Tujuh

7.6K 261 2
                                    

"Itulah kenyataanya, Lily. Sembilan tahun kamu di sini. Selalu mendapat tekanan tanpa mau melapaskan diri. Dan semua tekanan itu membuat alam bawah sadarmu berpikir jika kamu tidaklah berharga. Dunia ini luas, meski keluar dari sini pun kamu tidak akan kelaparan."

"Tapi aku takut, Bu." Tepukan yang diberikan Bu Rosa di bahu, membuat perasaanku menghangat. Sudah lama sekali aku tidak merasakan ini.

"Kalau kamu terus takut untuk melangkah selamanya kamu akan terkunci di sini. Di perbudak mereka dan menjadi semakin menyedihkan. Saya juga yakin kejadian tadi akan terulang, bahkan mungkin lebih parah lagi."

Aku bergidik, ketakutan membayangkan kejadian beberapa menit lalu. Meski sekarang aku sudah aman, rasa takut akan Tama belum menghilang. Membayangkan wajah lelaki itu saja membuatku mual dan merinding. Sungguh aku tidak ingin kejadian itu terulang, bahkan aku sangat berharap tidak akan pernah bertemu Tama lagi sampai aku tua dan mati.

"Bukannya kamu sendiri pernah bilang lebih baik menjual keperawananmu dengan harga mahal dari pada menyerahkannya dengan gratis pada lelaki yang tidak kamu cintai."

Aku tersentak, sampai tubuhku mundur menyandar tembok. Dari mana Bu Rosa tahu, sedangkan aku tidak pernah menceritakan pada siapa pun pikiran nyeleneh itu.

"Terkejut saya tahu pikiran anehmu?"

Mengangguk pelan, aku menatap Bu Rosa dengan menahan malu.

"Saya tidak akan memberitahu sebelum kamu menyerahkan syarat pengundurkan diri."

Mengigit bibir, aku mengalihkan pandangan. Tanpa Bu Rosa minta pun aku ingin sekali keluar dari sini. Hanya saja aku ingin keluar saat surat lamaran sudah di terima di perusahaan lain. Aku memang tidak punya hutang yang membuatku harus tetap menghasilkan banyak uang perbulannya. Masalahnya kau tidak memiliki banyak tabungan, jika aku keluar sekarang dan menjadi pengangguran dalam waktu lama atau malah mungkin selamanya aku akan mati dengan menyedihkan.

"Ini nasihat pertama dan terakhir yang bisa saya berikan padamu. Bulan depan saya tidak akan bekerja di sini lagi."

Aku mendongak saat melihat Bu Rosa bangkit.

"Bangunlah, kamu sudah menghabiskan waktu terlalu lama di sini. Dan ini masih jam karja, tanpa aku beritahu pun kamu akan tahu apa yang akan kamu dapatkan setelah kembali ke meja kerjamu."

Bu Rosa benar. Sudah beberapa menit aku mengurung diri di sini. Dan Bu Rosa juga benar, aku akan langsung mendapat teguran begitu kembali ke mejaku lagi.

"Ibu benar, terima kasih sudah mengingatkan saya." Aku segera bangkit.

"Jangan lupa rapikan penampilanmu," kata Bu Rosa sebelum berbalik dan melangkah pergi.

"Terima kasih sudah menyelamatkan saya, Bu." Aku membungkuk, lalu menatap kepergian Bu Rosa hingga menghilang dari pandangan. Setelah aku segera merapikan penampilan dan keluar dari kamar mandir setelahnya.

Bu Rosa benar saja seperti yang Bu Rosa dan aku duga. Sekembalinya ke meja kerja, aku langsung mendapat teguran dan nyinyiran dari rekan kerja lain.

Tanpa mempedulikan mereka aku duduk di kursiku, menyalakan komputer sebelum menarik laci dan menatap surat pengunduran diri yang aku buat empat hari lalu. Haruskan aku menyerahkan surat pengunduran diri ini pada Bu Rosa?

Aku masih terus kebingungan sembari bertanya-tanya dalam hati apa yang terbaik sampai Kia dan empat orang lain berhenti di depan mejaku sembari membawa berkas di tangan mereka masing-masing.

Menatap mereka bingung, aku baru mau bertanya saat suara Kia lebih dulu keluar. "Apa maksudmu?" Tanpa sadar aku bertanya balik saking terkejutnya.

"Maksudku kamu kerjakan ini. Harus rapi dan cepat," kata Kia meletakan map berwarna biru ke atas meja. "Tentu saja kamu tidak akan menolak, kan? Aku tadi sudah menolong kamu, loh. Sekarang giliran kamu yang menolongku."

Kia tersenyum dengan lebar, sebelum berbalik kembali ke mejanya. Setelah Kia pergi aku harus menghadapi beberapa orang lagi yang mengatakan hal yang sama. Memintaku mengerjakan pekerjaan mereka karena mereka tengah mengerjakan tugas lain.

Room To Room Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang