BAB 18

36 11 0
                                    

Halo bestie apa kabar?

Sehat selalu yaaa

Happy reading ❤️

⚪ D i c k n o ⚪

Karlo menghela napas berat. Menatap pintu di depannya dan layar ponselnya bergantian. Di dalam sana ada Rina yang keadaannya kembali kritis. Entah sudah ke berapa kalinya di tiga bulan terakhir. Yang terparah adalah ketika wanita itu melupakan putra kandungnya sendiri.

Kontak Dicky terpampang nyata di layar ponselnya. Dia ingin memberi kabar, tapi ragu melanda batinnya. Karlo tahu jelas betapa dua orang ini saling mencintai. Saling menyayangi walau terus terbelit dalam kesalahpahaman yang nyaris membuat keduanya hancur.

Jatuh karena masa lalu, bertahan dengan sisa perasaan yang sudah hancur.

Keadaan psikis yang memburuk, ditimbun keadaan fisik yang ikutan menurun. Rina pernah berpikir jika membuang Dicky adalah satu-satunya cara agar terlepas dari jeratan patah hati. Sampai keinginannya benar-benar terjadi. Dia melupakan Dicky.

“Om, gimana keadaan Mama?”

Rachel datang dengan sebuah tas di tangan. Isinya tentu tak jauh-jauh dari apa yang biasanya dibawa untuk menjenguk seseorang. Dia menatap Karlo, menerima gelengan lemah dari pria itu.

“Semoga lekas baik.”

“Aamiin.”

Rachel menghela napas lelah. Punggung bersandar di dinding, memejamkan matanya sebentar. Dia baru sampai, turun dari pesawat, lantas langsung bergegas kemari. Pasien yang dia beritahu pada Dicky ... adalah ibunya sendiri.

Rachel sudah mengambil cuti, hanya ada kemungkinan kecil dia dipanggil bertugas. Seharusnya Dicky curiga dengan pamitnya. Namun, membalas pesannya saja tidak. Tidak ada indikasi Dicky mencurigainya, entah karena Dicky benar-benar percaya padanya, atau bahkan sejak awal tak pernah bisa percaya padanya.

Rachel paham dia membuat banyak kesalahan. Egois, keras kepala, posesif, terlalu manja, dan banyak sifat memuakkan lainnya. Walau begitu Dicky masih bertahan. Tidak menjauh, juga tidak coba menjauhkan diri.

Dia lulus dari segala dosa besar yang Rachel suguhkan. Hanya saja, dia sampai di titik di mana dunianya hancur berantakan.

Jika mulutnya bergerak untuk bicara, dia tidak tahu akan jadi sehalus apa reruntuhan di dunia Dicky. Semakin hancur, jadi butiran debu.

“Gimana kabar Dicky?”

Lamunan Rachel buyar. Dia menoleh, menatap Karlo yang tampak kehilangan akal. Seluruh dunia Dicky dikelilingi oleh orang-orang patah hati. Orang-orang yang sedang bersusah payah bangkit dari jatuh. Terjerumus ke dalam lumpur hisap. Jika tidak dibantu dengan cara yang tepat, hanya akan saling menenggelamkan.

“Baik.”

“Syukurlah.”

Rachel tersenyum simpul.

“Om pulang, istirahat. Biar Rachel yang jaga.”

Pejaman mata Karlo terbuka diawali dengan kekehan geli. Dia menoleh, menatap Rachel yang jauh lebih lelah dibanding dirinya.

“Kamu aja yang istirahat. Kamu baru sampai langsung kemari. Jangan sampai kamu ikutan sakit.”

“Bukan masalah fisik, tapi perasaan Om. Istirahat.”

Karlo terdiam. Jantungnya terasa diremas tanpa perasaan. Air mulai menyelimuti netranya. Karlo lelah. Tentu saja.

“Saya akan jauh lebih jatuh, kalau saya gak ada di sisi Rani.” Sudut bibirnya dia paksa naik.

Dicky ZeknoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang