Chapter - 4. After Married

624 48 6
                                    

HAPPY READING 📖

---------------------------------

Lima bulan setelah pernikahan.

"Mom!" pekik Jay dari kamar. Zoe yang dipanggil lagi, mencak-mencak. Jay memang menyebalkan. Kelakuannya setelah menikah semakin tak ada aturan. Sampai di depan pintu setelah dari dapur mengurus Ted, ia berkacak pinggang dengan wajah tak senang.

"APA?!" katanya galak. Melihat pakaian berserakan di lantai, di ranjang, di sofa, di mana-mana, benar-benar menaikkan emosi. Saking emosi, ia ingin menangis.

"Aku cocok pakai yang mana?" Tak menyadari ekspresi jengkel istrinya, Jay dengan santai bertanya, seolah apa yang dilakukan tak berdampak apa-apa.

"Telanjang!" balas Zoe ketus sembari bersedekap. Mulutnya kembali mengoceh, "Lihat pakaianmu, Daddyyyy! Itu berserakan sekali! Daddy tidak kasihan melihatku mengemasinya?" Zoe memasang mimik menyedihkan. Bahunya merosot lemah. Dapat ia lihat perubahan wajah Jay. Suami tampannya itu mendekat dan merengkuhnya dalam pelukan.

"Sorry, Mommy. Aku bingung sekali mau pakai yang mana. Rasanya tidak ada pakaian yang bisa kukenakan." Keluhan Jay membuat Zoe melotot.

"Tidak ada? Coba kau hitung berapa banyak pakaianmu. Bahkan pakaianmu melebihi pakaianku dan kau bilang tidak ada pakaian?" Zoe benar-benar tak habis pikir dengan pria satu ini. Tingkahnya seperti perempuan. Ia yang perempuan saja mengenakan pakaian seadanya. Lelaki yang biasanya dikenal tidak ribet, tidak akan berlaku pada Jay. Pria itu benar-benar berbeda dan lebih menjurus menyusahkan.

Jay tertawa melihat ekspresi menggemaskan istrinya. Ia melingkarkan lengan kekarnya di tubuh mungil istrinya dan menggoyang-goyangkan tubuh mereka bersama. "Jangan marah, Mommy. Kau semakin menggemaskan, itu membuatku ingin menerkammu." Dikedipkan sebelah mata dengan sirat menggoda.

Zoe mengulum bibir. Kemarahannya meluap. Ah, kenapa Jay tidak bisa membuatnya marah sedikit pun? Padahal Jay sudah membuatnya kesal berkali-kali hari ini. Pertama saat bangun tidur, Jay membuatnya repot karena tak diperbolehkan beranjak dari ranjang. Padahal ia harus memberi makan Ted. Anjing imut itu akan mati jika dibiarkan. Kedua, saat sarapan Jay memilih mengabaikannya sementara. Ia pun memilih diam dan akhirnya Jay yang tak tahan, menggodanya kembali. Ketiga, sekarang ini melihat kamar berantakan, darahnya mendidih dan sekarang meluap tanpa sisa.

"Cepat bersiap-siap, Sayangku. Ben sudah menunggumu." Jay mengangguk-angguk. Pekerjaan sebagai model tetap ia geluti karena sebagai mata pencaharian. Perlahan, ia menabung lebih banyak untuk membuat perusahaan kecil agar tak tersendat dana. Mereka setuju untuk tidak mengutang. Utang adalah awal dari kesengsaraan, bukan?

"My assistant is my wifey ...." Jay memeluk erat tubuh mungil itu semakin lama. Rasanya ia ingin menempelkan tubuh ini dengan tubuh Zoe saking tak kuat menahan rindu. Berpisah lima detik saja, ia mendadak bad mood. Alhasil, istrinya pun tetap menjadi asisten kesayangan. Bedanya, kini Zoe lebih mengeluarkan sifat galak, namun menggemaskan. Untungnya, tidak terlalu galak. Aih, istrinya ini benar-benar sempurna. Ia tidak melihat adanya kekurangan. Tanpa Zoe, ia benar-benar akan mati.

"Oh, c'mon, Daddy. Kau harus bersiap-siap. Jangan membuat Ben terlalu menunggu. Kau tahu, kan, dia nanti merepet panjang-lebar." Mereka tertawa bersamaan kemudian menyatukan bibir dan saling melumat. Zoe harus berjinjit agar lehernya tak sakit, langsung digendong Jay dan mendorong tubuh mungil itu ke dinding, sehingga keduanya berhimpitan.

"Mommy ...," lirik Jay manja dengan kepala yang mendarat di dada Zoe dan mengeluskannya bak anak kucing setelah pangutan terlepas. Ia ingin sekali hanya berbaring, bermanja-manja, tapi situasi sama sekali tak mendukung.

Zoe yang menyender dengan kaki melilit ke pinggang Jay—tak menyentuh lantai—mengeluskan jemari mungilnya di rambut hitam itu. Ia menunduk, memberikan kecupan berkali-kali hingga puas.

"C'mon, Baby boy. Kau harus bersiap-siap. Nanti kita akan saling lengket, ya. Sekarang berbenahlah. Rapikan semua kekacauan di kamar yang kau buat. Aku juga harus menyiapkan bekalmu. Aku membuat bekal yang paling enak!"

"Aku suka sekali! Mommy is the best! Dan Mommy milikku!" kata Jay sembari mendongak, menatap Zoe dengan sorot penuh cinta.

Zoe tertawa kencang. Suami posesif ini selalu mengatakan itu berulang-ulang, seolah ia akan mudah berpaling. Jay tidak tahu saja ia sangat-sangat-sangat mencintai, bahkan dunia keduanya adalah Jay. Yang pertama tentu saja adalah buku dan tokoh-tokoh fiksi dari karangan tulisannya. Ia tidak akan bisa hidup tanpa berkhayal.

"Daddy juga milikku! Kalau ada yang berani ambil, kita harus apa?" pancing Zoe.

Jay tersenyum manis kemudian memajukan wajah untuk mengecup bibir Zoe. Setelahnya, ia berkata, "Harus mempermalukannya. Mana bisa mereka memisahkan kita."

Zoe mengangguk dengan senyum lebar. "Benar sekali!"

Mereka memang telah berkompromi. Ada hal-hal kecil, akan mereka perbincangkan. Jika ada masalah, akan diselesaikan dengan kepala dingin, meskipun terkadang Jay bisa langsung kepala panas alias emosi. Ada virus, mereka basmi bersama. Ada perebut, mereka hajar habis-habisan, karena Zoe dan Jay adalah insan menggemaskan yang tidak boleh dipisahkan.

.

.

.

TO BE CONTINUED

Little Mistress and Big LordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang