"Bunda~"
Hal pertama yang gadis itu sebut saat tubuh nya tengah melayang kebawah, menatap wajah Embun yang nampak menunjukan mimik begitu kaget dan tak menyangka.
Dari sana Wendy dapat melihat air mata sang bunda menetes meski samar, ia tersenyum saat ingat jika hari ini, untuk pertamakalinya Embun menyebut nama nya. 'Wendy.'
Bruk! Prang!
Senyum itu perlahan luntur saat tubuh nya jatuh meluruh, tepat di atas meja makan kayu berlapis kaca yang ada di sana. Wendy merasa seakan tulang-tulang nya remuk karna benturan itu.
Di tambah kaca yang pecah dengan beling yang menusuk beberapa bagian tubuh nya hingga terasa begitu sakit.
Di sisa kesadaranya mata itu tak lepas menatap Embun yang berlari menuruni anak tangga, dengan air mata yang mengalir deras pada kedua pipinya.
Ah, Wendy benci melihat Embun menangis, karna hati nya akan lebih merasa sakit.
"Wendy maaf, maafin Bunda."
Engga, Bunda gak salah!
"Wendy—"
Uhuk! Uhuk!
Gadis itu terbatuk saat kian lama terasa semakin sesak, seakan paru-paru nya terisi penuh hingga susah bernafas.
Bunda, sakit.
Ia bahkan tak bisa berbicara, terlalu kelu hingga hanya ringisan kecil yang keluar dari bibir nya.
Uhuk!
Wendy terpejam saat dahak bercampur darah seketika keluar dari dalam mulut, dengan tubuh yang bahkan tak bisa bergerak karna terlalu sakit–
Embun bahkan tak bisa membantu banyak, selain menggenggam tangan nya erat sembari menangis terisak.
"WENDY!"
Gadis itu memejam saat suara Afra terdengar, di susul tapakan kaki yang kian mendekat dengan amat cepat.
"Kenapa?" Wanita itu tak bisa lagi menahan tangis nya, karna sungguh Wendy benar-benar terlihat mengenaskan.
Uhuk! Uhuk!
Cairan merah itu kian banyak keluar, seakan telah memenuhi paru-paru nya. Embun ingin memposisikan kepala Wendy lebih tingga jika Afra tak segera menahan tangan nya.
Wanita itu memposisikan tubuh Wendy menghadap kesamping, agar gadis itu bisa memuntahkan darah nya dengan lebih leluasa tanpa tertelan kembali. "Telepone ambulanas!"
Dan suunguh, Afra ingin sekali mencaci maki Embun karna bahkan tak bisa melakukan pertolongan pertama, atau setidaknya berinisiatif meminta bantuan.
Wanita itu melepas jaket milik dengan cepat, menahan pendarahan Wendy yang ada di belakang kepala.
Tangan Afra bahkan sudah begitu merah karna darah sang ponakan yang ada di mana-mana.
"Wendy– Wendy denger tante?"
Gadis itu mengerjap samar, sebisa mungkin menahan kesadaranya nya.
"Wendy–"
Ia menoleh kearah Embun yang menggenggam tangan nya erat.
"Tahan sebentar ya? Anak bunda kuat kan? Wendy anak Hebat."
Iya Bunda, Wendy kuat. Wendy kuat karna Bunda!
Seruan itu hanya bisa ia katakan dalam hati, dengan tetes air mata yang terus mengalir melewati sudut mata nya.
Tapi itu dulu, sekarang Wendy cape.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOU ARE MY PETERPAN
Novela JuvenilSelama ini, Wendy hanya tak suka satu hal. Kehilangan. Entah kehilangan karna perpisahan, atau kematian. kedua nya sama-sama menyakitkan. Namun sejak belia, gadis itu sudah harus merasakan sakit nya kehilangan karna kematian, yang merambat menjadi...