Lima

8.8K 262 4
                                    

Aku mengerutkan kening sembari membalas tatapan Kia. Sulit memahami semua ucapannya aku memilih bungkam.

"Kamu dengar gak, sih? Kalau kamu ingin terus kerja di sini. Kamu harus nurut denganku dan yang lain. Kerjakan dengan baik semua yang kami suruh. Jangan membantah dan berpura-pura sibuk sampai tidak bisa membantu pekerjaan kami."

"Maksud kamu apa?" Keningku semakin berkerut mendengar penuturan Kia. Entah Kia sengaja atau tidak, tetapi wanita itu terang-terangan menganggapku babu yang bisa di suruh apa pun.

"Maksudku kamu harus memperbaiki berkas itu sekarang juga," kata Kia gugup sebelum berlalu ke mejanya. Meninggalkanku sendiri yang masih terus menatap.

"Tunggu apa lagi, cepat kerjakan," kata Okta sebelum menghindari tatapanku dan sibuk dengan ponselnya.

Menghela, aku menatap jam dinding sebelum memilih kembali ke meja dan mulai memperbaiki berkas yang ternoda ini.

Mungkin ini bukan hari keberuntunganku.

Tidak hanya beberapa kali mendapat teguran kasar, keadaan juga tidak mendukung. Komputer dimejaku mendadak eror. Dengan berat hati aku harus menunggu beberapa menit dan mengulang dari awal lagi karena tidak yang mau meminjamkan komputer mereka.

Lalu saat pukul tiga kurang sepuluh menit lagi, Bu Devina datang dan memarahiku lagi karena belum selesai juga, sedang peserta rapat dari luar kota sudah datang. Dan saat tinggal beberapa kata lagi yang belum aku ketik, tiba-tiba Kia memberi tahu jika dia berhasil menyelesaikannya.

Bu Devina segera menuju tempat Kia
Dia mang tidak memuji keberhasilan Kia, tetapi aku tahu nilai Kia Dimata Bu Devina meningkat. Bukan hanya itu saja Kia juga mendapat pujian dari rekan yang lain. Mereka bilang Kia sangat baik karena mau membuat ulang dokumen yang aku rusak.

Sedangkan aku dikatakan tidak bertanggung jawab dan malas-malasan seja tadi, apalagi aku hanya tinggal menyalin dari kertas yang sudah dikerjakan Kia. Berbeda dengan Kia yang harus memulai dari awal dan berhasil memperbaikinya tepat waktu.

Aku yang mendengar semua itu hanya terdiam sembari menatap Kia yang berlari ke ruang fotokopi dan kembali beberapa menit kemudian. Aku melihat Kia langsung menyerahkan kertas tersebut pada Bu Devina, dan dia mengantar kepergian Bu Devina dengan senyum sopan sebelum membalas tatapanku dengan senyum lebar sembari melangkah mendekat.

"Lily kamu belum selesaikan?"

Aku menggeleng pelan.

"Kamu tahu, kamu sangat beruntung karena aku punya salinannya, jadi bisa selesai tepat waktu. Kalau tidak entah bagaimana nasibmu," kata Kia pelan yang membuatku melotot kaget. "Berterima kasih dan balas kebaikanku hari ini karena berhasil menyelamatkan karirmu."

"Bukannya kamu bilang tidak memiliki sali-"

"Sudah, ya. Aku sibuk. Aku akan segera meminta balasannya padamu. Bersiaplah."

Aku menatap Kia yang memotong kalimatku sembari menahan kesal. Kini wanita itu sudah berbalik dan mengabaikan panggilanku.

Hari ini ini aku merasa benar-benar bodoh dan menyedihkan.

Rela menahan lapar dan kebutuhan ke kamar mandi, tahunya aku malah dipermainkan Kia dan yang lain.

Sakit yang sangat menusuk di dada dan panas di mata membuat tidak tahan. Aku segera mematikan komputer dan bangkit. Mengabaikan semua pasang mata, aku melangkah dengan kepala terangkat menuju kamar mandi. Sebelum aku benar-benar menghilang di balik tembok, aku mendengar suara tawa di belakang.

"Gila kamu Kia, tega banget ngerjai Lily sampai segitunya."

"Tapi lucu sih lihat wajah jelek Lily menahan tangis dan marah."

"Dia udah mulai gak nurut sama kita, jadi pantas mendapatkannya. Kita bakal repot kalau dia terus-terusan membuat kesalahan di tugas yang kita berikan. Bisa-bisa kita yang mendapat masalah sama Bu bos."

"Bener, tuh. Kemarin aja aku sampai kena tegur gara-gara Lily salah hitung. Kan ngeselin banget, tuh."

"Aku juga kena. Tetapi tiga hari yang lalu."

"Sial banget. Semoga saja setelah ini dia kapok dan kembali mengerjakan tugas kita dengan benar."

"Setuju. Aku udah pusing lihat grafik angka dan mikir."

Room To Room Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang