Delapan Belas

3.1K 125 0
                                    

Begitu tiba di ruangan lain, aku dan Melly langsung menjadi pusat perhatian dalam beberapa detik. Sebelum semuanya kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Dan aku membeku, masih terkejut saat melihat banyak wanita yang tengah mempercantik diri dan beberapa pria yang merapikan penampilan.

Mereka semua bersiap tampil demi mendapatkan pembeli dan uang dalam waktu cepat.

"Kamu tunggu di sini saja, nanti akan ada orang lain yang memimpin  keluar. Tidak perlu menyapa mereka jika tidak mau. Kamu tidak diwajibkan beramah taman di sini. Namun, tidak juga diizinkan membuat keributan."

Aku mengangguk kaku. Syukurlah jika begitu. Meski ingin memiliki banyak teman, aku tidak pandai menyapa orang lain, apalagi orang itu baru aku temui.

"Baiklah kalau begitu, aku pergi. Semoga kamu dapat banyak penghasilan malam ini."

Melihat Melly yangengedipkan mata aku tersenyum malu sebelum menghindari tatapannya. Dan begitu wanita itu pergi, aku menatap sekitar dalam diam sebelum mengambil tempat duduk kosong yang ada sudut kiri ruangan.

Sepanjang menunggu giliran, aku berkali-kali memperbaiki masker yang aku kenakan. Tidak menginzinkan siapapun untuk memperhatikan wajahku agar tidak ada yang mengenaliku di masa depan. Karena ini akan menjadi pengalaman pertama dan terakhir untuk menjual diri demi uang. Dan aku bersumpah akan hal itu.

Memang ada beberapa wanita menyapa, bertanya apa aku ingin memperbaiki riasan atau berganti pakaian agar bisa tampil lebih maksimal. Namun, aku menolak dengan halus.

Aku cukup percaya diri dengan riasan dan baju yang aku kenakan.

Meski semua wanita di sini memakai baju terbuka yang memperlihatkan punggung, perut, paha, atau belahan dada, aku tidak tertarik untuk mengikuti meski klub ini menyediakan baju untuk yang membutuhkan.

Selain beberapa wanita yang menyapa, ada juga beberapa pria menggoda. Mereka mengajak berkenalan yang tidak bisa aku tolak dan bertukar kontak. Namun, untuk kontak aku menolak sehalus mungkin.

Aku tidak ingin memberi tahu siapapun kontak pribadi atau nomor cadanganku.

Memberi mereka kontak berarti memberi mereka kesempatan untuk berhubungan denganku lebih lama. Dan aku tidak ingin itu terjadi.

Dari tatapan mata mereka saja aku tahu apa yang orang-orang ini inginkan.

Sepuluh menit berlalu, satu persatu peserta keluar dan masuk kembali dengan senyum puas. Nyaris semua peserta yang datang lebih dulu dariku sudah tampil. Tetapi ruangan ini masih tetap ramai dengan peserta baru yang diantar Melly.

Ternyata acara ini cukup populer. Aku sampai tidak bisa berkata-kata saat wanita-wanita yang lebih muda dariku masuk dengan berkelompok.

Namun, aku tidak ingin peduli pada mereka. Karena setelah menunggu beberapa peserta lagi, aku di panggil oleh lelaki yang sejak tadi mengantar peserta. Dia memintaku bersiap karena setelah yang di luar masuk, aku akan segera keluar.

Aku menarik dan mengembuskan napas beberapa kali saat jantungku berdebar dengan berisik. Memejamkan mata, memegang dada dan terus mencoba menenangkan diri. 

Membuang semua nurani dan rasa penyesalan diri.

"Ayo."

Tersentak kaget aku segera membuka mata saat sentuhan ringan mampir ke lenganku.

Tanpa sepengetahuan lelaki itu aku mengusap bekas sentuhannya sebelum bergegas mengikuti langkahnya.

Aku bukan orang suci. Malam ini juga aku berniat menjual diri. Tetapi aku juga tidak mengerti kenapa bisa secara refleks mengusap bekas sentuhannya. Ada rasa enggan saat tubuhku tiba-tiba di sentuh.  Walau dengan cepat aku mengenyahkan rasa enggan itu.

Begitu sampai di luar sorakan dari bawah membuatku mundur satu langkah dan segera memegang masker di wajah.

Takut jika kain yang aku pakai untuk menutupi wajahku tiba-tiba menghilang.

Beruntung klub ini membebaskan kami tampil seperti apa pun. Terserah mau tidak memakai apa pun atau malah menutup seluruh wajah.

Room To Room Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang