Chapter - 2. Get Blessing

761 63 22
                                    

HAPPY READING 📖

---------------------------------------

Di dalam mobil, keduanya saling diam-diaman dengan suara tangisan Zoe, sesekali semburan ingusnya ke tisu. Beberapa kali pula Jay mengusap punggung pacarnya dengan tangan kanan yang sejak memasuki mobil, terus menangis hingga hampir separuh perjalanan ke apartemennya.

"Aku ... aku betul-betul mencintaimu," isak Zoe dengan tangis yang belum reda, malah semakin kuat.

"Aku tahu," gumam Jay dengan suara serak. Ia hampir menyemburkan tawa dan meledek Zoe, namun situasinya tak tepat. Zoe bertingkah seolah-olah hubungan mereka akan kandas tanpa perjuangan, padahal mereka akan hidup bahagia.

Beberapa menit lalu.

"Pendapatan saya terkadang tidak menentu, bisa menurun, bisa meningkat. Kisarannya sebesar $300.000 hingga $500.000 per bulan. Selain dari itu, saya berencana akan membangun bisnis agar mendapat pendapatan tambahan." Dapat ia lihat ayah Zoe kini menimbang-nimbang. Setidaknya, ini ekspresi selain datar agar ia bisa tahu isi kepala ayah Zoe.

"Berapa banyak aset yang kau punya?"

Dengan lancar lagi, Jay menjawab, "Saya memiliki satu rumah yang sedang proses pembangunan di Malibu. Selain itu, saya juga berinvestasi emas dan kini sudah mencapai 500 gram. Dua mobil pribadi dan satu apartemen pribadi."

Jordan menatap lama pria di depannya. Ada ketidakyakinan ingin merestui mereka, tapi secara finansial, pria ini bisa memenuhi kebutuhan Zoe, bahkan sudah lebih dan tergolong makmur. Hanya saja, penampilannya ini. Bahkan hati kecilnya merasa ia masih lebih muda secara tampilan.

"Keuanganmu cukup bagus," komentar singkat itu membuat Jay agak ternganga. Hanya itu? Tidakkah ayah Zoe ingin memujinya dan langsng berkata akan merestui mereka?

"Jaga anakku." Jay yang semula agak menunduk, kini mendongak dan menatap tepat di bola mata ayah Zoe yang kini menampilkan sedikit senyum, meskipun agak kikuk. Bibirnya sedikit terbuka. Apa ayah Zoe merestui mereka? Benarkah?

"Dia selalu kukekang selama ini karena aku takut terjadi sesuatu padanya. Tapi kuharap kau bisa menjaganya selain aku. Jangan membuatku kecewa." Akhirnya ia mengerti mengapa ayah Zoe terkesan keras. Sebagai lelaki, ia tahu betapa ketatnya perlindungan untuk anak perempuan. Apalagi semungil dan seimut Zoe. Ia saja yang tak ada hubungan darah, panik setengah mati saat Zoe berjalan sendirian ke mall tanpa memberitahunya.

"Saya berjanji akan menjaganya, Paman. Saya mengerti kekhawatiran Anda. Kekhawatiran Anda adalah kekhawatiran saya."

Keheningan sejenak, hingga menjelang salah tingkah. Sesekali ia membuang muka, menatap arah lain dan mengumpat. Bagaimana bisa Zoe selama itu hanya mengambil segelas air?

"Baik, pembicaran kita sudah selesai." Matanya mengikuti pergerakan ayah Zoe yang berdiri. Ia pun ikut berdiri dan membungkuk sopan.

"Maaf, Paman. Apa kami boleh melangsungkan pernikahan? Anda merestui kami?" tanya Jay sekali lagi dari belakang punggung ayah Zoe. Jantungnya berdentam-dentam menunggu jawaban pasti. Saat ayah Zoe berbalik, ia melayangkan senyum dengan sorot meyakinkan.

Jordan mengedikkan bahu. "Aku tidak ada alasan untuk menolak."

Senyum lebar Jay terbit. Ia berjalan cepat kemudian berhadapan beberapa senti dari ayah Zoe. "Terima kasih, Paman. Saya berjanji akan menjaga Zoe sepenuh hati. Saya janji Anda tidak akan menyesal mempercayakan saya untuknya."

Jordan menepuk pundak Jay dua kali, kemudian berbalik tanpa kata. Dari sudut matanya, ia menangkap anak kesayangannya berdiri tak jauh dari mereka sembari menggenggam gelas putih. Tak tahan, ia menoleh dan kini tahu Zoe telah menangis. Senyum kecil ia berikan lalu melangkah menaiki tangga ke kamar.

"Terima kasih, Dad." Kata-kata itu masih dapat ia dengar, namun tak membalas. Ia membiarkan mereka di bawah, meresapi kebahagiaan atas restunya.

Jay menoleh pada Zoe yang meletakkan gelas itu ke meja kemudian berlari ke arahnya. Cepat-cepat ia menangkap tubuh mungil itu dan menggendongnya, menyerukan kelegaan setelah eksekusi permintaan restu.

"Kita akan menikah, baby!" pekik Jay sembari mencium pipi Zoe berkali-kali dan memeluknya semakin erat.

Zoe menangis keras dan membalas pelukan Jay sama eratnya. Ia bahkan tak dapat berkata-kata. Ia pikir semua akan berjalan sulit, namun tidak membutuhkan waktu lama, ayahnya memberikan restu itu. Padahal ia sudah hampir mati mendengar mereka. Takut-takut ayahnya akan menolak karena selama ia meminta izin, penolakan terus ayahnya lontarkan.

Jay melepas pelukan mereka kemudian menangkup wajah mungil Zoe, meskipun ia harus membungkuk. "Uhhh, anak kecil menangis. Jangan menangis lagi, baby. Sebentar lagi kita akan menikah."

Zoe mengangguk-angguk dengan air mata yang terus mengalir. Bukannya berhenti, melainkan tangisnya semakin kencang.

"Cup-cup-cup. Sini sayang dulu." Jay merentangkan tangannya agar kembali berpelukan bak Teletubbies. Tanpa disadari jika dari tadi Heanny dan Jordan memerhatikan mereka dari atas.

***

Jay membawa kesayangannya ke dekapan. Sampai di depan apartemennya, mereka terdiam sejenak dengan Zoe yang masih menangis. Astaga, gadis ini. Apa tidak lelah menangis terus?

"Sudahlah, baby. Ayo, turun. Aku lapar." Jay mengeluskan sebelah tangannya ke lengan Zoe, beralih ke kepala secara bergantian.

Zoe mendongak dengan mata membengkak dan memerah, juga hidung yang kembang-kempis. Ia memejam sejenak dan meredakan tangisnya. "Aku tak menyangka ayahku akan merestui kita. Aku pikir dia akan menolaknya. Aku masih tak percaya, Jay. Apa ini mimpi?"

Jay menangkup wajah Zoe dan memberikan ciuman singkat di bibir mungilnya. "Kau tidak mimpi. Aku sudah mendapat hati ayahmu, My baby." Ia mengusap lembut hidung Zoe dan menjedutkan perlahan dahi mereka. "Aku berhasil."

Zoe melebarkan senyum sembari mengangguk. "Kau hebat!"

Tiba-tiba saja Jay tersenyum miring. "Giliranmu, baby." Senyum Zoe memudar. Gilirannya yang harus berhadapan dengan keluarga Jay. Astaga, bagaimana jika ia ditolak? Ia bisa mati karena malu.

"Fuck," umpatnya pelan tanpa suara. Ia membuang muka, namun pipinya bersandar manis di lengan berotot Jay. Ia benar-benar takut semua tidak berjalan sesuai ekspetasi.

"Tenang saja, ibuku pasti akan merestuinya," kata Jay menenangkan, meskipun ia sendiri tak yakin 100 persen. Ibunya bisa saja menolak dan ia kesal jika pihaknya pula yang membuat masalah. Semoga saja tidak terjadi. Semoga apa yang diharapkan akan terkabul. Jangan di pihaknya yang membuat masalah. Jangan!

.

.

.

TO BE CONTINUED

Little Mistress and Big LordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang