjukkan foto Junhyuck yang disandingkan dengan foto Jeno.

Debar jantung Jeno mendadak berdetak tak beraturan sesuai ritme

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Debar jantung Jeno mendadak berdetak tak beraturan sesuai ritme. Perutnya terasa dipenuhi oleh ribuan kupu-kupu, mengantarkannya pada sensasi euforia yang familiar. Disana, Junhyuck nya sedang tertawa menghadap kamera. Dengan sepasang mata membentuk lengkung sabit yang khas diturunkan darinya, juga senyum lebar yang sangat mirip dengan Renjun.

"Dia, benar-benar anakku ya, Na?"











---

uwugami | hyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang