Ini anggur mahal yang di berikan oleh Jess untuk Axel dan aku karena membuat Klub mereka mendapat keuntungan besar.
Jujur aku ingin mencicipi anggur berusia puluham tahun ini. Tetapi sangat sulit. Aku benar-benar gugup.
Selesai menuangkan gelas Axel, aku cepat-cepat meletakan kembali botol anggur ke meja. Aku menghela lega tanpa kentara sebelum mempersilakan Axel minum.
Melihat lelaki di hadapan mengambil gelas anggur dan menyesapnya, aku menelan ludah tanpa sadar. Lalu menoleh ke arah lain saat Axel menatap. Tatapan mata Axel benar-benar membuat kegugupanku bertambah berkali lipat dengan kecepatan mengerikan.
"Kamu juga harus minum."
Aku segera menoleh saat mendengar suara Axel. Membeku saat melihat lelaki itu menuangkan gelas di hadapanku dengan gerakan luwes.
"Minumlah."
Mengangguk, aku segera mengambil gelas pemberian Axel, lalu menengak dalam satu tegukan. Dan langsung terbatuk-batuk dengan sangat parah kemudian.
Aku malu, dan lebih malu lagi saat Axel mengulurkan air putih dalam kemasan padaku. Namun, karena batuk semakin parah, aku segera mengambil dan mencoba meminumnya dengan perlahan.
Rasa lega langsung memasuki tenggorokan, lama-kelamaan batukku mereda dan aku mengucapkan terima kasih dengan wajah memerah pada Axel. Axel hanya mengangguk sembari terus menatap tanpa mengatakan apa-apa.
"Kemarilah."
Aku membeku sesaat, lalu dengan gerakan lambat bangkit dan berjalan mendekat. Aku berdiri di samping Axel sembari terus membalas tatapan lelaki itu.
Meremas-remas rok berulang kali, aku terpekik saat Axel menarik tanganku, membuatku jatuh ke dalam pangkuannya.
Aku menelan ludah, sebelum menarik tanganku yang mampir di bahunya. Sungguh aku mati-matian berusaha keras agar tidak bangkit dan berlari menjauh.
Inilah risiko yang harus aku ambil dari jual diri.
Memang aku berkata tidak akan ada sex dalam perjanjian. Tetapi Jess menjelaskan tidak ada sex bukan berarti tidak ada sentuhan lain. Ciuman, pelukan atau bermesraan harus tetap ada. Karena pembeli tidak akan mau membeli sesuatu jika hanya dapat melihat dari jauh tanpa bisa menyentuh.
Kerena itu pula aku menyetujuinya dengan sadar diri.
Kini aku menyadari beratnya beban dari persetujuan itu. Mau melawan dan menghindari Axel pun tidak mungkin.
Sekarang aku benar-benar tidak berdaya dan menyedihkan.
Karena tidak berani menatap Axel, aku menunduk sembari meremas kedua tangan dan terkadang juga meremas pakaian yang aku kenakan.
Ide menggoda agar tampak seperti wanita-wanita malam yang butuh penghasilan cepat pun kini melayang dari kepala. Pikiranku benar-benar kosong.
Sentuhan ringan di dagu membuatku memundurkan kepala, sebelum sadar dalam beberapa detik dan memilih menuruti pergerakan Axel yang membuat mata kami saling bersitatap.
Axel memiliki mata yang indah. Tatapannya dalam dan menyesatkan. Aku sampai menahan napas hanya karena di tatap olehnya.
"Sampai batas mana aku bisa menyentuhmu?"
Suara berat Axel menggelitik telinga, membuat jantung berdebar dan rasa panas menyerang wajah serta telinga tanpa ampun. Namun, begitu memahami kalimatnya aku benar-benar membeku.
"Apa aku boleh menyentuh ini?"
Sentuhan ringan Axel di bibir membuat jantung berdebar lebih gila. Aku takut dia akan mendengar. Tetapi lebih takut lagi Axel akan marah karena aku tidak menjawab pertanyaannya.
"Atau aku boleh menyentuh sampai sini?"
Aku menarik napas panjang sebelum menahan saat Axel menyentuh dadaku dengan ringan, dan meski tangannya sudah tidak ada di sana lagi, aku masih bisa merasakan sensasi terbakar akibat sentuhan Axel.
"Kamu akan mati jika terus menahan napas."
Axel menyentuh leherku, dia tersenyum saat napasku memburu dengan cepat. Senyum yang tak sampai ke matanya itu anehnya benar-benar memikat.
"Jadi sampai mana aku bisa menyentuhmu?"
Aku gelagapan saat Axel kembali bertanya. Sangat kebingungan harus menjawab apa. Namun, Axel yang menunggu jawaban membuatku menyerah. "Semuanya," kataku terbata.
"Benarkah aku bisa menyentuhmu semuanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Room To Room
RomanceJangan lupa follow, ya. Tap bintang dan komen juga kalau mau. Sepi banget akunku. Lily Cleona sudah bekerja lebih dari sembilan tahun di tempat kerja lamanya, namun dia tetap tidak mendapat teman. Bahkan tak satu pun rekan kerja yang tahu nama leng...