10 - Pakai apa?

6K 589 40
                                    

Sarada berlarian memutari satu per satu orang, mulai dari Kakashi, Naruto, hingga mamanya, Sakura. Batin gadis itu bahagia. Ia sudah bertemu dengan sang mama sebelum sang papa. Tanpa sadar melupakan kehadiran Itachi yang singgah sementara.

Gadis kecil itu riang gembira. Berlari mengekori Sakura yang terlihat pergi diam-diam. Ia tidak tau apa yang akan dilakukan oleh Sakura.

"Mama!" tegur Sarada. Ia menepuk pundak Sakura, mamanya terkejut. "Mama sedang apa? Kenapa berbohong ingin ke sungai? Padahal Mama sendiri ke sini memetik tanaman aneh."

Oh, Sakura hampir lupa dengan si kecil ini.

"Nee, ini bukan hanya sekedar tanaman biasa, lho. Tanaman ini bisa dijadikan obat," tutur Sakura mengalihkan pembicaraan sembari memetik beberapa tanaman obat dan menunjukkannya.

"Sarada tidak mengerti," tukas Sarada polos.

Sakura terkekeh geli. "Suatu saat nanti, pasti Sarada akan mengerti."

Bibir ranum itu mengerucut sebal. "Mama selalu mengatakan itu padaku." Sarada bersidekap dada seolah merajuk. "Itu membosankan, Mama. Sarada tidak mengerti pemikiran orang dewasa."

"Karena Sarada belum dewasa," sahut Sakura membereskan beberapa tanaman yang ia petik ke dalam keranjang.

"Kapan Sarada dewasa?"

Sakura menggigit pipi bagian dalam. Ia berusaha menahan gemas pada makhluk polos ini. Tangannya gatal sekali ingin mencubit pipi gempal itu, juga menciuminya.

"Tunggu saja, ya." Sakura berdiri, menggapai tangan mungil Sarada dan menggandengnya kembali.

-

Fajar sudah tiba, bahkan lewat. Pagi sudah menjelang. Dua orang yang wajib berangkat hari ini, terpaksa digiiring kembali ke kantor hokage karena kecerobohan satu orang.

Uzumaki Naruto. Pria jinchuriki Kurama itu gemetar ketakutan, pasrah saja bila wajahnya dijadikan samsak tinju oleh Nyonya Uchiha. Wajah calon hokage tersebut memelas memohon ampun pada hokage keenam—Hatake Kakashi yang turut memberikan deathglare seperti Sasuke.

Tidak ada bantuan.

Istri tercinta—Uzumaki Hinata memalingkan wajah seakan abai dengan musibah yang menimpa sang suami. Apalagi, Konohamaru, dia tidak punya cukup nyali untuk membela Naruto. Lagipula, Konohamaru turut menyalahkan Naruto atas masalah ini. Laknat memang.

Sahabat terdekatnya bahkan tidak memberi pembelaan secuil pun. Shikamaru hanya diam sembari menguap. Tidak ada juga yang diharapkan dari Yamanaka Sai—dia justru tersenyum bahagia, sepertinya di atas penderitaan orang lain.

"Na, Sakura-chan, Teme, kita bisa membicarakan ini secara baik-baik, dattebayo," cicit Naruto berwajah pucat pasi menatap suami-istri Uchiha secara bergantian. Naruto hanya tahu, setelah ini dia akan dijadikan samsak tinju.

"Kita sudah membicarakan ini baik-baik sebelum kau menerima gulungan itu, Na-ru-to!" Sakura mengepalkan tangan erat di depan dada. Semakin membuat mantan rekan timnya itu menggigil ketakutan.

"Merepotkan," keluh Shikamaru memijat kening.

"Ini kecelakaan, dattebayo!" Naruto membela diri. "Gulungan itu tidak sengaja terjatuh saat aku di rumah dan kebetulan ditemukan oleh anak-anak—"

"Dan sekarang anak-anak hilang ke masa lalu," ketus Hinata mode marah.

Siapapun, bawa Naruto jauh dari sini. Ia seperti menghadapi dua Kushina.

"B-bukan begitu, Hinata," elak Naruto tergagap.

"Gulungan itu tidak akan hilang jika Naruto nii-chan menjaganya baik-baik," sahut Konohamaru, malah memojokkan Naruto.

