21; Asumsi dan Fakta

18 2 2
                                    


Jangan lupa klik bintang.

***

Sesampainya Juna di rumah, seperti biasa sudah ada Arka yang menunggunya di ruang tamu. Bukan, bukan kerena menunggu kedatangan Juna, tetapi hanya untuk menanyakan gadis itu. Iya, Bina. Entah kenapa Arka seperti ini, sejak kejadian di taman rumah sakit tempat ia dirawat tempo itu.

" Apa? Lo mau nanya soal cewe itu udah ketemu apa belum ?" tebak Juna dengan tatapan sulit diartikan.

" Udah. Dan gua minta lo jauhin dia, gua ke atas dulu. "

Arka merasa heran terhadap kakaknya itu. Apa ada masalah di sekolah? Dari nada bicaranya yang marah begitu, sepertinya tebakannya benar.

Baru saja ingin berbalik, suara pintu terbuka membuat atensinya teralih.

" Udah siap belum? Kalo belum gua tunggu di mobil," kata Devan langsung. Ya, hari ini Devan bertugas mengantar Arka mengajar salah satu anak berkebutuhan khusus— muridnya.

" Iya. " hanya itu jawaban Arka. Setelahnya, laki-laki itu pergi guna mengambil tas dan white cane miliknya.

Sepanjang jalan, Arka hanya menatap ke arah jendela. Meski ia tau tidak ada yang bisa ia lihat, hanya kilasan bayangan. Alunan musik dari radio mobil terdengar begitu merdu. Lagi favoritnya kini tengah diputar,

" Eh Ka, itu cewe yang waktu itu sama lo bukan sih? Yang di panti itu loh, " suara Arka membuat Arka menoleh ke arahnya.

" Kita dimana sekarang? "

" Lagi lampu merah. Kenapa? " tanya balik Devan. " Salah liat mungkin," jawabnya. Devan menoleh ke belakang,
" Maksud lo cewe yang waktu sama lo itu? "

"Hm."

Mustahil. Gak mungkin gadis itu ada di lampu merah gini, tapi bisa jadi dia baru pulang sekolah kan? Ck, mikir apa sih Arka ini.

" Enggak anjir. Beneran itu dia, tapi sama cowo. Naik motor berdua, kayanya sih itu sama pacarnya. "

Arka terdiam mending penuturan sepupunya itu. " Kok diem? Pupus harapan lo buat jadian ya? Wah, sejarah ini mah. For the first time, Arka jadi sad boy, " katanya diakhiri tertawa keras.

" Berisik. " Arka gak paham. Sebenernya dia kenapa? Bukannya justru bagus ya? Jadi dia punya alasan kalau gadis itu mengajarkanku mengobrol lagi. Tapi kenapa rasanya berbeda? Sadar Arka.

" Jangan marah dong. Becanda doang gua, jangan marah ya. Bisa abis nanti kalo abang lo tau Ka," ujarnya melas.

" Enggak. " Devan menepuk jidat, " Gua lupa. Lo kan emang kaya kulkas gini kadang, yaudah kita jalan lagi. Udah lampu hijau nih. "

Mobil mereka melesat dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan di tengah teriknya mentari.

Jadi itu bener? Dan gak salah dengar ya, pikirnya.

Asa dan Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang