Tangan nya menurunkan piala kemenangan yang ada dalam genggaman, memberikan nya pada salah satu dari teman main nya tadi.
"Lo bawa aja dulu, besok senin di bawa ke sekolah lagi."
"Oh ya, Buat yang tadi dekomentasi kirim ke gue ya?"
"Sehat-sehat, sampai ketemu hari senin." Wendy berujar, meninggalkan ruangan yang penuh sesak itu.
Bukan hanya dengan para pemain Drama musikal yang baru selesai, namun juga para keluarga mereka yang berbondong-bondong hadir.
Menonton, memberi semangat, membawa beberapa buket bunga untuk mereka.
Di sana, sepertinya hanya Wendy yang tak memiliki siapa-siapa.
"Dy! Makan dulu yuk!"
Gadis itu menoleh kearah Citra yang berujar, merangul nya dengan hangat. Memberikan nya sebuket bunga yang tak ia terima. "Nyokap suka banget sama akting lo tadi! Anjir dia ampe nangis!"
Ia menoleh kearah ibu dari Citra, melempar senyum tak enak. "Duh, maaf Tant."
"Eh gak papa, tante malah seneng. Gak kaya Citra yang masih kaku!"
Wendy tertawa kecil, melirik kearah Citra yang menunjukan mimik penuh kesal. "Dih apa dah! Itu emang tokoh nya kaku kali! Aku mah mendalami!"
"Iya-iya udah." Lelaki yang sejak tadi diam mulai bersuara. "Mending sekarang kita makan. Wendy ikut juga Yuk?"
"Dari pada sendiri—"
"WENDY!"
Keempat nya menoleh kearah seorang gadis yang berlari kearah mereka, melempar senyum kecil.
Tangan putih nya memberikan sang adik setangkai bunga matahari. Di saat para pemain lain nya di berikan buket-buket besar penuh keindahan.
Namun agak nya Gadis itu tak masalah, setangkai bunga matahari itu sudah lebih dari cukup untuk Wendy.
Terlebih mungkin, penuh pertimbangan untuk sang kakak membeli nya–
"Bagus gak? Itu Mba petik dari taman kantor."
Senyum yang sejak tadi terpatri luntur seketika, Wendy mengangguk samar meski enggan. "Bagus."
Stela tertawa kecil, merangkul tubuh sang adik dengan hangat. Membawa nya keluar ruangan setelah sebelum nya berpamitan pada orang tua Citra.
"Maaf ya tadi telat." Ia berucap penuh sesal, tau jika mungkin sang adik merasa sedikit marah pada nya.
"Ga papa, lebih baik telat dari pada gak sama sekali." Wendy menyahut, berjalan kearah motor Stela yang terparkir di lahan gedung pertunjukan.
"Thalia ada acara di kampus nya, trus Bunda juga kayanya nanti bakal lembur. Jadi mereka gak bisa dateng."
"Kamu ngerti kan?"
"Bukanya ngerti gak ngerti aku di tuntut buat selalu paham?" Sahut nya, menerima helm dari sang kakak.
"Wendy–"
"Mba udah, kalo mereka atau bahkan kamu gak dateng. Aku gak masalah." Wendy berujar serius, menatap kearah sang kakak dalam.
"Bukanya hal itu udah biasa? Bukanya mereka juga udah bisa gak nganggep aku ada?"
"Jadi udah cukup, kamu bahas ini malah buat aku sakit."
Stela mengangguk, mencoba paham akan pemikiran sang adik. Meski jika boleh jujur tak hanya Wendy yang terluka. Ia pun sama.
Kehilangan kepala keluarga secara tiba-tiba, dalam keadaan yang begitu mengenaskan. Cukup membuat keluarga mereka terpecah.
Stela mengerti, semua nya merasa kehilangan. Tapi bukankah rasa sakit gadis itu lebih besar? Wendy melihat sendiri bagiamana sang papah meregang nyawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOU ARE MY PETERPAN
Teen FictionSelama ini, Wendy hanya tak suka satu hal. Kehilangan. Entah kehilangan karna perpisahan, atau kematian. kedua nya sama-sama menyakitkan. Namun sejak belia, gadis itu sudah harus merasakan sakit nya kehilangan karna kematian, yang merambat menjadi...