Sembilan

7.1K 295 1
                                    

"Jam kantor sudah selesai dan aku tidak memiliki tugas lain." Begitu menyelesaikan kalimat, aku merasa jantungku memberi dengan berisik. Keringat dingin dan rasa gugup pun mulai menyerang apalagi saat mendengar tawa Okta.

"Kamu sudah gak waras, ya? Bukannya Bu Devina tadi memintamu membantu kami."

"Tapi aku tidak mau membantu kalian," kataku pelan. Lagi-lagi suasana kembali hening meski aura kemarahan menguat dari setiap sudut. Tidak ingin mengalah di sini, aku bersiap pergi sebelum terhenti dengan suara Bu Devina.

"Saya pikir kalian sudah menyelesaikan tugas dan bersiap pulang. Ternyata kalian malah berkumpul di sini," kata Bu Devina pelan. "Dan apa-apaan kamu Lily. Berani sekali kamu membantah perintah saya."

Aku menatap Bu Devina, lalu meremas kedua tangan saat dari sudut mata melihat senyum tipis rekan kerjaku yang lain. "Saya minta maaf, Bu. Dan saya permisi." Aku menunduk hormat, lalu mulai melangkah meninggalkan ruangan.

"Berani kamu mengambil satu langkah lagi, kamu benar-benar akan saya pecat!"

Aku menghentikan langkah, lalu menoleh ke belakang. Menatap Bu Devina dan rekan kerjaku yang lain. Ada yang sudah aku kenal sembilan tahun lebih, ada juga beberapa junior yang baru aku kenal beberapa tahu kebelakang. Tetapi tidak ada satu pun orang yang dekat denganku di sini.

Dari tatapan rekan kerjaku saja aku tahu mereka puas melihatku terpojok. Mungkin mereka kira aku akan bersujud meminta maaf pada Bu Devina. Memohon agar tidak dikeluarkan dan kembali jadi pesuruh kantor yang bisa diminta mengerjakan apa pun.

Akan tetapi mereka salah. Kali ini aku benar-benar akan pergi dari sini.

"Ibu tidak perlu repot-repot memecat karena surat pengunduran diri saya sudah ada di atas meja," kataku yang membuat semua orang tersentak. "Saya permisi." Tanpa mau menunggu lebih lama lagi aku segera berbalik dan pergi dari sana.

Barang-barangku tidak banyak, jadi aku tidak perlu repot-repot merapikan meja kerja. Nyaris semua barang yang ada di mejaku milik kantor, atau barang titipan rekan kerja karena meja mereka penuh.

Kini aku bersyukur akan hal itu. Karena dengan begitu aku tidak perlu membawa banyak barang saat keluar dari kantor ini.

Meski aku senang terbebas dari kantor ini, tetapi tidak dapat dipungkiri aku sedikit sedih. Dari hasil kerja di sini aku dapat lulus SMA dan kuliah. Dan dari hasil kerja di sini juga aku dapat memuaskan nafsu belanjaku yang tebilang lumanyan besar.

Andai saja aku diperlakukan seperti karyawan yang lain, sudah pasti aku akan bertahan di sini.

Menghela, aku menggelengkan kepala. Baru beberapa menit aku keluar, tidak boleh ada penyesalan. Memantapkan hati, aku bergegas melangkah. Tidak sampai lima menit aku tidak di luar.

Meski sudah terbilang malam, masih cukup ramai orang-orang berlalu lalang di sekitaran kantor. Tanpa mempedulikan mereka semua aku segera melangkah ke arah parkiran. Menghidupkan motor dan segera membawanya pergi. Sangat berharap dengan begini aku bisa meninggalkan semua hal buruk di sini.

Tiba di rumah jam sudah menunjukan pukul sembilan. Aku segera membersihkan diri. Saat selesai aku melihat ponsel berkedip beberapa kali, ternyata sejak tadi Bu Rosa mengirimkan pesan.

'Akhirnya kamu keluar.'

Aku tersenyum membaca pesan yang dikirimkan Bu Rosa.

'Bagaiaman perasaanmu? Apakah lebih baik.'

'Jika ada barang kamu yang tertinggal katakan saja. Besok akan saya ambilkan.'

Setelah membaca pertanyaan yang dikirimkan Bu Rosa, aku mulai mengetik balasan.

'Ya, saya merasa lebih baik, Bu.'

'Tidak ada barang saya yang tertinggal, tetapi terima kasih atas niat bantuannya.'

Selesai mengetik, aku segera mengirimkan. Tidak menunggu waktu lama Bu Rosa sudah terlihat membaca. Bahkan kini Bu Rosa sudah terlihat mengetik pesan.

Sembari menunggu balasan Bu Rosa, aku melangkah ke meja dan menghidupkan laptop. Kembali membuka email yang kuterima di kantor saat mengerjakan pekerjaan dibawah tatapan Bu Devina.

Room To Room Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang