BAB 25

27 10 0
                                    

Halo apa kabar? Jaga kesehatan ya kalian karena akhir-akhir ini kesehatan aku menurun🙌🏻

Happy reading ❤️

⚪ D i c k n o ⚪

Dicky melirik spion tengah, mobil barunya yang dikendarai oleh Anton masih mengikutinya. Ada beberapa fasilitas yang Dicky berikan untuk menunjang pekerjaan Anton. Maka dari itu menjadi salah satu alasan Anton menerima pekerjaannya. Dicky juga membuat namanya terdengar menjadi lebih keren.

Agen rahasia.

Pekerjaan Anton sekarang adalah mengawasi apa yang ada di sekitar Dicky. Melaporkan hal-hal yang mencurigakan. Serta mencari tahu hal-hal tersebut.

Dicky tahu ini pekerjaan yang berbahaya, oleh karena itu dia juga tak main-main dalam menukar peran Anton dengan nominal uang. Mengingat secara terang-terangan pelaku berani mencelakainya. Keberadaan Anton pun ada di dalam zona bahaya.

Sopir Dicky menginjak pedal rem. Mereka sudah tiba di rumah Qiuna. Untuk masalah tadi pagi, Dicky perlu meluruskan beberapa hal. Mengenai batasan yang mau tak mau harus Dicky akui keberadaannya.

Tok tok tok

Qiuna mendongak dari talenan yang dia gunakan memotong bawang. Wanita itu mengintip keluar lewat jendela, kemudian menelan ludah ketika melihat mobil baru Dicky terparkir di depan rumah.

“Una.”

Qiuna terperanjat. Suara Dicky terdengar jelas di telinganya. Duh ... bagaimana ini? Perasaan Qiuna belum membaik. Tadinya dia kesal karena Dicky tak kunjung mendatanginya begini. Namun, ketika pria itu sudah muncul dia malah kesal sendiri.

“Una? Kamu gak papa, ‘kan?”

Ceklek.

Pintu itu terbuka tak sampai seperempatnya. Qiuna mengintip dari sela-sela, memperhatikan Dicky dengan tatapan kesal walau sebenarnya dia juga malu. Jika diingat kembali, secara tidak langsung dia sudah mengakui perasaannya pada Dicky tadi pagi.

“Jadi saya gak boleh masuk?”

Qiuna tak menjawab.

“Kalau gitu kamu yang keluar. Bicara di luar gak buruk.”

Qiuna masih menatap Dicky. Kemudian pintu mulai terbuka lebar, menunjukkan sosok Qiuna sepenuhnya. Tangan kanan wanita itu terangkat, memperlihatkan pisau yang mengilat pada Dicky.

Dicky mengerjap, tak menyangka Qiuna menyiapkan alat pertahanan diri sehoror itu ketika bertemu dengannya. Kekehan geli meluncur dari mulutnya, meminta Qiuna menyimpan pisaunya.

“Masuk aja. Di luar panas.”

Dicky tersenyum, dengan senang hati. Netranya mulai meneliti seiring dengan langkahnya memasuki ruang tamu Qiuna. Tidak ada apa-apa di sana, benar-benar kosong.

“Bapak duduk di bawah. Saya gak punya sofa empuk,” ujar Qiuna jutek. Berusaha mati-matian melupakan aksi menyatakan perasaannya tadi pagi. “Saya siapkan air putih dulu.”

Dicky mengangguk patuh. Dia menarik sedikit celananya ke atas agar memudahkannya duduk di lantai. Melihat rumah Qiuna mengingatkan Dicky tentang rumah lamanya. Walaupun ingatan itu samar. Dicky melupakan hampir seluruh dari masa lalunya. Hanya suasananya yang membuat Dicky merasa pernah terjadi di hidupnya.

Sepi.

Hampa.

Tidak ada harapan.

“Ini, Pak. Saya gak pakai galon, tapi air rebusan. Air rebusannya juga pakai air hujan. Kalau Bapak alergi gak usah diminum.”

Dicky tersenyum, berterima kasih.

Dicky ZeknoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang