#6 Obat

45 6 2
                                    

"Kemarin mas lihat kok kalian berhenti di alfamart simpang empat? Ngapain?" tanya Affan si kakak pertama sambil menatap kedua adiknya yang sedang sarapan ini.

Radit si kakak kedua Weni menelan ludah, "Oooohhhh kemarin mas. Itu katanya Weni mau beli pembalut," Weni mendelik dan hanya bisa melotot karena diumpankan begini.

Lelaki tampan bergaris wajah tenang itu menatap adik perempuan satu-satunya, "Weni lagi datang bulan?" tanyanya kaget. "Kayaknya baru kemarin Senin selesai? Kamu datang bulan lagi?!"

Weni menipiskan bibir, "enggak kok mas, enggak. Cuma buat nyetok aja," jawabnya sambil melirik sinis Radit yang makan dengan tenang sambil satu kakinya dinaikkan ke atas kursi.

"Kirain," ucap Affan lega. "Kalau datang bulannya nggak normal bilang sama mas, kita langsung cek dokter! Siklus menstruasi itu harus diperhatiin banget loh dek, apalagi kamu udah 16-"

"Iya mas iya. Aku makan sayur juga kok. Kan yang masakin sayur juga mas Affan," Weni memajukan bibirnya. Sangat bosan mendapat ceramah dari kakaknya.

Affan menghelas napas. Tersenyum kecil lalu lanjut makan.

"Ini bekalnya, ambil  satu-satu jangan rebutan," ucap Bunda meletakkan tiga kotak makan berbeda warna di atas meja makan.

Weni yang melihat itu langsung mengambil kotak makan teratas warna  biru muda dengan tangan panjangnya.

Kebetulan, Affan yang terdekat, jadi dia mengambil yang warna hijau.

Dan yang tersisa, warna pink.

Radit yang selalu kalah hanya menggeram. Menatap tajam Weni yang menatapnya tanpa dosa sambil mengunyah makanan sambil meledeknya.

"He lo tuh yang pink! Yang biru punya gue!" protes Radit.

Weni hanya mengeluarkan lidahnya ke arah Radit.

"Bundaaaaa!" rengek Radit sok manja. Bunda hanya menatap Radit dengan mata melotot. Dengan terpaksa ia yang menciut memasukkan kotak makan warna pink ke dalam tasnya.

Selesai sarapan, mereka bertiga berangkat. Mencium tangan bunda yang sedang menyirami tanaman juga ayah yang sedang memberi makan burung sambil mengajaknya bicara.

"Pamit juga sama saudara kalian yang cantik ini," kata ayah menunjuk lima burung berwarna-warni dalam tiga kandang.

"Bay Rina, Rino, Arlova, Alex, Lala-"

"Laila!" tegur ayah karena Weni salah menyebut nama.

Gadis tinggi itu memutar bola mata malas, "iya itu," dengan acuh tak acuh.

Radit dan Affan juga sama-sama melambai pada lima burung cantik itu.

"Nah, gitu. Yang akur sama saudara," ucap ayah. "Sana kalian belajar yang rajin. Gausah sok-sok an nggak mau belajar. Kalian ini sudah ayah ragati lo-"

Affan menyalami tangan ayah, "iya iya. Kita bertiga belajar terus kok walaupun nggak pintar-pintar banget," kalimat terakhir Ragil membuat Weni dan Radit mendelik. "Kita berangkat ya Yah," lalu memimpin untuk beranjak.

"Radit adekmu jagain!" ucap bunda.

"Iya bun!" teriak Radit padahal belum jauh.

"Gue buang ke got nih anaknya bunda," gerutu Radit yang masih bisa didengar.

"ARGHSS!"

"Apa lo bilang ha?!" amuk Weni menggeplak lengannya.

Seperti biasa, tadi dia diturunkan di simpang 4 alfamart dan diberi uang. Kali ini tambah seribu karena dia tadi sudah mengumpankan Weni untuk kambing hitam.

Weni berjalan sambil mendumel kakaknya menggunakan motor maticnya pelan di belakangnya, :siapa juga yang mau jadi adek lu?!

Sampai di halaman sekolah, Radit segera masuk ke wilayah parkiran atas lantai 2. Dan saat bersisihan dengan Weni, dengan santainya di bersiul tanpa dosa.

Weni hanya melirik malas.

***

Weni masuk melewati hall dan belok kanan melewati ruang alat musik untuk naik tangga ke lab komputer.

Kebetulan, ada jalan kecil di antara ruang TU dan alat musik. Dan terlihat dua manusia melewati jalan kecil itu.

Dengan raut wajah sama-sama dingin entah ada apa. Weni yang baru saja ingin menginjakkan kaki ke tangga pertama menoleh mendapat dua kakak kelasnya.

Reno dan Karina.

Ketiganya sama-sama bertatapan. Lalu Karina segera membuang muka tanpa ekspresi, sedangkan Reno mengangguk kecil yang dibalas Weni pula.

Tuhkan ketemu lagi??!!

Weni merasa merinding ada di sini.

Segera dia naik tangga agar tak terjebak dalam suasana dingin.

Jam pertama hingga ke tiga telah selesai. Mata pelajaran pemrograman dasar. Dengan praktek coding.

Sungguh otaknya butuh pendinginan.

Karena jam ke empat, yaitu setelah istirahat adalah fisika, maka murid kelas 10 Multimedia berpindah ke lantai satu di ruangan Bu Iwuk.

Menaruh tas di sana lalu pergi. Entah ke kantin, mushola, ataupun yang lainnya.

Ayu kali ini ke ruang radio di ruangan ujung, jadi mereka tak bersama ke kantin.

Karena Weni merasa kandung kemihnya penuh, dia menuju kamar mandi di samping parkiran bawah.

Berjalan pelan menikmati pemandangan sekolah baru.

Hingga tiba di belokan kamar mandi, "AAaaaaaa!" teriaknya karena sebuah benda melayang melewati tepat di depan wajahnya.

Sebuah botol obat yang telah kosong. Tak ada tulisan obat apakah itu.

Weni menormalkan detak jantungnya.

"Eh lo nggak papa?! Kena apanya? Duh maaf gak sengaja gue," tanya pemuda yang menjadi tersangka pelempar sebuah benda.

"Kak," ucap Weni pias.

Reno tersentak, gadis tinggi ini.

"We-weni kan? Maaf ya Wen," ucap Reno sambil merapikan rambut Weni yang sedikit berantakan terkena sedikit lemparannya tadi.

Ya, adegan favorite para remaja korban aplikasi orange ini terjadi padanya.

Ternyata seperti ini rasanya.

Biasa saja.


Weni menatap Reno, "kak Reno kenapa?" tanyanya refleks melihat mata merah pemuda ini.

Reno menegak, "ha? Apa? Nggak," elaknya.

"Kak Reno nangis?" tanyanya makin mendekat kan diri hingga Reno agak termundur.

Pemuda itu menggelengkan kepala keras.


"Oh ya, itu wadah obat kan? Kakak sakit?"

***

Ibaratnya ya tuh gaes, kalau kata mbak Winteo sih "monochrom to colours!"

Gitu.

SIRIUS STARSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang