Semoga terbiasa dengan nama tokoh yg baru. Enjoy!
Happy reading ❤️
Harap membaca dengan kepala dingin dan hati yang lurus🙏🏻
⚪ D i c k n o ⚪
Dicky menghela napas lega ketika dia bisa lepas dari pengawasan Qiuna. Wanita itu ... bisa-bisanya membuat Dicky tersiksa melebihi pekerjaan kantornya yang menumpuk. Dicky membuang napas, tak habis pikir. Sekretaris pilihan papanya memang tidak main-main.
Dicky menurunkan tudung hoodie yang menutupi kepalanya, disusul melepas topi yang membantu menutupi sedikit dari wajahnya. Netranya mulai berjelajah, mengabsen kembali tempat yang terakhir kali dia kunjungi mungkin dua atau tiga minggu yang lalu.
Entahlah. Dicky tidak begitu ingat.
Seseorang berbalut kaos hitam polos keluar dari aula. Netranya tak sengaja berpapasan dengan Dicky, kemudian kakinya secara refleks berjalan ke arah sana. Berpamitan dengan temannya di pertengahan jalan.
“Dicky,” panggilnya sambil menepuk bahu pria itu.
Tubuh Dicky terlonjak kaget, sontak pula tubuhnya berputar. Meringis kecil sambil mengusap bahunya. Tolong jangan menyentuh Dicky, tubuhnya sedang tidak baik-baik saja.
“Gue cuma nepuk bahu lo.” Sebelah alisnya terangkat. Pria perkasa yang waktu itu berhasil melumpuhkannya malah terlihat seperti pria pengecut begini.
“Iya gue tahu.” Dicky masih mengernyit, merenggangkan sedikit otot-otot tangannya.
Anton menatap Dicky sebentar. Sepertinya apa yang Selnan katakan padanya memang benar. “Gue denger dari Selnan, lo habis kecelakaan.”
Dicky menoleh, keningnya mengernyit. Beberapa saat netranya memperhatikan wajah Anton dengan seksama. Sampai sebuah kesimpulan terbit di kepalanya.
“Lo pacarnya Selnan?”
“Hah?” Anton bengong sebentar. “Muka gue kurang mirip apa lagi sama dia?”
Dicky tertawa geli, menepuk-nepuk pundak Anton bercanda.
“Semakin mirip berarti beneran jodoh.”
Anton berdecak, semakin gak jelas. Lirikan matanya menajam. Kenapa adiknya bisa punya bos seperti dia? Kalau Selnan tidak cerita dan membanggakan orang ini ... Anton tidak akan pernah berpikir dia memiliki posisi setinggi itu di suatu perusahaan besar. Harusnya Anton yang menang supaya dia bisa memeras orang ini.
“Gue kakaknya Selnan.”
Dicky mangut-mangut saja, tidak berniat menimbulkan masalah. Jika Anton berhasil introspeksi diri, jelas kekuatannya akan bertambah berkali-kali lipat dibanding hari itu. Lagi pula, dari tatapannya saja Dicky bisa merasakan keinginan balas dendam padanya.
Merinding.
“Ada taruhan gak hari ini?” Dicky mencoba mencari topik. Dari pada mereka diam-diaman. Dicky juga tak bermaksud untuk berdiri di dalam dan menonton, dia hanya mencari tempat kabur.
“Ada.”
“Ooh.”
“Lo gak tanya siapa yang taruhan?”
“Kalau gue tanya gue dapat apa?”
Anton menggeram dalam hati. Lihatlah seberapa sombongnya manusia berbau harta yang satu ini.
“Kita yang taruhan. Gue yakin kali ini gue menang.”
Dicky menghela napas. Merenggangkan kembali otot-otot tubuhnya yang terasa sedikit menegang. Tampaknya sudah siap untuk menghadapi Anton. Hanya saja tidak bisa sekarang. Dia bisa dihabisi oleh Qiuna.
“Gue lagi gak tertarik.”
“Ya, emang sejak awal gue pikir kenapa lo taruhan? Lo gak perlu ngelakuin hal-hal yang jelas bertentangan dengan status lo. Lagi pula lo bukan orang yang kekurangan.”
“Lo bener.” Dengan mudahnya Dicky membenarkan. Dia memuji Anton.
“Gue gak butuh pujian.”
Dicky mendengus geli, menarik atensi Anton hingga pria itu menatapnya kesal. Ditatap seperti itu menimbulkan ide brilian di kepala Dicky. Dia menyunggingkan senyuman penuh arti.
“Dibanding taruhan, gue punya penawaran yang lebih menarik.”
Anton hanya menatap Dicky. Tidak memberi respons tertarik maupun tak tertarik.
Oke. Waktunya Dicky mempromosikan idenya.
Dimulai dengan pujian untuk menghadapi pria haus pujian dan takhta seperti Anton.
“Lo punya kemampuan bertarung yang bagus banget. Keunggulan yang lo punya, badan lo yang kelihatannya biasa aja jadi bahan remehan orang-orang. Itu bisa membuat seseorang beranggapan tak perlu mengeluarkan effort lebih. Padahal semua juga tahu jangan menilai dari penampilan.”
Sekarang serang harga dirinya.
“Lagi pula, sebagai pria sejati ... seharusnya lo sudah menepati janji. Sayangnya, sampai detik ini gak ada satu pun panti asuhan yang melaporkan donasi atas nama Anton Askandar Gerandian Pratama dengan nominal yang serupa dengan perjanjian kita.”
Dicky menerima tatapan kesal Anton dengan senang hati.
“Orang yang mati-matian jaga harga dirinya gak mungkin ingkar janji, ‘kan? Gue memang gak kasih batasan waktu. Tapi ... wajar kah orang yang sudah pasang badan dengan beraninya, malah melangkah mundur diam-diam?”
Dicky tersenyum manis. Kini gilirannya lagi menepuk-nepuk bahu Anton. Memberi isyarat agar pria itu memikirkan tawarannya.
“Kalau lo tertarik. Datang ke kantor besok.”
Tubuh Dicky menjauh sembari memakai kembali topinya. Tempat ini sudah tidak aman jika sudah sampai di telinga neneknya.
Amela Kartika ....
Huh ... wanita tua itu menambah beban pikiran Ricky saja.
Kejadian kemarin hanya sebagian kecil dari peringatan Mela. Yang Dicky pikirkan, keberangkatan mereka tidak harus secepat ini. Lizya saja masih belum lulus SMA, belum waktunya dia mencari universitas. Kalau mau liburan saja tinggal bilang, tidak perlu embel-embel alasan yang lebih masuk akal untuk tak dia tolak.
Sebenarnya Dicky tidak begitu yakin jika Mela sengaja atau menjadi dalang dari kejadian kemarin. Hanya saja, aura yang mobil itu bawa sama seperti aura Mela. Psikopat.
Kalau dia beralasan mabuk, itu masuk akal. Namun, hanya bukti yang bisa membuatnya tidak masuk akal. Hanya saja, sampai sekarang mobil itu belum juga dia temukan.
Plat nomornya juga ngaco banget pakai kode Kalimantan Utara. Kurang kerjaan jika Dicky harus mencari tahu deler mana yang orang itu datangi untuk membelinya. Apalagi sampai ke Kalimantan walaupun dia punya cabang di sana.
Terlebih lagi, kejadian ini terdengar begitu kekanakan. Lansia itu keterlaluan memang. Selama ini Dicky tidak pernah melakoni drama apa-apa untuk memenuhi keinginan mereka. Jadi, apa perlunya mereka melakukan ini?
“Papa Iky!”
Sontak, Dicky menoleh. Dia menatap Gisya kecil berlari ke arahnya. Memeluk kakinya seperti biasa yang dia lakukan. Netranya tak langsung sepenuhnya fokus pada Gisya, tapi juga pada seorang pria di depan pintu rumah Zarsha.
Ah ... Dicky lupa kalau tempat pertandingan itu dekat dengan rumah Gisya.
Sudut bibir Dicky terangkat, dia menurunkan tudung hoodie-nya lantas mengangkat tubuh Gisya. Menggendong gadis mungil itu, membiarkannya melepas rindu dengan memeluk lehernya.
“Sya kangen!”
Dicky hanya bisa terkekeh geli. Netra keduanya saling bertemu, ditemani senyuman di wajah masing-masing. Gisya mengangkat tangannya, melepas topi yang Dicky kenakan.
“Papa ngapain di sini? Dari mana? Mobil Papa mana?”
Gisya celingukan. Dia mencari mobil Dicky dari arah pria itu datang, bahkan dari arah sebaliknya. Kemudian tetap saja tatapannya kembali pada Dicky dengan tanda tanya besar.
“Saya naik taksi tadi. Lagi jalan-jalan aja di sekitar sini. Sya baru pulang sekolah?”
Gisya mengangguk antusias. Beberapa saat kemudian dia teringat dengan Jaska. Dia meminta Dicky untuk mampir, berkenalan dengan Jaska.
“Om Jas! Ini Papa Iky!” Gisya nyengir dengan begitu lebar. Dia sangat bangga memperkenalkan Dicky pada Jaska.
Seolah jantungnya sedang diremas, hanya ada rasa sakit menyelimuti dadanya. Jaska menghela napas, mengulurkan tangannya.
“Jaska.”
“Dicky.”
Gisya tertawa puas. Dia meminta Dicky untuk menemaninya mengerjakan PR. Bahkan, yang seharusnya tidak pernah Gisya lakukan malah dia lakukan. Meminta Jaska pulang, bermain dengan anaknya sendiri.
“Om di sini aja, tidur di kamar.” Jaska mengusap pipi Gisya dengan hati yang semakin retak. Anaknya lebih memilih orang lain ketimbang dirinya.
“Oke.”
Huft ... Syukurlah Gisya setuju.
Netra Dicky menatap Jaska yang menutup pintu kamar. Dia rasa ... Jaska punya hubungan yang lebih erat dengan Gisya. Cara dia menatap Dicky pun sama sekali tidak ada ketertarikan, malah terkesan ada sirat benci di sana.
“Papa?” Gisya menepuk-nepuk pipi Dicky. Mengambil alih atensi pria itu. “Kak Iky ... Om Jas aneh, ‘kan?”
Gadis itu berbisik, menatap ekspresi wajah Dicky yang tampak setuju dengannya.
“Kak Iky besok jemput, Sya. Sya mau cerita banyak.” Gadis kecil itu masih berbisik.
Dicky tersenyum, mengangguk setuju. Dia menurunkan Gisya, menanyakan pekerjaan rumah Gisya. Dia akan membantu Gisya mengerjakannya dengan baik.
“Sya bosan pertanyaannya gampang. Sya udah pernah belajar sama Papa Iky. Jadi PR-nya sudah selesai Sya kerjakan.”
Gisya mengeluarkan semua bukunya sambil tertawa puas. Dia berjalan mendekati Dicky, meminta pria itu menuliskan beberapa soal matematika untuknya. Bagi Sya pelajaran anak TK itu terlalu membosankan. Dia lebih suka kalau gurunya di TK itu seperti Ricky yang mengajarkan banyak hal baru.
Tidak monoton itu-itu saja setiap hari. Kalau tidak bernyanyi ya menggambar, atau menebalkan tulisan, menyusun puzzle masih sedikit menyenangkan walau terlalu gampang.
“Oh iya, Sya sudah hafal perkalian sembilan. Papa mau dengar?”⚪ R i c k n o ⚪
Michael menegakkan kembali tubuhnya ketika suara pintu terbuka menyapa telinganya. Dia menoleh, tersenyum kecil pada Rachel yang bersikeras mengabaikannya. Pria itu mengulurkan tangannya, mencekal tangan Rachel dengan kasar, menghempaskan tubuh wanita itu ke dinding.
“Shit!” Rachel mengumpat. Matanya menatap nyalang Michael yang masih dengan bangganya menampilkan senyuman.
“Mau sampai kapan kabur dari saya?” Pertanyaan itu Michael bisikan di telinga Rachel. Sesekali menggoda wanita itu agar luluh padanya.
Michael sudah muak dengan Rachel yang selalu mengambil langkah mundur. Bahkan untuk hal-hal yang sebelumnya dia senangi. Hanya karena ada Michael.
“Kamu benar-benar mencintainya, ya?” Michael menyeringai. Jemarinya bergerak, menelusuri surai coklat indah milik Rachel. Menyelipkan di genggaman, lantas menciumnya.
Rachel mengepalkan tangannya. Dia tidak diam saja, sejak tadi berusaha setengah mati agar keluar dari kungkungan lengan Michael. Namun, nihil. Tenaga pria memang selalu melesat tinggi di atasnya.
“Mich, saya punya janji dengan pasien. Tolong mengerti.”
Tatapan Michael tak berubah, dia tetap tak peduli.
“Pasien yang mana, hem?” Tangan Michael turun ke bawah, menyentuh perut rata Rachel. “Pasien yang ada di sini ke mana?” tanya Michael sambil meremas perut Rachel cukup kuat.
Wanita itu meringis, berusaha mengenyahkan tangan Michael dari perutnya. Keterlaluan.
“Sakit, Mich ...,” adunya dengan wajah yang benar-benar merasa kesakitan. Semburat kemerahan menghiasi wajah Rachel, perih dan marah campur aduk jadi satu.
Sebelah alis Michael terangkat, mendengus geli. “Bukannya lebih sakit ketika kamu membuang anak kita? Ini belum seberapa Rachel.”
Rachel menggertak, air matanya mulai luruh ketika Michael malah memperkuat remasannya. Dia menatap Michael, memohon agar pria itu melepaskannya.
“Cukup, Mich. Iya, aku salah. Tapi ....”
“Tapi apa?”
“Kau tahu aku tak menginginkan seorang anak.”
“Kau tidak menginginkannya, tapi malah membuangku dan mencari perlindungan di balik punggung pria lain?”
Ringisan Rachel semakin jelas. Dia memukul-mukul dada Michael, semakin memohon.
“Maaf ... Mich. Oke, oke. Aku akan mengabulkan permintaanmu. Tapi, biarkan aku memeriksa satu pasienku ini terlebih dahulu.”
Michael tersenyum puas. Dia menjauhkan tangannya dari perut Rachel. Namun, tangannya bergerak naik. Memegangi tengkuk Rachel, menariknya pelan sampai bibir mereka saling bertemu.
Kepalan tangan Rachel semakin kuat. Buku-buku jarinya memutih dengan jelas, seolah tak ada setetes darah pun yang mengalir ke sana. Bahkan kuku-kukunya terasa menancap di telapak tangan.
Brengsek. Michael brengsek.
Ribuan rutukan untuk Michael dan maaf yang tak terhingga untuk Dicky. Air mata Rachel kembali jatuh, dia tidak mampu membayangkan betapa kecewanya Dicky padanya.
Pria yang mencintainya dengan tulus. Pria yang selalu menjaga kehormatannya dengan cara apa pun. Sekarang hancur karena masa lalunya.
Maaf, Dick ... Aku benar-benar minta maaf.
Rasa bersalah dan rahasia yang tidak pernah Rachel katakan dengan jujur pada Dicky. Rachel minta maaf untuk semua itu.
Michael menjauhkan wajahnya. Berusaha mengambil sebanyak mungkin oksigen untuk menetralisir kembali deru napasnya. Netranya menatap air mata dan jejaknya, lantas ibu jarinya bergerak, mengusapnya pergi dari wajah cantik Rachel.
Dia tersenyum. Merapikan penampilan Rachel, menggenggam tangan wanita itu lantas membawanya pergi. Berdalih akan mengantar Rachel ke rumah sakit.
“Sepulang kerja biarkan aku mengompres perutmu.”
Rachel tak berkutik. Tak bicara agar Michael tak melakukan hal kasar lain padanya.⚪ R i c k n o ⚪
Terima kasih sudah membaca.
See you.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dicky Zekno
Fanfiction| Ricky UN1TY | "Hiduplah untuk seseorang yang saya cintai sebagai syarat." -- "Seharusnya gak pernah ada kita ... kalau ujung-ujungnya cuman banding-bandingin luka." -- "Bukan kewajiban semua orang untuk maklum sama lo cuma karena luka di hati lo!"...