12 - Aib

6K 672 60
                                    

"Jadi, namamu Sarada—Uchiha Sarada?" tanya Sasuke pada dia yang mengaku sebagai putrinya, walau sedikit tak percaya—hanya sedikit.

"Ya! Kata Mama, Papa yang memberikan nama ini untukku!" seru Sarada riang mendapati papanya bicara padanya untuk pertama kali.

"Aa, souka." Sasuke menatap jendelakamar—di markas Orochimaru. Embun hujan menempel di kaca, di luar sana tengah hujan deras. "Lalu, kenapa Salad kemari?"

Lidah Sasuke terpeleset—sungguh. Ingin mengucapkan 'Sarada' malah  terpeleset menjadi 'Salad', nama sayuran.

"Papa cadel, ya, seperti Paman? Dia juga selalu memanggilku begitu."

Paman? Uchiha Itachi, maksudnya?

Sasuke tertarik dengan topik ini, "Maksudmu Itachi?"

Sarada mengangguk lucu, "Paman membawaku ke markas besar dengan orang-orang aneh di sana. Tapi Sarada suka."

"Lalu?"

"Sarada tidak terlalu lama bersama Paman. Paman menyuruh Sarada bersembunyi bersama bayangannya hingga Paman memanggil. Sebelum itu, Paman bilang kalau Papa akan menjemputku. Sarada senang sekali akhirnya Papa menjemputku."

Sarada mengedipkan matanya polos seraya melanjutkan ceritanya, "Sarada tidak suka Papa pergi jauh-jauh, tidak ingat aku dan Mama. Umur Sarada sudah 6 tahun, berarti Papa selama itu meninggalkan Sarada sendiri bersama Mama."

"Papa tidak boleh kemana-mana lagi, ya?" pinta Sarada menarik tangan Sasuke.

"Aku tidak akan pergi kemanapun." Tangan Sasuke membawa Sarada ke dalam dekapan hangatnya.

Sarada tersenyum senang dengan rona merah yang muncul di kedua pipinya. Sarada semakin memperdalam pelukannya.

"Sarada sayang Papa banyak-banyak!"

-

"Seharusnya kau ikut dengan Papamu bukan dengan Papaku," rajuk Sarada, masih pada pembahasan awal—ikut papa masing-masing, tidak boleh menumpang—begitu kata Sarada.

"Aku tidak mau kembali ke Konoha bersama orang payah," sahut Boruto malas membahas ini—lagi.

"Salad, biarkan dia di sini agar kau tidak kesepian," celetuk Sasuke berwajah datar, padahal diam-diam setuju jika Naruto-dobe itu payah.

Sarada mengerucut, tapi kemudian wajahnya melunak. "Baiklah, kau boleh tinggal. Hanya menumpang, ya!"

"Kau seperti tidak pernah menumpang di rumahku saja," ledek Boruto menjulurkan lidahnya.

"Setelah ini aku tidak akan menumpang di rumahmu lagi." Sarada membalas juluran lidah juga. "Karena Papaku sudah pulang, Papa akan selalu mengantarku ke sekolah bersama Mama dan bermain bersamaku ketika Mama bekerja di rumah sakit."

"Dan aku akan sangat senang dengan hal itu!" sungut Boruto memalingkan wajah bersamaan dengan Sarada.

Uchiha Sarada, anak dari entah berantah asal keberadaannya tiba-tiba datang mengaku sebagai anaknya dan Sakura. Senang, dihatinya ia merasakan. Tapi, juga sedikit ganjil dengan kedua—ketiga anak—ditambah dengan adik Boruto yang bernama Hinawari.

Tampang Boruto sama persis dengan orang yang dikatakan ayah sekaligus calon hokage—Uzumaki Naruto. Sasuke tidak bisa membayangkan betapa konyolnya putra Naruto—bahkan bisa lebih.

Namun, satu hal yang pasti bahwa anak-anak ini berasal dari masa depan.

-

Hari sudah malam. Sasuke membawa Sarada ke kamarnya kala putrinya merengek tidak ingin satu kanar dengan Boruto. Katanya sangat menyebalkan, Boruto selalu memakan tempat dan hobi mengorok keras.

Suasa sepi menyambut kala ayah-anak ini memasuki kamar dengan hawa dingin disekelilingnya.

"Papa, kamarnya menyeramkan, padahal kamar kalian di rumah terang dan hangat," komentar Sarada semakin memeluk leher Sasuke erat.

Bersyukur pada gemerlapnya kamar ini, rona wajah Sasuke tidak terlihat.

"Aku bersamamu, jangan takut," ucap Sasuke seraya mengecup puncuk kepala Sarada usai menidurkannya di ranjang. Lantas, ia mengambil selimut dan ikut bergabung bersama Sarada. "Sekarang tidurlah, sudah malam."

"Nanti, Papa! Nanti!" cegah Sarada ketika Sasuke hampir menyelimutinya. "Sarada ingin bertanya dulu."

"Hn?"

"Siapa bibi cabai merah itu tadi?" tanya Sarada dengan mimik penasaran.

"Karin, hanya sebatas rekan."

"Jaga jarak 10 meter darinya, Papa." Sarada membuat tanda silang dengan kedua tangan mungilnya. "Papa itu punya Mama, bukan punya dia. Jadi, jangan dekat-dekat."

"Aku tidak menyukainya."

"Bagus, Papa harus selalu mencintaiku dan Mama," puji Sarada mengelus rambut Sasuke perlahan.

"Dan sekarang waktunya tidur," sahut Sasuke tidak ingin Sarada tidur terlalu larut.

"Tunggu dulu!" Sarada mencegah lagi. "Papa punya foto Mama?"

"Untuk apa?"

"Papa pasti punya. Kalian suami istri, harusnya punya satu sama lain." Sarada kembali terduduk. "Papa, ambil foto Mama ke sini," pinta Sarada.

"Tidak punya."

"Papa bohong!" Sarada menendang selimut beberapa kali dan merangkak turun. "Kalau begitu akan Sarada cari sendiri."

Benar saja, anak itu membuka lemari, laci nakas dan lain-lain demi mencari foto mamanya.

"Harusnya Papa punya," keluh Sarada kesal. Ia menghentakkan kepalanya keras di bantal. "Bantalnya keras, Papa." Sarada mengadu sembari membuka kepalan bantal tersebut. "Ah! Foto Mama!"

Sasuke memejamkan matanya pasrah. Alien kecil ini sudah membongkar aibnya.

"Ini foto Mama ketika masih genin, ya?" tanya Sarada terkagum. "Rambut Mama dulu masih panjang, cantik sekali. Sekarang rambut Mama juga panjang, tapi sudah dipotong."

"Dia memang suka rambut pendek," celetuk Sasuke.

"Papa tahu?"

"Sarada, waktunya tidur," tegur Sasuke kesekian kalinya.

"Oke, Papa!" seru Sarada.

Anak itu mulai memeluk foto sang mama dan membiarkan Sasuke memeluknya. Kini, keluarga itu rasanya lengkap walau tidak ada wujud fisik Sakura di sana.

SARADA Goes To THE PASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang