Chapter - 21. Need Time Alone

97 10 5
                                    

HAPPY READING 📖

----------------------------------------------

"Sudah puas?" sarkas Jay setelah mereka tiba di mobil. Rencana hari ini untuk berkencan di siang hari, harus gagal hanya karena kehadiran dua orang tak penting. Bagian yang paling tidak ia sukai adalah Zoe melupakannya dan malah asyik mengobrol tidak jelas. Mendengar semua ocehan Zoe mengenai masa depan yang belum tentu terjadi itu membuat ia muak.

"Sudah. Ternyata dia asyik juga, ya. Aku rasanya tidak sabar untuk berkuliah." Zoe memasang seat belt, tidak menyadari ekspresi marah Jay di sampingnya, seolah hendak meledak saat itu juga.

"Ya, sudah. Kalau kau mau melanjutkan hidupmu tanpaku, silakan pergi. Aku muak dengan ocehan tidak jelasmu itu."

Zoe menoleh dengan keterkejutan dari ucapan Jay. Dahinya berkerut heran.

"Maksudmu? Aku tidak mengerti."

"Kau pikir kau hebat, hah? Kau mengabaikanku dan memilih mengobrol dengan pria lain di depanku dan menceritakan apa pun padanya! Kau pikir aku ini apa? Kau lebih banyak menghabiskan waktu dengan mereka daripada aku hari ini! Kau lupa dengan kencan di siang hari kita! Kau lupa aku di sampingmu! Dan kau berpikir kalau kau berbicara dengannya lebih banyak, kau terlihat pintar, begitu? Kau membuatku muak hari ini!"

Bibir Zoe terbuka, tak menyangka kalimat kasar yang tak pernah ia dengar akhir-akhir ini, harus terlontar. Itu menyakiti hatinya. Apa Jay menghinanya karena impian yang ingin ia lanjutkan?

"Aku tidak bermaksud mengabaikanmu. Aku hanya menghargainya dengan berbicara—"

"Dan kau dengan otak dungumu malah menerima ajakan makan siangnya! Aku sudah memintamu untuk tidak menerimanya karena aku ingin makan siang bersamamu! Tapi apa? Kau tidak mendengarkan lagi! Kau sudah merasa hebat sampai aku pun tidak lagi berarti apa-apa!"

Zoe mengatupkan bibir, hendak menangis karena bukan itu maksudnya. Ia tidak pernah berniat untuk mengabaikan Jay tadi. Ia sama sekali tidak bermaksud apa-apa.

"Aku hanya ingin kita berteman dan kau juga. Tidak lebih," kata Zoe dengan suara memelan, seolah ada biji salak di tenggorokan ini dan itu sakit.

"Aku tidak mau berteman dengan mereka! Seharusnya kau sadar aku tidak menyukai itu! Kenapa kau malah acuh? Apa aku memang sudah tidak berarti apa-apa untukmu? Apa aku memang tidak penting, sehingga kau lebih memilih mereka dibandingkan aku?"

Menatap Jay lebih lama, semakin membuat ia ingin menangis. Jay telah salah paham. Bagaimana ia menjelaskan? Bagaimana ia meluruskan semua kesalahpahaman ini? Bagaimana semua bisa kembali seperti sedia kala?

"Bicaralah sepuasnya dengan mereka! Anggap aku tidak ada karena memang aku tidak penting untukmu!" Dengan emosi menggebu-gebu, Jay menghidupkan mobil, mengendarainya sampai ke rumah. Ia sudah tidak tahan untuk keluar dari mobil ini dan memberikan dirinya sebuah ketenangan. Memisahkan diri dengan Zoe hari ini mungkin menjadi ketenangan sementara karena melihat Zoe, ia jengkel setengah mati. Emosinya memuncak tak karuan. Ia bukan hanya cemburu, tapi marah. Ia berada di posisi seperti tidak dianggap dan itu menggores semua harga diri yang telah ada pada Jay Gould. Kemarahan serius ini membuat ia mendadak tidak tahan.

Zoe tidak mengatakan apa-apa. Bibirnya sama sekali tidak bisa terbuka, meskipun banyak sekali kata-kata yang ingin dilontarkan. Sayangnya, semua kalimat itu tertelan indah tanpa perlu repot-repot untuk dikeluarkan. Apa yang Jay pikirkan? Kenapa buruk sekali? Saking buruknya, ia merasa dituduh tidak-tidak.

Menurutnya, itu adalah hal biasa. Jika Jay tidak terpaku pada ketidaksukaan, semua akan baik-baik saja. Kenapa lelaki itu begitu sensitif? Apa Jay tidak memiliki kepercayaan untuknya? Apa selama ini hanya ia yang percaya pada Jay? Mempercayai semua yang Jay lakukan dan tidak pernah ragu?

Pikirannya langsung bergerak lincah seperti monyet. Ia tidak tahu apa yang terjadi hari ini. Perdebatan mereka terasa mimpi karena ini adalah pertengkaran serius pertama mereka.

***

Tiba di halaman rumah, Zoe terhenyak ketika bantingan pintu yang dilakukan Jay sangat keras. Mata hitam gelapnya menatap punggung Jay yang mulai menjauh dari pandangan.

Ia tahu ini kesalahannya, tapi apa hanya itu yang ada di pikiran Jay? Apa Jay berpikir ia akan selingkuh? Itulah pertanyaan yang sedari tadi menari-nari. Apa Jay tidak mempercayainya? Itu juga yang menjadi penguat alasan mengapa ia tidak berdebat. Jika memang Jay mempercayainya, mereka tidak perlu berdebat hebat seperti tadi.

Embusan napas menjadi awal ia membuka pintu.

"Baiklah. Kau harus membujuk bayi besarmu agar tidak merajuk." Zoe merenggangkan otot lengannya seolah berolahraga. Ia tidak boleh sakit hati, ia harus berpikir jernih, dan ia harus membujuk Jay bagaimanapun caranya. Ia tidak akan membiarkan ini berkelanjutan hingga menjadi masalah besar.

Setelah ia membuka pintu, ia melihat jelas Jay berbaring di ranjang sembari menutup mata dengan lengan kekar itu. Ia langsung memeluk Jay, memberinya kasih sayang dengan gesekan pipi pada dada bidang Jay.

"Sorry. Aku janji tidak akan mengulanginya. Aku janji." Zoe ikut memejam, kemudian mengecup tengah dada Jay sembari menahan tangis. Ia tak tahan dengan keterdiaman mereka. Ia tak tahan harus menjauh dengan Jay. "Kuakui aku salah. Aku harus bagaimana agar kau tidak marah lagi? Aku harus menyiapkan kencan tertunda kita?" Bibirnya bergetar pelan, membuat suaranya seperti menahan air mata yang hendak tumpah.

Jay tidak menanggapi. Lelaki itu tetap diam dan tidak bergerak.

"Aku tidak mau kita begini. Maafkan aku. Apa kesalahanku tidak bisa dimaafkan?"

Jay mendengkus dan pria itu tiba-tiba bergerak, mengubah posisi menjadi duduk dan mau tak mau, Zoe menyingkir ke tepi ranjang dan duduk di sebelah Jay.

"Kau bisa menghargaiku? Aku benci kau seperti tadi. Aku sangat membencinya!" Jay menoleh, menatap lekat mata istrinya dengan tatapan marah. Tanpa cinta. Tanpa kelembutan.

"Aku minta maaf. Aku tahu aku salah dan aku bersumpah tidak akan mengulanginya. Aku janji." Zoe tak bisa lagi menahan tangis. Ia akhirnya sesegukan karena tahu tatapan itu cukup mengerikan. Jay tidak pernah semarah ini. Jay tidak pernah menatapnya seolah ia adalah hama yang perlu dihancurkan.

Jay berdiri dan berjalan untuk keluar kamar. "Beri aku waktu sendiri," katanya tanpa menoleh dan melanjutkan langkah. Ia benar-benar ingin sendiri. Jika mengikuti emosi, ia pasti sudah membentak Zoe dengan kata-kata menyakitkan. Ia pasti sudah kehilangan kendali.

Menurut orang lain, itu adalah masalah sepele. Tapi tidak untuknya. Kemarahan menggelar yang muncul ini berubah menjadi praduga dan ketakutan. Ia menduga akan ada sesuatu yang terjadi pada hubungan mereka dan ia takut jika dugaannya terjadi, maka ia dan Zoe akan hancur.

Katakanlah ia terlalu berpikir buruk. Tapi tidak bisa ia pungkiri jika hati resahnya ini mengacau suasana dan pikiran. Ia benar-benar butuh sendiri. Tanpa siapa pun. Termasuk Zoe.

.

.

.

TO BE CONTINUED

Little Mistress and Big LordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang