Chapter - 22. It Was Always You

71 6 0
                                    

HAPPY READING 📖

---------------------------------------

Jay melirik layar ponsel yang menyala, menampilkan fotonya dan Zoe di tepi pantai sembari bergenggaman dan itu adalah hasil foto yang diambil oleh Ben. Ponsel menyala itu adalah ponsel Zoe yang tergeletak manis di meja. Ia meraihnya, melihat satu pesan yang masuk.

'Morning, Mommy! Aku Randy dan bersiap untuk sekolah!'

Jay mendengkus kesal lalu meletakkan ponsel itu dengan kasar kembali ke asalnya. Rupanya Zoe berhubungan baik dengan mereka. Masalah kemarin saja ia masih kesal dan mendiami Zoe. Tapi sekarang Zoe malah membuat masalah baru. Pesan yang anak itu kirimkan membuat suasana hati yang ia berusaha bangun sebaik mungkin, kembali hancur tak terkendali.

Zoe keluar dari kamar mandi setelah menghabiskan beberapa menit membersihkan diri. Tatapannya langsung tertuju pada Jay lalu ke ponsel yang masih menyala. 

"Ada apa?" tanyanya tidak tahu. Ia berjalan pelan, sedangkan Jay malah pergi saat ia sudah hampir mendekati lelaki itu. Jay memasuki kamar mandi, meninggalkannya sendiri bersama ponsel yang kini sudah tidak menampilkan layar apa-apa.

Tangan mungilnya mengambil benda pipih itu kemudian melihat isi dalamnya. Kedua alis tipisnya naik seketika. Mungkinkah ini menjadi penyebab Jay marah? Karena pesan ini?

Semalam ia pikirkan ini sampai tidak tidur. Ini hanya masalah sepele. Hanya tentang anak laki-laki yang merindukan seorang ibu. Baginya, itu sama sekali bukan masalah, apalagi harus dikatakan masalah besar. Benarkan?

Jemari mungilnya mengetik singkat untuk membalas pesan Randy sembari menunggu Jay keluar dari kamar mandi. Mereka harus bicara dan itu sudah harus. Tidak boleh dibiarkan lagi atau mereka tidak akan berbincang selamanya. 

***

"Daddy." Panggilan yang Zoe suarakan langsung dihentikan oleh gerakan tangan Jay.

"Aku tidak mau bicara denganmu."

"Tapi kita harus bicara. Mau kapan lagi kita sembunyi dari masalah ini?" Zoe meluruhkan bahu, seolah tak memiliki banyak tenaga untuk berdebat.

"Memangnya apa yang harus dibicarakan?" Jay menoleh sedikit dengan alis terangkat. Ekspresi tak senang itu sudah tergambar jelas dari wajah tampannya la tidak mau memikirkan masalah ini karena sejak semalam sekeras mungkin untuk ia lupakan. Pikiran buruk seperti hantu ini membuat ia takut. Tapi, tetap saya tidak akan in tunjukkan. Ia tidak mau dicap lemah. Terutama ia merasakan jika suatu saat Zoe akan berkhianat.

"Aku tidak mau kau salah paham. Percayalah, aku dan Randy tidak lebih sebagai orang asing saja. Aku minta maaf jika itu membuatmu tidak nyaman."

"Kau tahu? Aku sudah tidak nyaman karena aku merasa kau akan berkhianat padaku. Tapi tidak masalah. Kalau kau mau begitu, akan kuturuti." Jay langsung melangkah, tidak lagi berbalik. la bisa goyah dengan mudah jika melihat wajah penuh kasihan milik istrinya.

Zoe terdiam sembari memandangi Jay yang sudah berlalu dari hadapan. Bukan ini yang ingin ia bicarakan. la hanya berusaha meluruskan, bukan malah semakin berkelok begini. Apakah lebih baik ia memberikan waktu sejenak agar mereka bisa menjernihkan pikiran? Apa itu langkah yang tepat?

Helaan napas beratnya menjadi awal ia melangkah keluar dari kamar. Baiklah, mungkin mereka memang membutuhkan waktu. Jika dipaksa untuk mendengar dengan pikiran belum jernih, bisa-bisa malah menjadi masalah besar.

Bahkan sangat besar hingga tidak bisa diperbaiki dan hancur, sehancur-hancurnya.

***

Ben yang hendak melangkah keluar dari apartemen, langsung berhenti ketika melihat dua manusia yang biasanya seperti disihir ibu peri untuk terus bermesraan, malah diam-diaman.

Little Mistress and Big LordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang