Pemuda itu mendekat ke arah si gadis yang ia yakini dia adalah adik kelasnya.
"Ngapain?" tanyanya menyelidik.
Gadis itu, Weni. Berdiri gugup karena seperti diciduk sedang melakukan transaksi narkoba. "Gak tau kak," jawabnya tak yakin.
Pemuda itu makin mendekat. Lalu menegak begitu saja setelah mendengar suara aneh dari dalam ruang alat musik.
"Apaan tuh?" tanya si pemuda.
Weni mengedikkan bahu, "entahlah, ak-aku baru mau lihat kak," gugupnya.
Pemuda itu menoleh ke arah ruang alat musik, lalu mendekat. Dengan gaya mengendap-endap seperti Weni tadi. Weni mendekat ingin tahu juga jadi merapat ke samping pemuda itu. Berjalan nemplok di dinding bersama.
Mereka makin menegak mendengar suara itu semakin jelas.
Semacam, suara orang lelah?
Capek.
Ngos-ngosan.
Atau, desah?
"Sini," ucap si pemuda tanpa sadar sudah menggaet tangan Weni yang membuatnya menegak kaget. Tapi juga tak berkomentar banyak diam saja.Pemuda itu sedikit mengintip ke jendela yang gordennya terbuka itu. Menggeser sedikit tubuhnya agar Weni juga dapat melihat.
Keduanya melongokkan kepalanya ke jendela.
Weni melotot begitu saja hampir berteriak kalau saja tangannya tak menutup mulut.
Kemudian bertatapan dengan pemuda itu dengan pandangan memias.
Pemuda itu kembali menggaet tangan Weni dan menariknya menjauh. Berlari sekencang mungkin ke arah parkiran.
Melewati kantor ruang guru dan kepala sekolah dengan cepat secepat kilat. Harap-harap cemas para guru itu tak terganggu.
Beberapa murid yang berpapasan dengan mereka ikut kaget bukan main. Untung saja sudah pulang sekolah dan hanya tersisa anak-anak yang akan mendaftar ekstrakurikuler.
Saat sampai di parkiran,
"AAAAAAAAAAAAAAAAaaaaaaa!" teriak keduanya bersamaan.
"Itu tadi apa astaga mata Weni ternodai?!"
"Wah itu si Karina kan gede anjir!"
"KAK!"
"Gede lo tau gede nggak?!"
"AAAA MATA SUCI KU TERNODAI!"
Muka mereka sudah merah tak karuan menahan pias. Weni sudah jongkok mau nangis.
Pemuda itu malah masih membayangkan bagaimana adegan panas itu tadi. Bersandar pada tembok dan memegangi dadanya yang bergemuruh menahan sesuatu.
Keduanya diam lama. Meredakan jantung yang sedang dipompa cepat itu.
Pemuda itu menopang tubuhnya di kedua lutut. Terkekeh kecil.
"Tenang Weni, tenang. Lo nggak liat apa-apa tadi. Lo tadi nggak liat apa-apa kok," ucapnya pada dirinya sendiri.
Pemuda itu duduk merosot di dinding yang di sandari.
Mengacak rambutnya sesaat. Berusaha menahan amarah di dadanya.
Menoleh pada gadis manis di sebelahnya ini.
"Lo adek kelas ya?" tanyanya mencoba mencairkan suasana.
Weni menoleh, "i-iya kak," jawabnya.
"Nggak usah diinget yang tadi. Gue tau lo masih suci," celetuknya.
Weni mengangguk saja. Dari kata-katanya, kakak kelasnya ini kayaknya sok asik.
Lalu melihat ada dua tahu kecil yang terjulur. Menoleh dengan tatapan bertanya.
"Mau tahu nggak?" tawarnya. Weni makin mengerutkan kedua alisnya.
Pemuda itu membuka plastik bening yang berisi dua tahu isi sambel kesukaannya. Satu diberikan pada Weni yang menerima begitu saja.
"Makan," lalu dia menggigit tahu kecil itu dengan santai. "Itu isinya sambel. Lo kalau nggak bisa makan pedes bisa balikin ke gue," celetuk lalu kembali memasukkan satu tahu kecil itu bulat-bulat ke mulutnya.
"Oh ya, nama lo?" tanyanya tiba-tiba.
"Weni kak," menunduk sopan.
Pemuda itu terkekeh: cantik. "Gue Reno," menjulurkan tangannya.
***
Huhu aku tak pandai menciptakan suasana..
KAMU SEDANG MEMBACA
SIRIUS STARS
Teen FictionBerjalan mengendap-endap pada samping ruang alat musik. Mendengar sesuatu yang sangat asing bagi kupingnya. Tak sadar ada laki-laki tinggi yang baru saja beli jajan tahu sambel di kantin Mak Nah. Mendelik, "He ngapain lo kayak cicak nemplok di temb...