Downfall

104 10 3
                                    

Blair meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Ia tadi berada di Perpustakaan untuk menyelesaikan Essay pelajaran Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam. Snape memberikan tugas yang sangat tidak masuk akal. Sampai tangannya saja sudah tidak sanggup menulis lagi.

Pranggg

Gadis itu mendengar suara keributan di toilet perempuan yang tidak terpakai. Ia dengan cepat mendekati asal suara. Matanya melebar saat melihat sesosok pria berambut putih terkulai dilantai, merintih kesakitan.

Buku yang ia pegang terjatuh begitu saja karena shock, dengan cepat ia menghampirinya. Matanya memanas, ingin mengeluarkan air matanya. Tangannya bergetar karena ketakutan karena penglihatannya dulu sungguh terjadi. Ia sangat takut jika Draco meninggalkannya.

"Draco! No, please Draco!" Blair berteriak pilu. Air matanya mulai bercucuran saat melihat badan Draco berlumuran darah.

"Apa yang kau lakukan Potter!" Tanya Blair dengan nada tinggi. Napasnya tersenggal karena masih panik.

"Go! Now!" Blair mengusir sahabatnya itu. Kemudian Harry berlari keluar, terlihat sekali kalau dirinya juga panik.

Dengan tangan yang bergemetar Blair memegang Tongkat Sihirnya. Tatto yang dilengannya mendadak bersinar. Bibirnya bergerak sendiri, mulai merapalkan mantra yang bahkan ia tidak tahu apa itu.

"Vulnera Sanetur." Ia menggerakkan tongkatnya ke seluruh tubuh Draco. Namun itu belum cukup, karena Blair masih menangis, emosinya belum stabil.

Kemudian ia mengatur napasnya perlahan, dan merapalkannya lagi. "Vulnera Sanetur." Perlahan darah yang keluar dari tubuh Draco kembali ke asalnya, dan lukanya menutup kembali.

Professor Snape yang baru sampai karena ada seseorang yang berkata bahwa ada keributan di toilet menjadi heran. Pasalnya mengapa Blair bisa menyembuhkan Draco? Ini adalah sihir penyembuh tingkat tinggi.

Blair menoleh ke arah Snape dengan tatapan lesu. Dirinya terlihat sangat kecapekan, tenaganya sangat dikuras oleh sihir tadi. "Professor, kumohon tolong Draco, dia-" Belum sempat menyelesaikan omongannya, gadis itu tiba tiba pingsan.

.

.

.

"Blair, hey. Bangunlah."

Blair mulai membuka kelopak matanya yang terasa berat. Mendapati sesosok Draco didepannya.

"Draco! Apa kau baik baik saja? Tadi kau berlumuran darah. Apa kau sakit?" Tanya Blair saat dirinya baru sadar. Ia teringat dengan Draco yang tadi berdarah karena Harry.

Pria itu memeluk Blair, untuk menenangkannya. Tidak hanya Blair yang khawatir, Draco juga takut jika ia harus kehilangan Blair.  Namun ia harus bersikap tegar saat ini, karena Blair membutuhkannya. "I'm fine. Berkat dirimu, aku tidak luka lagi."

"Aku takut sekali. Saat di St. Mungos aku mengalami mimpi yang hampir sama seperti kemarin. Aku melihatmu sekarat."

"I'm fine Blair, khawatirkanlah dirimu saja." Kemudian Blair mengangguk perlahan.

Gadis itu mengusap pipi Draco perlahan, menatap manik abu kesukaanya. "Please dont hurt again."

"I wont." Draco menggenggam tangan Blair yang berada di pipinya. Ia membalas tatapan indah itu dengan lembut. Mereka dapat merasakan nafas satu sama lain, terlarut dalam perasaan masing masing. Karena jarak yang dekat, mereka mulai mendengar denyut jantung satu sama lain yang berpacu cepat dari biasanya.

Draco sedikit terlena akan sifat Blair yang menenangkan hatinya. Ia masih menatap wajah Blair, ia merasa lebih menawan malam ini. Sesekali ia menatap bibir gadis didepannya yang selalu ingin ia rasakan sejak dulu.

𝐊𝐀𝐋𝐎𝐏𝐒𝐈𝐀 || 𝐃𝐑𝐀𝐂𝐎 𝐌𝐀𝐋𝐅𝐎𝐘Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang