Makan malam yang biasanya hanya di isi tiga kursi kini terdapat lima, membuat kecanggungan terasa lebih nyata. Terlebih saat Thalia sudah mulai mau mengerti setelah sebelumnya di jelaskan oleh Afra dan Putri.
Hanya suara dentingan sendok dan piring yang beradu, kelimanya sama-sama bungkam karna bingung harus memulai dari mana.
"Makan sayur nya yang banyak–" Putri kembali menambahkan sayur kepiring Wendy yang bahkan baru memakan beberapa suap.
Kepala nya terus berdenyut, namun lebih memilih bungkam dan menahan nya. Setidaknya ia masih mau berusaha untuk tetap kelihatan baik-baik saja.
"Wendy–"
"Aku mual." Gadis itu memotong ucapan Afra, menutup mulut nya sebelum berlari cepat masuk ke dalam toilet di lantai satu.
Wendy bersimpuh di dekat Kloset, memuntahkan apa yang sebelum nya ia makan hingga perut nya terasa kosong.
Huek! Huek!
Kepala nya yang terus berputar membuat apa yang ada di dalam perut nya ikut bergejolak.
Tangan nya meremas bibir kloset hingga buku-buku jari nya memutih, tak ada lagi yang bisa ia keluarkan selain cairan bening yang terasa begitu pait.
Hingga tubuh itu terasa begitu lemas, bersandar di dinding kaca yang ada di sana setelah menekan tobol di atas kloset untuk menghilangkan muntahan nya.
Wendy tak sekali dua kali seperti ini, hingga di rasa ia bisa menyelesaikan nya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Karna setelah merasa lebih baik, Afra baru akan datang menghampiri. Memberikan nya segelas air putih atau secangkir jahe merah hangat yang sudah di buat oleh putri.
"Udah gak mual?" Suara lembut itu terdengar, membuat Wendy seketika menggeleng pelan.
Tanpa rasa jijik, Wanita itu membersihkan bibir Wendy dengan tangan nya yang sudah di basuh air. Tersenyum tipis. "Mau makan lagi atau tidur?"
"Tidur aja."
"Okey, habis ini minum obat dulu ya. Biar di bantu sama Stela." Tubuh lemas itu di paksa bangkit, Afra menahan Wendy agar ikut dengan nya menuju kamar gadis itu.
"Hari ini Stela dan Thalia nginep, mereka bakal nemenin kamu. Ga papa kan?"
Wendy ingin menolak karna jika sudah seperti ini, malam nanti rasa sakit nya akan lebih parah menyerang.
Namun, tak mungkin ia rasanya menolak–
"Iya." Jawab nya pelan, masuk kedalam kamar yang ternyata sudah terisi Stela, dan Thalia.
"Tadi udah tante kasih taukan obat-obat nya apa aja, adik nya di jaga. Kalo Wendy ngerasa sakit atau mimpi buruk usap aja kepala nya. Ngerti?"
Kedua orang itu sepontan mengangguk patah-patah, mulai membantu Wendy dalam mengganti pakaian yang sebelum nya terkena muntahan.
Membiarkan Afra pergi meninggalkan mereka bertiga di sana.
"Pelan-pelan—"
"Wendy," Thalia meremas kaus yang sebelum nya membalut tubuh kurus sang adik. Menatap bekas luka di punggung Wendy yang terlihat begitu menyakitkan.
Melihat respon Thalia dan Stela membuat Wendy mengerti, ia tersenyum tipis. "Ga papa, udah gak sakit kok."
"Ini karna—"
"Bunda,"
~•~
Embun menatap kearah langit-langit kamar, kosong dan begitu sunyi. Karna dirumah itu hanya ada ia sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOU ARE MY PETERPAN
JugendliteraturSelama ini, Wendy hanya tak suka satu hal. Kehilangan. Entah kehilangan karna perpisahan, atau kematian. kedua nya sama-sama menyakitkan. Namun sejak belia, gadis itu sudah harus merasakan sakit nya kehilangan karna kematian, yang merambat menjadi...