Dua

11.8K 304 2
                                    

Rasanya sangat menyakitkan saat mendengar nasihat itu. Mereka tidak mengenalku, kaca mata dan baju kebesaran bukanlah diriku yang sebenarnya. Tetapi saat itu aku lebih memilih diam. Dan kediamanku itu sampai sekarang masih tetap bertahan.

Perlakukan mereka yang semena-mena pun tetap membuatku bungkam. Kini hanya satu harapanku yang mulai Krisi identitas ini agar datang penolong yang mengeluarkan aku dari jurang kehidupan yang penuh duri ini.

"Kenapa tuh Lily ngelamun?"

"Nngak tahu, deh. Dan gak mau tahu juga."

Aku melirik dua wanita yang meninggalkan kursi mereka sembari cekikikan. Mereka berdua juniorku, masuk baru setahun yang lalu tetapi sudah bersikap begitu tidak sopan.

Menghela, aku mulai bangkit. Mengumpulkan serakan pena sebelum meletakan kembali ke tempat semula. Setelah itu aku juga merapikan kertas yang perlu aku fotokopi dan juga dokumen yang harus diserahkan pada Bu Devina saat ini juga.

Setelah merapikan semua aku pun bangkit dan melangkah menuju ruang fotokopi. Namun, sebelum itu aku harus ke ruangan Bu Devina terlebih dahulu.

Aku berdiri di depan ruangan Bu Devina, sekretaris yang biasa selalu ada di mejanya tidak tampak di mana pun. Namun, sayup-sayup terdengar suara obrolan dari dalam.

Berpikir sekretaris Bu Devina ada di dalam, aku mengetuk pintu beberapa kali dan juga memangil wanita itu, tetapi sosoknya tak kunjung keluar meski beberapa detik sudah terlewat.

"Bu Devina, ini saya Lily." Aku kembali memangil Bu Devina. Berharap agar wanita itu segera keluar atau paling tidak mempersilakan masuk. Tetapi tetap saja sosok Bu Devina tidak kunjung keluar.

Dengan kening yang semakin berkerut, aku kembali mengetuk pintu sembari memanggil dengan lebih keras. Dan usahaku berhasil

Tidak membutuhkan waktu lama, suara Bu Devina terdengar, sosoknya muncul beberapa detik kemudian dengan wajah memerah dan mata melotot galak.

"Kamu itu gak punya sopan santun, ya!?"

Aku tersentak saat Bu Devina menyemburkan kemarahan padaku. Belum sempat aku meminta maaf, suara wanita itu kembali mengudara.

"Apa orangtuamu tidak pernah mengajarkan abad mengetuk pintu? Cuma kamu yang sudah bekerja bertahun-tahun di sini tetapi tetap bodoh dan tidak punya sopan santun!"

"Maaf, Bu." Aku menunduk sopan.

Bu Devina tidak melepaskan aku begitu saja, dia masih terus memaki dan memarahiku sampai telingaku terasa perih dan berdenging.

"Ada keperluan apa kamu dengan saya?" tanya Bu Devina setelah selesai dengan makiannya.

Diam-diam aku menghela lega dan segera menyerahkan map biru ke tangan Bu Devina. "Rika meminta saya menyerahkan ini pada Ibu," kataku menjelaskan.

"Kamu tidak membukannya, kan?" tanya Bu Devina sembari melotot setelah merebut map tersebut dengan kasar.

Aku segera menggeleng. "Tidak, Bu."

"Baguslah. Sekarang kamu sudah boleh pergi, awas saja jika kamu ulangi lagi. Aku akan benar-benar memecat kamu."

Aku kembali meminta maaf, sebelum pamit. Bu Devina tidak menjawab apa pun. Wanita itu lebih dulu menutup pintu.

Setelah kembali sendiri aku menarik dan mengembuskan napas beberapa kali. Apalagi saat mendengar Bu Devina yang melanjutkan omelan di ruangannya. Syukurlah saat ini sedang jam makan siang. Jika tidak sudah pasti
banyak pasang mata yang penasaran dan menatapku kasihan.

Menarik dan mengembuskan napas beberapa kali lagi, aku bersiap melangkah saat mendengar suara Tama dari lama.

"Udah dong marahnya. Dari pada buang-buang waktu marah sama hal yang gak penting lebih baik kita lanjutkan yang tadi. Adik kecilku masih tegang, loh. Masih butuh perhatian kamu."

"Kamu nakal, ya."

"Nakal-nakal begini jadi kesayangan kamu, kan." Lalu tawa cekikikan merasa terdengar.

Aku yang mendengar itu semua hanya menggeleng, sebelum segera melangkah menjauh tanpa suara. Sudah menjadi berita basi jika Tama itu seorang Playboy. Lelaki itu bersedia memuaskan siapa saja tanpa pandang bulu. Apalagi jika wanita yang meminta dapan memberi kepuasan dan uang.

Room To Room Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang