Chapter - 10. Football and Love

341 17 1
                                    

HALO! Akhirnya saya kembali dengan update cerita ini! Duh, kangen nulis di sini.

BEFORE adalah salah satu cerita saya yang sudah tamat di aplikasi Fizzo selama tiga bulan menulis di sana dan menjadi penyebab saya hiatus sebentar dari Wattpad. Jika ada yang tertarik untuk baca, dipersilakan karena bacaannya tidak berbayar, alias gratis dan cukup mendownload aplikasinya. Thank you!

HAPPY READING 📖

-----------------------------------------------

Minggu pagi bukanlah menjadi hari yang menyenangkan, melainkan banyak pekerjaan. Kemarin bisa bersenang-senang, paginya harus dihadiahi oleh penderitaan karena jadwal photoshoot Jay ternyata sangat padat.

Jam lima pagi, Ben menghubungi mereka dan langsung terpekik karena mereka asyik berduaan dan lupa dengan pekerjaan. Ia kira mereka akan tahu jadwal. Ternyata, oh, ternyata ....

"Kalian memang gila! Sudah 10 jadwal yang tertinggal dan kalian tidak tahu? Pokoknya harus pulang dan selesaikan semuanya!" Itulah kata-kata terakhir Ben sebelum mematikan sambungan tanpa mendengar bantahan. Alhasil, malam itu dihabiskan dengan menggerutu dan memaki. Terutama Jay yang kini mengumpat sepanjang perjalanan ke apartemen.

"Dia seharusnya bilang dulu di awal! Ini saat bersenang-senang, dia mengganggu semuanya! Ben sialan!"

Zoe mengelus lembut lengan kanan Jay yang digunakan menyetir sembari mengeleng karena gerutuan Jay bak rel kereta api. Tak pernah putus dan selalu terdengar, mengalahkan lagu Elastic Heart dari Sia yang mengalun dengan suara kecil.

"Kita juga salah, Daddy. Aku pun akan mengamuk kalau jadwalmu banyak tertinggal."

"Tapi ini mendadak, Mommy. Seharusnya dia bilang dari awal, jadi kita bisa berjaga-jaga."

"Yakin?" Zoe memicingkan mata. Jay menghela napas kesal karena semua tidak sesuai yang diinginkan.

Diamnya Jay menghadirkan kekehan Zoe. Bibir merah merona itu bergerak, "Kurasa Ben akan memarahi kita."

"Biarkan saja. Telingaku bahkan sudah kebal mendengar omelannya setiap hari."

"Dia itu manajer paling setia dan berpotensi. Seandainya dia tidak bekerja denganmu lagi, kau akan sedih, Daddy?" tanya Zoe asal. Ia tak memperkirakan sebelumnya ingin bertanya apa. Tiba-tiba saja pertanyaan itu tercetus dan yang ia dapat, Jay diam beberapa saat.

"Sepertinya tidak." Jawaban itu membuat Zoe tak yakin. Tak mungkin Jay terkesan biasa saja. Mereka itu sudah hampir enam tahun bersama. Ia saja yang hanya setahun, sudah bisa meraih hati lelaki bergengsi ini. Apalagi Ben yang selalu setia.

"Yakin?"

"Astaga, Mom! Kau meledekku?"

Zoe membuka mulut, membiarkan tawanya menggema di mobil ini, membiarkan Jay merasa tersinggung, meskipun ia yakin prianya tidak memiliki perasaan serendah itu.

"Kau yakin tidak akan menangis saat dia mengajukan surat pengunduran diri? Kau yakin, Daddy? Kuyakin kau pasti marah besar! Hahaha! Perasaan wanita tidak pernah salah, apalagi seorang istri. Kuyakin seribu persen, suamiku akan menangis."

"Sama sekali tidak lucu. Aku tidak akan menangisi hal bodoh, apalagi menangisinya. Dia pikir dia siapa?" geram Jay.

Tapi namanya bukan Zoe jika langsung percaya. Ia adalah perempuan yang paham tabiat Jay. Di mulut saja pria itu bisa berkata tajam seolah tak membutuhkan, kenyataannya berbeda. Di lubuk hati yang entah sedalam apa, ia yakin Jay tidak akan rela.

"Okay, kau menang. Jangan menangis saja kalau dia resign untuk menikah."

"Memangnya dia bilang kalau dia akan resign?"

Little Mistress and Big LordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang