#24 Menyusun Acara

11 1 0
                                    

Gadis dengan kaki jenjang yang hampir menjadi setengah dari tubuhnya itu sedang menikmati es cokelat malam ini. Ditemani buku antologi yang masih setia ia baca berkali-kali karena bangga dengan dirinya sendiri.

Tanpa sadar melamun kecil karena seseorang tengah merasuk pada pikirannya.

Si pemilik senyum bulan sabit itu selalu berputar di otaknya akhir-akhir ini.

Maksud pemuda itu apa sih?

Rasanya dia seperti sedang mendekatinya tetapi juga tidak. Entah apa artinya pemuda itu yang membuat hatinya kadang seperti tergelincir dalam pelangi.

Ini yang pertama untuk gadis tinggi itu. Sebelumnya dia tak pernah merasakan perasaan yang seperti ini. Apakah ini adalah masa remaja yang baru saja dimulai? Dengan sebuah kisah klasik cinta monyet remaja? Ah, lucu juga.

Tak sadar dirinya tersenyum tipis karena pemikiran konyolnya itu.

Dan ada seseorang sedang duduk di sudut ranjangnya dengan wajah julid bin gelinya itu. Mengamati adiknya yang tak kunjung rampung dengan khayalannya.

"He," panggilnya.

Weni mengerjapkan mata bulat yang sudah dia oleskan serum pelentik bulu mata. Rasanya, dia ingin selalu terlihat cantik mulai sekarang dan seterusnya.

Menoleh kaget ke sudut ranjangnya yang kini ada seorang pemuda berwajah datar yang sangat menyebalkan itu. Melengos kecil lalu menyeruput es cokelatnya.

Dirinya masih keki karena tadi pemuda yang sedang duduk dengan wajah datarnya itu (re:Radit) telah menghabiskan mie instan favoritnya yang sudah dia tutup rapat-rapat dan ia sembunyikan di dapur. Sekarang ia tak mau bicara pada pemuda tengil satu itu.

"Mau duit kagak?" penawaran yang sangat tidak bisa ditolak oleh gadis itu.

Weni menoleh dengan garis wajah yang sedikit lebih kendur itu, "mana?"

Radit memicingkan bibirnya sinis, "giliran duit aja mau, tadi ngambek," ucapnya.

"Gue dah maafin elo," kata gadis itu dengan nada congkaknya.

"Gue ke sini nggak minta maaf, tapi ngasih loker," Radit masih tak mau minta maaf padahal dia jelas bersalah.

Weni menggeram keras karena kakak tengahnya satu ini seperti minta dibogem saja. Ia mengibaskan tangannya kecil, "memaafkan orang bodoh adalah hobiku," mengutip satu percakapan pada novel Carovnikov Vajenec karya Evald Flisar yang kemarin ia baca. "Ada loker apa?" tanyanya sambil menyeruput es cokelatnya.

Radit berdecih lalu memutar kedua bola matanya ke sembarang arah. "Ke bawah, jadi asisten gue," ucapnya sambil berdiri mendekat dan menyeruput es cokelat yang sudah ditaruh di atas meja belajar.

Weni dengan malas berdiri lalu menghentakkan kakinya kesal. Tapi juga turut mengikuti sang kakak ke lantai bawah sambil membawa es cokelat yang langsung direbutnya.

Ya, ini pekerjaan sampingan untuk dapat uang, menjadi babu.

Tak apa, asal diberi uang.

***

"Gue mau ajak dia jalan," Reno menerawang langit-langit kamar Eja. Kamar yang didominasi warna hijau itu terasa sangat sejuk, ditambah dengan tanaman daun mint di sisi jendela. Tak seperti kamarnya yang 'sedikit' suram karena didominasi warna hitam dan abu-abu.

Eja sedang mengerjakan tugas sekolahnya di meja belajar, dan tiba-tiba saja pemuda bulan sabit itu datang membawa beberapa camilan yang dibeli di gerai terdekat dari rumahnya. Tak lupa pemuda itu juga membelikan beberapa roti yang lembut di mulut untuk sang ibundanya Eja. Kakaknya Eja sedang bekerja, pula dengan ayahnya.

"Kalo ngajak jalan anak orang itu dikasih makan, jangan sampe dia ngebatin Lo miskin karena nggak jajanin dia," komentar Eja yang kini tengah menata beberapa lampu kecil yang dibuat menyerupai bentuk hati. Hhh. Bucin.

Reno mendecak, "iye," lalu memutar bola matanya malas. Dikira dia nggak punya uang apa?

Pemuda itu memetik satu daun mint yang sudah lebat itu, lalu diremasnya di antara jari telunjuk dan jempolnya, hak itu membuat aromanya menguat dengan kuat hingga si pemilik tanaman itu menoleh dengan tatapan horor. "Sini gue botakin pala Lo," menginterupsi dengan tatapan tajam.

Reno hanya menyeringai saja, tak merasa bersalah. Padahal tanaman itu sudah diasuh Eja sejak awal membeli. Ya, harganya bisa dibilang menengah ke atas karena walau hanya setinggi 1 cm saja harganya sepuluh ribu.

"Ke mana ya enaknya?" meminta pendapat pada Eja yang kini fokus lagi pada lampunya.

Dahi pemuda manis itu menimbulkan lipatan tanda si empu sedang berpikir.

"Tapi gue nggak mau di cafe," tambahnya sebelum Eja mempromosikan cafe milik sang pujaan hatinya itu.

Eja hanya meringis malu.

Yah, ketahuan kan betapa bucinnya Eja kepada si dewi cantiknya itu?

"Ke jalan baru terusan underpass itu gih, Lo bisa duduk-duduk sambil makan cilor terus lihat kereta," usulnya.

"Ada tempat parkirnya emang?"

"Ada,"

"Di?"

"Hatiku,"

"CK,"

"Banyak omong Lo! Dah dikasih saran juga," sembur Eja.

"Gue makan sama dia pertama kali tuh makan tahu sambelnya Mak Nah, kedua makan Sempol, terus sekarang cilor? Kok kayak murahan banget ya?" ujarnya merasa ke gentlean nya disentil.

"Nggak, gue nggak mau cafe itu. Mahal-mahal," ucap Reno karena Eja tengah menoleh dengan semangat ingin mempromosikan cafe sang kekasih lagi.

"Mahal tapi berkualitas!" sembur Eja. Reno hanya menipiskan bibir saja tak mau melanjutkan debat.

Sebisa mungkin Reno memutar otaknya untuk berpikir cepat, dia tak mau salah gocek lagi. Rasanya dia ingin sekali menjerat gadis tinggi itu dengan sejuta pesonanya yang sangat tidak bisa ditolak ini. Berurusan dengan Reno, maka akan sulit untuk melupakannya. Kehadiran Reno harus membekas di hati semua orang agar ia dikenang.

***

Love you
See you

SIRIUS STARSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang