35; Di Waktu Bersamaan

24 1 0
                                    

Bukankah itu menjadi lebih mudah untuk aku melakukannya?

Jangan lupa vote dan komen!

***

Langit sudah gelap, rembulan mulai menampakan diri. Malam ini bintang-bintang hadir menemani rembulan selama semalam.

Malam ini, taman kota sedikit lebih ramai dari biasanya. Di tengah keramaian itu, seorang gadis masih berlarut dari tangisnya.

Perkataan Arka tadi sore masih terngiang dalam memori Bina. Rasanya, sangat sakit. Apa sikapnya membuat Arka risih, seperti yang ia katakan?

Maaf, maaf. Karena sikap bodoh dan egois aku, kamu terpaksa lakuin itu.

Dan sedari tadi juga, kalimat penyesalan terus saja ia rapalkan. Bina terus saja menyalahkan dirinya sendiri. Rasanya, dadanya semakin sesak jika mengingat itu kembali, semua rencana yang disusun begitu apik, hilang dalam sekejap.

Apa memang ini jawaban semesta sebenarnya? Apa memang seharusnya dari awal Bina tidak berharap, bahkan menaruh perasaan lebih pada laki-laki istimewa itu? Ya, seharusnya begitu.

"Ken, maaf. Aku minta maaf," ujarnya disela tangis. Tangisannya terus saja semakin berlarut tanpa mau berhenti, bahkan penampilannya kini jauh dari kata baik. Mata sembap, rambut yang sedikit berantakan, bahkan bajunya sedikit kusut.

"Lo juga bego banget sih jadi orang. Kenapa lo harus punya rasa sama Ken? Bego, lo bego banget."

Bina menghapus kasar air matanya. "Lo gak harusnya nangis gini Na. Bukannya dengan kaya gini, lo jadi lebih gampang bukan lakuin itu?"

Bina mengambil nafas perlahan. Ia berusaha menenangkan dirinya kali ini, namun lagi-lagi air matanya turun. Ah, kenapa sulit sekali diajak kerja samanya sih.

"Dasar cengeng," interupsi seseorang tiba-tiba. Bina yang mendengar suara itu pun menoleh. Raut wajahnya kini berubah dengan kecewa, marah, semua menjadi satu.

"Lo masih suka ngikutin gua?" kata Bina. Naufal mendudukkan dirinya di sebelah gadis itu, "Kalo iya kenapa, kalo enggak Kenapa?" setelahnya, Naufal menoleh menatap Bina. Matanya menyiratkan rasa rindu.

Bina memutar bola matanya malas. "Terserah lo." Bina berdiri dari duduknya, bersiap pergi meninggalkan area taman. Tapi bukan Naufal namanya jika membiarkan itu terjadi.

"Lepasin Al! Lo apa-apaan sih!" Bina memberontak, berusaha melepaskan cengkraman tangan Naufal di pergelangannya.

"Gak mau," katanya. "Ck, lo mau apa lagi sih hah?!" teriak Bina. Untung saja tempat mereka berada sedikit jauh dari yang tengah berlalu lalang.

"Gua mau lo, Bibin." Naufal berbisik tepat di telings Bina.

"Sayangnya gua gak mau, lepasih gak?!" Bina terus memberontak agar bisa lepas dari Naufal.

"Bin, gua mohon. Jangan ngehindar lagi dari gua, lo akhir-akhir kalo ketemu gua selalu aja ngehindar. Kenapa?"

Bina menatap laki-laki di depannya ini tidak percaya. Gadis itu mendengus kesal, "Lo masih tanya kenapa?"

Bina berhasil melepaskan cengkraman Naufal. Gadis itu menunjuk Naufal tepat di dadanya. "Lo lupa hah? Apa amnesia? Lupa lo, sama apa yang lo lakuin ke gua di parkiran waktu itu hah?!" Bina mulai tersulut emosi.

"Itu gua lakuin demi lo Bin. Itu satu-satunya cara buat buktiin ke orang-orang kalo lo, cuma punya gua." Naufal sedikit menekan ucapannya di akhir.

"Lo bener-bener gila! Gua gak paham lagi tau gak sama jalan pikiran lo," sahut Bina. Emosinya semakin tidak stabil, marah, ia sangat marah saat tau alasan dari teman masa kecilnya ini.

"Karena lo."

"Lo gak bisa maksain perasaan orang lain Al. Gua gak menyalahkan rasa suka lo ke gua, tapi cara lo itu salah. Salah banget," ujar Bina lirih.

Naufal menatap Bina tajam. "Dan gua gak peduli tentang itu. Gua bakal lakuin apa pun buat milikin lo," katanya.

"Lo udah gelap mata Al. Gua kecewa sama lo," ujar Bina. Ari matanya kini kembali turun. Naufal terkekeh pelan, "Apa susahnya sih lo buka hati lo buat gua? Barang kali sedikit aja Bin."

"Gua udah bilang kan, lo gak bisa maksain Al."

Naufal menunduk, lalu tertawa pelan. Laki-laki itu menatap Bina serius, "Lo masih berharap sama si buta itu? Walaupun dia udah nolak lo secara halus, iya?"

"Lo—"

"Gua tau semuanya Bina. Semua hal yang bersangkutan dengan lo, gua tau."

"Lo gak beda jauh sams stalker," kata Bina. "Mulai sekarang, jangan pernah lo temuin gua lagi. Kalo gak sengaja ketemu, anggap aja kita orang asing. Dan jangan pernah, lo tunjukin muka lo di depan gua. Paham lo?" ucapan Bina penuh dengan penekanan di setiap katanya.

Tangan Bina ditahan saat hendak meninggalkan taman, lagi. Membuat gadis itu sedikit terhuyung ke belakang. Beruntunglah, Naufal dengan tanggap menahan Bina.

Kini posisi keduanya sangat dekat. "Ulangin sekali lagi," ujar Naufal sedikit geram. Tanpa rasa takut sedikit pun, Bina semakin mendekatkan wajahnya.

"Gua bilang, jauhin gua. Jangan pernah lo—"

Secara tiba-tiba, Naufal membungkam  bibir Bina dengan miliknya, untuk kedua kalinya. Perlu diingat, Naufal benci gadis ini mengatakan hal itu.

Cukup lama keduanya dalam posisi itu. Bahkan Bina memberontak sejak tadi, namun tenaganya kalah besar dengan Naufal. Setelah dirasa cukup, Naufal membiarkan Bina menghirup lebih banyak udara.

"Lo—"

"Gua benci sama lo. Lo udah kelewatan tau gak?! Lo kira gua cewe apaan hah?!"

"Belum puas sama apa yang udah lo lakuin waktu itu?! Belum puas lo bikin gua jadi bahan omongan satu sekolah hah?!"

"Mau lo sebenernya apa sih?!"
Bina memghela nafas kasar.

"Gua bener-bener benci sama lo," katanya lagi. Kali ini, Bina benar-benar pergi tanpa halangan apa pun.

Naufal yang tersadar akan sikapnya tadi, memgacak rambutnya kasar. Ah, kenapa ia mudah sekali tersulut emosi. Dan lihat sekarang, semua semakin runyam dan kacau.

"Bego banget sih gua, arghh!" teriaknya begitu frustasi.

•••

©flblume

A/N :
Satu kata buat Naufal?

Asa dan Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang