Hari semakin malam, cahaya rembulan pun kian terlihat terang. Masuk kedalam celah jendela dari gordeng yang sedikit terbuka.
Gadis itu duduk di depan leptop, merevisi naskah drama yang sebelum nya sudah di buat oleh anggota teater.
Tak perduli bahkan saat mata nya sudah begitu lengket, namun hanya ini yang bisa Wendy lakukan untuk mengalihkan pikiran nya atas pertengkaran nya sore tadi.
Ia merentangkan tubuh nya yang terasa pegal karna duduk di bawah lantai, di kamar itu. Hanya di sediakan satu meja belajar yang di gunakan kusus untuk Thalia.
Sedangakan Wendy hanya di beri sebuah meja kecil yang bisa di lipat untuk tempat nya belajar.
Tak adil memang, namun gadis itu sudah amat bersyukur bisa di beri rumah, makanan, dan baju yang layak dari Embun.
Meski kebanyakan baju nya merupakan bekas dari Stela dan Thalia.
"Tidur."
Ia menoleh kearah Thalia yang berujar, menatap nya dari atas kasur. "Udah malem."
Wendy tak menyahut, namun tetap menurut. Menutup leptop yang semula milik Thalia dengan pelan. Tubuh nya beransur naik, berbaring di sebelah sang kakak.
"Luka nya mau di obatin lagi?"
Gadis itu menggeleng samar, "Udah tadi sama Mba Stela."
"Masih sakit?" Tangan lembut Thalia menyentuh pipi Wendy yang membengkak, meringis kecil saat gadis itu malah mengukir senyum lebar.
"Engga kok, abis di pegang kamu gini juga pasti sembuh. Makasih udah mau perhatian."
Thalia menjilat bibir nya yang terasa mengering, rasa bersalah akan perbuatan nya yang dulu seketika hinggap kehati nya.
Saat-saat ia dengan senang hati melihat Wendy di pukuli, saat-saat ia begitu membenci gadis di hadapan nya kini, saat-saat Thalia belum mengerti—
Jika cukup kehilangan Banyu saja yang begitu menyakitkan, ia tak ingin merasa kehilangan lagi.
Maski yakin, bila Wendy tak akan pernah meninggalkan mereka.
"Wendy maafin gue."
"Ka Thalia gak punya salah," Jawab nya lembut. "Kalo pun ada, tampa kamu bilang aku juga pasti udah lupa."
"Banyak hal indah yang perlu di ingat, jadi buat apa kita ingat hal buruk nya."
Wendy melempar senyum tipis, menatap kearah langit-langit kamar.
"Aku gak pernah mau ingat saat bunda sering bilang Benci, tapi aku selalu ingat saat dulu Bunda bilang sayang."
"Wendy, Bunda sayang banget sama Wendy. Sama kaya Bunda sayang ka Thalia dan Mba Stela."
"Ucapan Bunda yang satu itu, gak pernah mau aku lupa."
~•~
Gatra membukakan helm yang sebelum nya membungkus kepala Bella, tersenyum lembut. "Mau di anter kekelas?"
"Gak usah, gue– Samudra!" Bella melambaikan tangan kearah Samudra yang melintas. Meski lelaki itu bahkan tak menoleh sama sekali.
"Gue bareng Samudra aja, duluan Tra!"
Gatra mengangguk terpatah, meski sedikit merasa tak nyaman.
"Kasihan amat, cuma di jadiin tukang ojek. Di bayar berapa A?" Wendy berdiri di sebelah Gatra, saat melewati parkiran.
Lelaki itu berdecak sebal, menatap malas Wendy. "Kenapa selalu ada lo si?"
"Iya dong, aku ada di mana-mana. Di hati setiap orang hehe." Ia menampilkan senyum lebar, meski tak terlihat terhalang sebuah masker hitam yang ia kenakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOU ARE MY PETERPAN
Teen FictionSelama ini, Wendy hanya tak suka satu hal. Kehilangan. Entah kehilangan karna perpisahan, atau kematian. kedua nya sama-sama menyakitkan. Namun sejak belia, gadis itu sudah harus merasakan sakit nya kehilangan karna kematian, yang merambat menjadi...