Menjelang siang hari, rintik hujan mulai berhenti. Hanya tersisa genangan air yang belum juga surut di beberapa jalan yang sedikit rendah.
Usai mendapat panggilan dari Bambang yang mengatakan jika Wendy sakit, Wanita itu bergegas pergi meninggalkan kantor yang tak terlalu sibuk.
Entah apa yang merasuki nya hingga bisa bergerak secepat itu, rasa cemas dan khawatir seketika melingkupi dada. Terlebih saat mata nya dapat jelas melihat sang bungsu yang sudah begitu lemas di bangku nya.
Embun melirik kearah sang anak yang terpejam, meremas seatbelt yang mengikat tubuh nya dengan amat erat.
Keringat sebesar biji jagung pun terlihat mengalir keluar dari rambut yang sudah lebih dulu lepek, padahal Ac di mobil itu menyala cukup sejuk.
"Harus nya bunda gak perlu jemput–" Suara dari bibir pucat itu melirih.
Sungguh Wendy amat tersiksa kini.
"Gak perlu buang-buang waktu untuk Anak pembawa sial kaya aku."
Dada nya berpacu cepat, dengan kepala yang terasa ingin pecah karna terlalu pening.
"Harus nya—"
"Kamu bisa diem gak, Berisik." Embun mencela, mengapa ia merasa sakit melihat Wendy seperti ini?
"Bunda." Wendy memejamkan mata erat, "Kalo nanti aku mati."
"Dan bangkit lagi di kehidupan selanjutnya," Tak terasa air mata nya menetes.
"Aku bakal minta Tuhan, untuk gak jadiin aku anak Bunda kok."
"Karna aku tau Bunda gak mau." Ia melempar senyum tipis, begitu tipis seakan hanya sebuah kedutan kecil.
"Aku sayang Bunda, Sayang bunda pake banget."
"Aku udah gak berharap lagi, Bunda bakal kembali sayang sama aku‐- Aku gak mau berharap lagi sama orang lain. Aku cape Bunda,"
"Kenapa luka yang Tuhan kasih gak pernah reda?"
Mata nya menatap kearah Embun yang tak merespon apa-apa, tersenyum kecut. "Apa karna aku emang pembawa sial? Ah, Harus nya aku ikut mati aja bareng papah."
"Biar gak ada yang salah."
~•~
Gadis itu berlari di sepanjang koridor kelas, bertanya-tanya mengapa hari ini sekolah terlihat sepi? Bahkan guru piket yang biasa nya ada di deket lobby pun tak nampak membuat Thalia mau tak mau menerobos masuk kearea kelas.
Brak!
"Wendy!"
Pintu itu di buka dengan paksa, membuat kelas yang awalnya nampak tak beraturan seketika hening.
"Ka Thalia?"
"THALIA!"
"YA ALLAH MIMPI APA SEMALEM!"
"THATHA!"
Gadis itu menatap mereka dengan sorot malas, berjalan tergesa menghampiri Citra yang duduk di kursi belakang.
"Wendy? Di mana?" Mata nya mengedar kepenjuru kelas, tak ada sang adik. Yang ada hanya teman-teman Wendy yang menatap nya penuh kagum.
"Wendy udah pulang kak." Citra menjawab pelan.
"Pulang? Sama siapa?"
"Di jemput sama tante Embun–"
"Naik mobil?"
Yang di tanya mengangguk samar, membuat Thalia jelas menghelanafas resah.
"Kenapa kak? Bukanya harus nya kakak seneng Wendy udah ada yang jemput—"
KAMU SEDANG MEMBACA
YOU ARE MY PETERPAN
Novela JuvenilSelama ini, Wendy hanya tak suka satu hal. Kehilangan. Entah kehilangan karna perpisahan, atau kematian. kedua nya sama-sama menyakitkan. Namun sejak belia, gadis itu sudah harus merasakan sakit nya kehilangan karna kematian, yang merambat menjadi...