BAB 13

38 18 2
                                    

Happy reading 🤗

⚪ D i c k n o ⚪

Selnan guling-guling di kasurnya, dia meremas gemas guling dalam pelukannya.

“Jadi istri saya.”

Pipinya kembali merona. Dicky tidak sedang melamarnya, ‘kan? Iya, ‘kan? Itu tidak mungkin. Dia pasti hanya iseng karena sedang memberikan saran. Benar, tidak mungkin Dicky melamarnya seperti itu.

“Jadi istri saya.”

“Huwaa!”

“Asel, jangan teriak-teriak! Sudah malam.”

“Iya, Nek. Maaf.”

Senyumannya masih merekah. Walaupun setelah pernyataan itu Selnan kabur dari ruangan Dicky dan malunya bukan main. Hatinya tetap saja berbunga-bunga ketika mendengarnya.

Dibayarkan utang kenapa rasanya habis dinafkahi sama suami begini?

Menyebalkan! Rasanya menyebalkan tapi menyenangkan. Selnan melempar gulingnya, menarik napas dalam pun membuangnya perlahan. Tenang Selnan. Satu-satunya cara memastikan itu lamaran atau bukan adalah dengan menanyakannya langsung pada Dicky.

Selain itu, perasaan ini tidak wajar dengan sikap Dicky yang sangat manis dan penuh rayuan. Walaupun rayuan murahan. Benar juga, Selnan tidak boleh percaya jika itu adalah keseriusan. Pasti hanya salah satu dari jutaan rayuan yang sering Dicky luncurkan.

Walau begitu dia tetap saja berdebar dengan kalimat itu. Menyebalkan!

“Sel, walaupun besok hari Minggu. Bukan berarti lo bisa tidur larut. Besok lo harus temani Pak Dicky ketemu Pak Beni buat bayar utang.

“Mimpi indah, Asel. Eh, Nana.”

⚪ D i c k n o ⚪

Bolak-balik Selnan bercermin. Sudah lima kali dia berganti pakaian, dari yang terlalu kasual sampai yang terlalu formal. Dia jadi pusing sendiri. Mengingat siapa Dicky dan cara berpakaiannya yang selalu rapi. Selnan pikir, hari ini pun akan demikian.

Kini tubuhnya dibalut dress berwarna putih tulang yang panjangnya sedikit di bawah lutut. Agar tidak terlalu polos, Selnan menambahkan pemanis dengan outer rajut berwarna coklat. Tak lupa polesan liptin berwarna merah muda menghiasi tipis bibirnya.

“Asel! Ini teman kamu sudah jemput.”

Mendengar hal itu Selnan jadi meringis. Bisa-bisanya neneknya menganggap Dicky sebagai teman. Dari aura dan perawakannya saja sudah berada jauh di atas level Selnan.

“Iya, sebentar!”

Selnan mengambil tas dan ponselnya. Lantas bergegas keluar kamar tak lupa berpamitan dengan nenek tersayangnya. Dia keluar rumah dengan jantung yang berdegup kencang. Itu bukan lamaran. Itu bukan lamaran!

“Sudah siap?” tanya Dicky yang baru mendongak dari layar ponselnya. Pria itu duduk bersandar di motornya, menunggu jawaban dari Selnan.

“Su-sudah?”

Dicky menatap Selnan dan motornya bergantian. Beberapa detik kemudian dia mengajak Selnan untuk segera naik setelah Dicky siap. Untuk cewek sefeminim Selnan, tidak seharusnya Dicky membawa motor. Matic sekalipun.

“Bapak gak naik mobil?” Pertanyaan itu lolos dari bibir Selnan yang langsung merutuki mulutnya sendiri.

“Kamu sukanya naik mobil?”

“Bu-bukan .... Saya pikir Bapak naik mobil ...,” cicit Selnan setengah mati malunya. Ditambah lagi Dicky menyinggungkan sebuah senyuman tanpa arti di paras tampannya.

Dicky ZeknoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang