Aku bersandar di tembok, sembari terus mendengar suara-suara rekan kerjaku yang mematahkan semangat dan harga diri. Kini aku semakin yakin jika aku ini bodoh dan tidak berharga.
Harapan untuk terlepas dari penderitaan ini tidak ada lagi. Kini aku benar-benar sadar jika aku memang tidak layak berada di mana pun.
Merasa mata kian perih, aku segera mepanjutkan langkah. Aku sudah bersumpah untuk tidak pernah menangis lagi. Apa pun yang terjadi air mata tidak boleh membasahi pipi.
Tiba di kamar mandi aku merasa suasana sangat sunyi, namun baru beberapa detik aku merasa ketenangan itu, aku mendengar pintu terbuka, dan saat menoleh aku dikejutkan dengan Tama yang berdiri di depan pintu sembari tersenyum.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku takut saat melihat Tama mengunci pintu kamar mandi. Aku segera mundur saat Tama melangkah mendekat. "Apa yang kamu inginkan?" Aku berteriak, tetapi Tama terus mendekat tanpa kata. Senyum main-main yang dia perlihatkan membuatku benar-benar ketakutan.
Tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi, aku segera berlari ke sisi kiri, ingin mengurung diri di balik pintu WC sembari berharap seseorang akan menolong sebelum terhenti saat Tama menarik tanganku dan memelukku dari belakang.
Aku memberontak dan mulai berteriak. Tetapi Tama lebih cepat dan membekap mulutku.
"Ssshhh tenanglah. Ini masih di kantor. Kamu tidak mau disaksikan banyak orang saat aku menyentuhmu, kan?"
Menyikut Tama beberapa kali, aku berusaha keras melepaskan diri. Namun, sulit. Tubuh Tama yang tinggi dan sehat membaut kungkunganya terasa sangat kuat. Aku mulai merasa kesulitan bernapas saat suara air mengalir terdengar dari salah satu pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Lalu saat Tama mulai mengendurkan dekapannya, aku segera menginjak kaki serta menyikut dengan sekuat tenaga hingga Tama mundur beberapa langkah. Tidak membuang kesempatan aku langsung berlari menjauh.
Tama tidak mengejar lagi, lelaki itu menatapku dan pintu kamar mandi yang tertutup rapat sebelum pergi tanpa mengatakan apa pun lagi. Meski begitu aku bisa melihat kekesalan yang teramat sangat dari wajah Tama.
Sepeninggalan Tama, aku merosot ke lantai. Jantung berdebar kencang, air mata yang aku benci keluar tanpa bisa di cegah.
Aku benci menangis, tetapi kali ini aku benar-benar tidak bisa menghentikan. Rasanya aku baru saja keluar dari lubang maut.
Disaat aku terus menangis, perlahan pintu kamar mandi yang sejak tadi tertutup terbuka. Aku mendogak, menatap sesosok penolong dengan pandangan buram.
"Sudah saatnya kamu keluar dari kantor ini, Lily."
Air mataku keluar semakin deras saat mendegar suara Bu Rosa, senior di bagian HRD yang tidak memperlakukan aku dengan buruk, tetapi tidak baik juga. Lagi pula aku jarang berinteraksi dengan Bu Rosa, setiap bertemu di koridor kantor pun Bu Rosa tidak pernah sekalipun menyahuti sapaan yang aku berikan. Wanita itu sering kali hanya mengangguk pelan dan berlalu pergi begitu saja.
"Kamu sudah menyiapkan surat pengunduran diri, kan. Serahkan sekarang padaku, aku akan langsung menyetujuinya."
Aku menunduk, lalu mengusap pipi. Bu Rosa benar, setiap minggu aku selalu menyiapkan suara mengundurkan diri. Tetapi tidak pernah berani menyerahkannya.
"Selama ini kamu takut jika keluar dari kantor ini tidak akan ada yang memperkerjakanmu lagi, kan?"
Aku tidak mengatakan apa-apa. Tetapi apa yang dikatakan Bu Rosa benar. Aku takut jika keluar dari sini aku akan menjadi pengangguran selamanya. Penampilanku tidak menarik, meski aku bisa mengubahnya dengan cepat, tetapi tetap saja aku memiliki kekurangan lain. Sebenarnya aku sangat tidak pandai berinteraksi dengan banyak orang. Menjadi lawan berbicara yang menyenangkan pun sulit bagiku.
Sungguh nilai-nilai akademi yang aku dapatkan di universitas tidak berfungsi sama sekali di sini.
"Jika aku katakan itu semua hanya ketakutanmu karena selalu mendapat tekanan di sini apa kamu akan percaya?"
Aku mengusap air mata, lalu menatap Bu Rosa tanpa kata. Aku bingung harus menjawab apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Room To Room
RomanceJangan lupa follow, ya. Tap bintang dan komen juga kalau mau. Sepi banget akunku. Lily Cleona sudah bekerja lebih dari sembilan tahun di tempat kerja lamanya, namun dia tetap tidak mendapat teman. Bahkan tak satu pun rekan kerja yang tahu nama leng...