"Aku sudah menjaganya baik-baik, dattebayo!" sanggah Naruto.

"Sekarang mau pakai apa?" Sasuke angkat bicara lengkap dengan aura hitam disekitar. "Gulungan itu hilang. Kita tidak punya perantara untuk menjemput mereka."

Ajal akan menjemputnya. Seakan susano'o Sasuke siap menebas tubuhnya menjadi dua bagian.

Boruto, apa kau tidak kasihan pada ayahmu ini? Ayahmu akan dijadikan samsak tinju karena ulahmu, Nak.

-

"Hatchu!" Boruto menggaruk hidungnya. "Apa ada yang membicarakanku, ya?"

Angin sepoi-sepoi. Bunyi burung berkicauan, dengan katar pepohonan lebat. Ia tidak ada di dalam desa, tapi di hutan. Hutan belantara tanpa tahu arah pulang. Bahkan adiknya—Himawari tidak ada.

"Hima hilang?" Boruto bergumam menatap lurus ke depan. "Hima menghilang?" Perlu mencerna beberapa menit untuk kalimat shock seperti ini.

"HAH! HIMA HILANG?!"

Lalu, dimana adiknya?

-

"Siapa gadis ini, Neji?" Hiashi—kepala keluarga Hyuuga melirik Himawari yang tadi digendong oleh Neji. Gadis itu pingsan di hutan desa, Neji tak sengaja menemukannya.

"Entahlah, Paman. Saya tidak mengenalnya," jujur Neji. Kemudian menjelaskan, "Saya menemukan dia pingsan di hutan Konoha dan memutuskan membawanya kemari."

"Panggil Hanabi dan suruh dia obati gadis ini," titah Hiashi yang disanggupi oleh Neji. Hiashi berdiri, lekas kekuar dari kamar.

Dia sangat mirip dengan Hinata-sama, pikir Neji menatap intens wajah Himawari.

"Neji nii-chan, beberapa lukanya sudah kuobati." Hanabi membereskan beberapa alat kesehatan dibantu Neji. "Dia akan segera bangun tak lama lagi, lukanya tidak ada yang serius, hanya beberapa goresan saja."

"Baiklah," singkat Neji.

"Wajahnya mirip dengan Kaka—!" Hanabi tersentak kala mendengar lenguhan tamu keluarga Hyuuga. Gadis itu akan bangun tak lama lagi. "Ah, lihat, dia akan segera bangun!"

"O—oni-chan?" Himawari—gadis kecil yanh ditemukan Neji. Beberapa orang yang sedikit familiar menatapnya was-was, tetapi menjadi mengerikan di matanya. "S—siapa? Hi—hima takut," cicit Himawari menyembunyikan wajahnya dibalik kedua telapak tangan.

"Hima? Namamu Hima, ya!" seru Hanabi menarik kedua telapak tangan Himawari. Wajahnya begitu imut apalagi lengkap dengan tiga kumis kucing di masing-masing pipi. "Kau sangat lucu!"

"T—terima kasih, Hanabi onee-chan!" Himawari begitu saja bersemangat kala melihat orang yang ia kenal—Hyuuga Hanabi—bibi yang ingin dipanggil kakak.

"Eh?" Hanabi linglung. "Kau mengenalku?"

"Tentu saja!" seru Himawari gembira. "Hanabi onee-chan adalah adik dari Mama dan dia adalah kakekku." Himawari menunjuk Hiashi dengan tampang polosnya. "Dan—eh? Dia siapa?" Keadaan linglung juga, Himawari menunjuk Neji.

"Ah, dia adalah Neji, sepupuku dan Hinata onee-san," balas Hanabi.

"Neji ojii-san?" gumam Hinawari. Mereka terdiam menunggu si kecil ini kembali mengoceh. "Ah, ya! Neji ojii-san, kakaknya Mama. Mama sering memperlihatkan fotonya padaku dan Onii-chan. Baru kali ini Hima bertemu dengan Paman. Aku senang sekali!"

Himawari meluapkan rasa gembiranya. Seakan terlupa saat ini tengah tersesat di masa lalu.

"Siapa namamu?" tanya Neji merasa cukup celotehan si kecil ini.

"Uzumaki Himawari! Salam kenal!"

SARADA Goes To THE PASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang