👶🐬

14.2K 1.2K 221
                                    

"Haechan, kamu jangan mondar-mandir di depanku begitu bisa nggak?" Renjun melayangkan protes sebal saat suaminya yang sejak empat puluh delapan jam lalu menemaninya di ruang rawat, tak henti berjalan mondar-mandir dihadapan sembari menggerutu dan melirik arloji di tangan kanan yang katanya sangat lamban.

Suaminya yang masih belum mandi dan mungkin juga belum makan apapun sejak semalam— romantisasinya pria itu hendak menemaninya menjalani puasa sebelum operasi caesarea dilakukan— tak henti mengeluh meratapi waktu sambil sesekali ikut meringis waktu Renjun mengerang kesakitan akibat kontraksinya.

"Nggak bisa!" Haechan menghentikan aksi mondar-mandirnya, kemudian menghampiri sang istri yang wajahnya kini pucat bukan main. "Kenapa jam sepuluh lama banget sih?! Aku nggak tega banget deh liat kamu kesakitan begini dari kemarin.."

Renjun merotasikan mata, berusaha sabar menghadapi Haechan yang kerap bersikap aneh kalau sedang dilanda panik. Ibu hamil itu lantas menarik lengan suaminya, memintanya untuk duduk di kursi sebelah sembari menumpuk kedua tangan mereka di atas perut buncitnya.

"Jam sepuluh dikit lagi kok.." Renjun menyeletuk. Kepala Haechan yang kini berada di atas lengannya diusap lembut, kemudian dikecup puncaknya dengan sedemikian sayang. "Kamu jelek banget kalau panik gitu. Mana belum mandi,"

"Apa itu mandi?" Haechan mengusakkan kepalanya malas, meminta afeksi lebih pada si ibu hamil yang kembali meringis karena sakit pada perut bawahnya akibat si jabang bayi yang seolah memberontak tak sabar minta dilahirkan.

Renjun lalu mengedar pandang ke sekeliling, menyesap suasana sepi nan asing yang tak diinginkannya. Hanya ada dia dan si calon papa dari dua anaknya, berdua, sama-sama saling menguatkan dan memberi tenang.

Tapi meski begitu rasanya tidak ada yang salah. Tidak apa-apa Papa dan Mama atau bahkan kedua mertuanya tidak ada di sini menemaninya, tidak apa-apa sahabat-sahabatnya yang sedang berjuang dengan banyak tugas dan jurnal rumit tidak ikut merasakan euforia menyambut keponakan gendut keduanya, tidak apa-apa juga hanya dia dan suaminya seorang yang berada di ruangan serba putih dengan dingin melingkup menusuk tulang. Karena nyatanya Renjun sadar bahwa kehadiran suaminya lah yang paling ia butuhkan, esensi paling nyata dari apa yang orang sebut sebagai perjuangan.

"Sshhh huh—" Renjun menggenggam erat tangan Haechan, mencoba tetap tenang saat kontraksinya semakin intens ia rasakan. Kemeja biru laut yang melapisi tubuhnya sudah basah oleh keringat, begitupun dengan wajahnya yang tak kalah banjir dan semakin bertambah pucat.

"Aku harus apa buat ngurangin rasa sakit kamu?" Haechan bertanya dengan suara sengau, membuat Renjun yang tadi fokus pada rasa sakitnya sedikit teralihkan dan kini malah tertawa geli melihat raut suaminya yang sangat nelangsa.

"Elus-elus aja sini. Lele nya suka banget nih dielus sama Papanya.."

"Begini?" meski tak yakin bahwa sebuah elusan ringan dapat membantu mengurangi kadar sakit yang dirasakan istrinya, Haechan tetap melakukan apa yang diminta. Tangannya dengan lembut mengelus perut besar yang terasa sangat kencang dan keras, sambil sesekali melakukan gerakan memijat pada pinggang.

"Iya begitu.." Renjun tersenyum manis sambil menyandarkan kepalanya pada bantal di belakang, menikmati elusan tangan Haechan yang kini berpindah pada punggungnya yang pegal.

"Kira-kira, nanti Lele mirip siapa ya, Chan?" tanyanya seraya menatap langit dengan awan yang bergumul ria di angkasa.

"Kamu," Haechan menjawab cepat.

"Bukan kamu?"

"Hm, ditelisik dari aku yang lebih sering kena imbas selama kamu hamil sih, kayaknya bakalan mirip kamu, Ma.."

uwugami | hyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang