Chapter - 33. A Silent Trip

69 6 3
                                    

HAPPY READING 📖

---------------------------------------------------

Keduanya berkemas untuk perjalanan ke California dalam keheningan. Tidak ada lirikan manja, tidak ada sesuatu yang dapat mencairkan ketegangan, hanya terfokus pada beberapa barang yang hendak dibawa secara individu.

"Biarkan aku yang merapikannya." Zoe melihat pakaian yang Jay susun ke koper itu tidak rapi. Maklumlah, pria dengan segala jenis pekerjaan rumahan sama sekali tidak bisa menyatu.

Jay tidak membuka suara dan dengan cepat menyelesaikan pekerjaan memuakkan ini. Setelah ia rasa cukup, koper itu langsung ia banting ke lantai, tepat di samping nakas dan keluar dari kamar. Pertikaian mereka tadi masih menimbulkan percikan amarah. Apalagi besok mereka terpaksa untuk pergi. Padahal ia masih membutuhkan waktu untuk menyembuhkan luka sakit hati yang Zoe buat.

Zoe menatap kosong punggung Jay yang telah menghilang dari pandangan. Entah bagaimana ia harus memperbaiki ini. Ia tidak pernah menduga jika perhatian yang ia berikan untuk Randy menjadi kesalahpahaman untuk Jay. Apa serumit ini menjalin hubungan? Mereka semula yang baik-baik saja, menjadi retak seolah tak dapat disatukan.

Tapi, ia hanya bisa menghela napas. Mau dijelaskan bagaimanapun, tetap saja yang terjadi hanya pertengkaran.

Ia menutup koper miliknya yang sudah selesai dibenah. Selanjutnya, kaki mungil ini melangkah, mengambil koper besar Jay untuk dibenah isi dalamnya. Ia melihat jelas seberapa berantakan Jay menyusunnya tadi. Pakaian-pakaian itu dilipat asal, beserta dalaman yang bahkan tidak dilipat.

Jadi, di sinilah ia, mengemas barang-barang mereka dengan kerinduan akan kebersamaan. Sesekali, mencium aroma Jay yang tertinggal di pakaian untuk mengenang kembali keromantisan yang pernah mereka buat.

***

"Kau harus tampil percaya diri. Investor itu pasti akan kagum melihat si kecil ini bisa berdiri seperti wanita dewasa," hibur Ben ketika ia melihat jelas kondisi wajah Zoe yang tak bersemangat.

Zoe hanya mengangguk kecil sembari memasukkan kopernya ke bagasi. Jay sudah memasukkannya lebih awal, maka hanya dia dan Ben berdua.

"Oh, c'mon. Wajahmu tidak menunjukkan keceriaan. Listen, kau harus mengesampikan semua masalahmu terlebih dahulu. Kau tidak mau, kan, pengalaman pertamamu untuk mendapatkan investor menjadi pengalaman menyeramkan?" Tangan Ben terangkat mengelus lembut kepala Zoe. Ia tahu berat untuk mereka melewati ini, tapi ia harus melakukannya. Jika saja ia tidak mempercepat undangan mengenai investor yang akan melihat proposal projek pembangunan penerbitan mereka, Jay dan Zoe pasti akan semakin berjauhan. Setidaknya, dengan adanya acara bepergian ini, mereka dapat meluangkan waktu berdua untuk membenahi sesuatu yang hampir rusak.

Zoe hanya mengangguk-angguk dan bersiap untuk memasuki mobil lalu melambai pada Ben.

Tentu saja Ben tidak ikut. Bukankah memang rencananya untuk memberi waktu pada mereka?

Setibanya di dalam, Zoe menyadari jika Jay duduk di bagian depan, enggan untuk duduk bersebelahan dengannya dan itu menyakitkan. Alhasil, ia duduk sendiri di bagian belakang seperti gadis malang.

Ponselnya ia buka saat mendapat pesan dari Randy yang berisi pertanyaan mengapa ia tidak datang hari ini. Sayangnya, ia malah lupa mengabari jika ia tidak dapat menemuinya untuk beberapa waktu. Jadi, ia membalas kilat pesan itu dan menutupnya kembali agar Jay tidak salah paham dengan ponsel yang dipegangnya. Bukankah sekarang ini rawan sekali untuk melakukan hal kecil apa pun?

Setiba di bandara, Zoe mengangkat kopernya dengan susah payah, sementara Jay sudah melangkah jauh untuk mengantri. Ia harus bergerak cepat jika tidak ingin tertinggal. Ia malah takut akan tersesat dan mereka berpencar. Untung saja Jay tinggi jadi ia dengan mudah melihat kepala Jay sebagai sinyal keberadaan.

Sekarang ia sudah dapat duduk dengan tenang setelah lelah melakukan beberapa hal sebelum terbang. Ia duduk tepat di samping jendela, bersama Jay di sebelahnya. Suasana canggung tidak bisa dielakkan. Mulutnya gatal ingin bicara, tapi ia tahu Jay tidak ingin terlibat pembicaraan apa pun. Lelaki itu memasang seatbelt lalu memasang earphone dan bersandar nyaman dengan mata terpejam. Saat ia mengamati lekat, ada lingkar hitam di bawah mata Jay. Rasa bersalah langsung menyergap tanpa ampun. Ia penyebab lingkar hitam itu hadir. Jay pasti kelelahan karena memikirkan masalah mereka. Sesegera mungkin ia memalingkan wajah ke jendela. Jangan sampai air matanya jatuh.

Zoe ikut bersandar dan memilih untuk beristirahat karena penerbangan dari New York ke California membutuhkan waktu enam jam. Sesekali ia menoleh ke samping dan mendapati suaminya sudah tertidur pulas. Bahkan ini sudah lewat sejam sejak lepas landas dan akhirnya terbang, seatbelt itu masih belum dilepas. Ia mengulum bibir lalu membuka seatbelt itu dan mengambil bantal leher untuk dikaitkan di leher Jay agar lelaki itu nyaman untuk tidur.

Tangannya merambat ke pipi yang pernah ia tampar. Beribu maaf ia ucapkan. Seharusnya ia tidak boleh melakukan ini, tapi semua sudah terlambat. Telapaknya mengelus lembut dan bibirnya bergumam, "Maafkan aku." Ia merapikan rambut Jay, benar-benar rindu akan lelaki ini yang bersikap manis dan manja. Matanya tak bisa ia tahan untuk tidak berkaca-kaca. Seandainya saja masalah ini tidak terjadi, pasti perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang paling menyenangkan.

Jay terbangun, menarik napas panjang dari tidurnya yang cukup menyenyakkan selama beberapa hari tidak bisa tidur nyaman. Spontanitas, matanya tertuju pada perempuan mungil yang berbaring nyaman dan mulut terbuka dengan bantal kecil di belakang kepala. Dalam posisi tidur ini pun Zoe masih terlihat imut dan ia gemas untuk mencubit pipi gembulnya. 

Tanpa disadari, ia menatap lamat si pencuri hati yang begitu kurang ajarnya membagi hati, membagi perhatian, membagi segalanya yang tidak pernah ia setujui. Ia tahu kata-katanya tidak pantas, bahkan tindakan terakhirnya—mengajukan surat perceraian—sama sekali di luar kendali. Ia tidak tahu apakah ia sanggup menjalani hidup tanpa perempuan ini. Ia tidak tahu apakah ia benar-benar ingin berpisah. Ia masih memilah apakah mereka benar-benar akan bersama kembali setelah banyak hal yang terjadi. 

Ia masih tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan saat masalah ini muncul karena kekesalannya yang belum kunjung mereda.

Sejujurnya, ia masih begitu awam untuk membenahi masalah dalam rumah tangga mereka.

Dan detik yang sama saat ia menyadari sesuatu terselip di lehernya, kemarahannya mulai goyah. Hal-hal negatif yang berkecamuk seketika meluap. Ia ingin berpikir bahwa ini adalah cara Zoe untuk membuatnya luluh, tapi ia tahu betapa manisnya perempuan itu dalam memberikan perhatian.

Itulah yang ia takutkan. 

Marco akan jatuh cinta pada perempuan yang sudah ada pemiliknya, yang tak lain adalah Zoe Christoper Gould, istrinya.

Gemas karena mulut itu terbuka. Jay menyentuh lembut dagu mungil itu dan pelan-pelan mengatupkannya hingga Zoe menggerakkan bibirnya sendiri karena merasa terganggu.

Gelagat Zoe yang langsung merapatkan selimut dan mengganti arah tidur dari telentang berubah miring ke arahnya, tiba-tiba membuat ia gelagapan. Apa Zoe pura-pura tidur dan menyadari ia melakukan sesuatu?

Tak ingin berspekulasi macam-macam, ia kembali menghadap depan, mengabaikan pemandangan manis yang tersuguhkan. Karena jika ia tetap memilih untuk melihat istri mungilnya yang tertidur, sudah dipastikan seluruh dinding yang ia bangun sebagai pembatas mereka, harus goyah, segoyah-goyahnya.

.

.

.

TO BE CONTINUED

Sorry, belum bisa update banyak. Jadi, mari siapkan tenaga sebelum klimaks selanjutnya.

Little Mistress and Big LordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang