BAB 30

30 10 0
                                    

Hai! Gimana konser online tadi? Pada nonton? Kerenn banget, 'kan?! Walaupun ada beberapa trouble, it's fine, normal.

Semoga kita semua bisa tumbuh barengan jadi lebih baik. Masyun di dunia entertainment, dan kita di pilihan masing-masing.

Xixi. Happy reading all ❤️

⚪ D i c k n o ⚪

Sudah setengah jam Qiuna tak mengalihkan tatapannya dari Dicky barang sedetik pun. Lengannya patah, butuh waktu yang cukup lama untuk kembali pulih pasca operasi. Qiuna masih tak habis pikir kenapa Dicky bisa sampai seperti ini. Seceroboh apa pun Dicky, dia tidak pernah melukai dirinya sendiri.

Qiuna menghela napas panjang. Berupaya membuang sesak di dadanya. Mungkin berlebihan, tapi Qiuna jauh lebih khawatir jika dia kehilangan Dicky dibanding keluarganya sendiri. Orang ini ... baru sebentar, tapi malah jadi sosok yang terus memaksa pikirannya mengosongkan tempat untuknya.

Huh? Jatuh cinta? Qiuna tahu, tapi tidak ingin mengakuinya.

Engh ....”

Qiuna tertegun, sontak dia bergegas menghampiri Dicky. Jadi orang pertama yang dia temui ketika siuman adalah hal yang baik, bukan?

Netra hitam pekat milik Dicky bergerak kaku. Keningnya masih mengernyit, menyesuaikan terang cahaya yang ada di sorot matanya. Rasanya ada yang mengganjal di tangan kirinya.

“Pak?”

Netra Dicky kembali bergerak, menangkap sosok wanita di sampingnya. Raut wajah khawatir, wanita itu tunjukkan padanya. Sudut bibir Dicky tertarik ke atas, dia kembali memejamkan matanya.

“Pak! Jangan senyum-senyum!”

Haha. Dia baru bangun, tapi sudah dimarahi saja.

“Saya kenapa, Una?”

“Ba-ba-bapak ... eungh.” Qiuna kebingungan harus menjawab apa. Dia sama sekali tidak tahu menahu rentetan kejadiannya, dia hanya mengetahui sedikit info yang dokter berikan.

“Jadi bukan kamu yang bawa saya kemari?” Mata Dicky kembali dia buka. Perlahan dia melirik tangan kirinya, yang benar saja. Pria itu terkekeh kecil.

“Bapak gak amnesia, ‘kan?” tanya Qiuna takut-takut. Pasalnya sejak tadi Dicky bersikap aneh. Dia terluka, tangannya patah, tapi malah tersenyum dan terkekeh geli begitu.

“Terakhir yang saya ingat, saya kalah bertanding.”

“Itu aja?”

“Hem, ya.” Dicky sendiri tidak yakin dengan jawabannya. Otaknya masih bekerja. “Oh, operasi. Itu yang terakhir saya ingat.”

Hening sejenak. Dicky rasa ada yang janggal. Ada sesuatu yang dia lewatkan. Seperti ada salah satu rak memorinya yang terkunci. Ada tapi tidak bisa dia ingat.

“Bapak mau dirawat lagi atau langsung pulang?”

“Panggilkan dokter. Saya mau bicara.”

“Baik.”

⚪ D i c k n o ⚪

Satu minggu Dicky habiskan untuk beristirahat di rumah. Melakukan semua kegiatan kantor melalui pertemuan daring. Mau tidak mau dia juga harus menyewa seorang pembantu untuk membantunya mengerjakan beberapa hal, dan orang itu adalah Qiuna. Siapa lagi?

Dikatakan menyewa karena Dicky membayar Qiuna dua kali lipat dari gaji di kantornya. Karena wanita itu yang paling sibuk bolak-balik ke perusahaan dan mewakilinya di beberapa pertemuan. Dari kantong matanya, Dicky bisa dengan sangat jelas melihat wanita itu kelelahan.

“Besok saya ke kantor. Siapkan beberapa setelan untuk saya.”

Tubuh Qiuna menegak dengan sempurna. Dia menatap Dicky dengan tampang curiga. Ya ... bisa saja Dicky benar-benar masuk ke kantor seperti biasa. Namun, dia rasa dia akan menyulitkan semua orang.

“Pak, masih dua bulan lagi sampai Bapak pulih.”

“Dan gak butuh waktu dua bulan buat perusahaan saya hancur.”

“Jadi maksud Bapak kerja saya gak becus?” Qiuna mendelik dengan nada suara yang meninggi. Sekali lagi Dicky bicara sembarangan, akan Qiuna terkam.

Dicky mendongak dari berkas di tangan. Dia menatap Qiuna yang keburu dibakar emosi. Mungkin faktor kelelahan sehingga membuat wanita itu lebih sensitif. Bisa juga karena dibarengi kedatangan tamu bulanan. Paket komplit.

“Kamu gak lagi minta dipuji, ‘kan?”

“Apa?!”

“Kerja bagus, Una. Seminggu ini kamu bisa mengatasi klien yang cukup sulit. Banyak materi presentasi yang bisa kamu sampaikan dengan baik. Kemampuan berbahasa asing kamu juga sangat baik. Service yang kamu berikan pada calon dan klien sangat memuaskan.”

Dicky mengetuk permukaan meja dengan jemarinya dengan ritme pelan. Beberapa saat dia memperhatikan emosi Qiuna yang kembali stabil meski wajahnya masih ditekuk masam.

“Dan kamu, sangat pandai merawat saya. Terima kasih.”

Qiuna mendongak, menangkap senyuman hangat di paras Dicky dengan kedua matanya dengan sangat jelas. Dia menarik napas, membuangnya tak sabaran. Dug-dug-dug. Jantungnya terlalu lemah. Sial.

“Cukup untuk hari ini. Kamu boleh pulang.”

Dicky menutup berkas di meja. Berdiri lantas meninggalkan Qiuna di ruang kerja untuk beristirahat di kamarnya. Wanita yang ditinggalkan itu mengintip kepergian Dicky, kemudian dia membuka jendela dan meraup udara malam sebanyak-banyaknya.

Kedua sudut bibirnya tertarik dengan cantik. Seminggu dengan sebagian besar waktunya dia habiskan berdua dengan Dicky saja bisa membuatnya sesenang ini. Hari-hari di mana Qiuna merasa menjadi satu-satunya orang yang paling Dicky butuhkan. Satu-satunya orang yang selalu ada untuk Dicky setiap saat.

Melelahkan, tapi spesial pakai telur.

“Beres-beres bentar, cus, pulang.”

Mood Qiuna kembali membaik dengan cepat. Dia menutup jendela, kemudian memilah dan menyusun berkas sesuai urutan dengan yang paling atas adalah berkas yang harus terlebih dahulu diselesaikan. Qiuna sadar, kebiasaan Dicky menyelesaikan pekerjaannya lebih awal sejak ada Gisya sangat menguntungkan. Di saat seperti ini, pekerjaan Dicky sama sekali tidak menumpuk sebanyak yang biasanya.

Mungkin Qiuna harus menghadiahi gadis mungil itu ayam goreng.

Ting tong

Qiuna mendongak. Dia berjalan keluar dari ruang kerja. Di pintu apartemen Dicky sedang berbincang ringan dengan tamunya. Qiuna tak berniat menguping, tidak mau juga. Tapi, salahkah dia jika punya telinga?

“Semua informasi yang Anda butuhkan ada di sini. Jika masih ada kekurangan, segera infokan pada kami. Karena ada beberapa kendala dalam pencarian. Saya permisi, terima kasih.”

“Terima kasih kembali.”

Dicky membalikkan tubuhnya, sedikit terkejut ketika tahu Qiuna berdiri di belakangnya. Dia membuang napas pelan. Dicky pikir Qiuna sudah pulang.

“Belum pulang? Mau saya antar?”

Cepat-cepat Qiuna menolak. Menggeleng tegas. “Sebentar lagi. Ada yang mau saya bereskan.”

Dicky mengangguk mengerti. Dia pamit, masuk ke dalam kamarnya lagi. Si wanita yang ditinggalkan sendiri mulai memutar otak. Dia mengulang kalimat yang tadi dia dengar di dalam kepala.

Dicky sedang membutuhkan informasi apa?

“Permisi, Pak. Ada yang mau saya sampaikan.”

Hening. Qiuna menjauhkan tangannya dari pintu kamar Dicky. Dia menghela napas pelan. Ya sudah, besok juga tak apa.

Ceklek.

“Apa?”

Qiuna menoleh, mereka berakhir duduk di sofa depan TV. Qiuna diam sebentar. Bodohnya dia masih menimbang-nimbang setelah bicara akan menyampaikannya.

“Bapak tahu gak, sih, siapa ayah kandung Gisya?”

Dicky tak menjawab. Tatapannya hanya berkata agar Qiuna segera menuntaskan omongannya lantas pulang. Semakin larut, semakin bahaya pula.

“Waktu saya masih tinggal di hotel. Saya keluar ke pasar malam, ketemu sama Gisya.” Qiuna menyodorkan ponselnya, memperlihatkan sebuah foto yang dia ambil saat itu. “Saya pikir, dia ayah kandung Gisya. Tapi ... waktu saya tanya, Zarsha bilang kalau cowok itu kakaknya. Kemudian saya tanya lagi mana suaminya, terus dia jawab sudah cerai.”

Dicky mengembalikan ponsel Qiuna. Dia mendapatkan informasi baru tentang masalah yang Dicky pikir tidak akan dia campuri lagi. Entah siapa yang berbohong. Entah apa yang coba Zarsha sembunyikan. Namun, fakta jika Jaska adalah ayah kandung Gisya tidak bisa Dicky buang begitu saja. Perihal Zarsha mengakui Jaska sebagai kakaknya dia tidak mengerti. Lalu, cerai? Bisa saja. Antara mereka terpaksa cerai atau memang keputusan mereka untuk bercerai dengan tetap memperlihatkan sosok keluarga harmonis. Hanya saja, tanpa adanya pengakuan Jaska sebagai ayah kandung Gisya.

Pasti ada hal yang mereka sembunyikan.

“Tapi, menurut saya cowok itu gak mungkin kakaknya Zarsha. Soalnya, sewaktu saya tanya, jawaban dari Zarsha sendiri meragukan. Dia kelihatan gelisah. Semacam ... takut salah bicara.

“Saya lebih yakin kalau cowok itu ayah Gisya. Mereka mirip banget, ‘kan, Pak? Sedangkan si cowok sama si Zarsha gak ada miripnya.

“Terus masalah mereka yang kembali ketemu dan bersikap romantis ala-ala pasangan baru kasmaran. Saya rasa mereka CLBK deh, Pak. Kek, ya ... lebih baik jangan diganggulah.”

Masuk akal. Tapi, bukan Dicky namanya jika tidak melayangkan sebuah godaan.

“Kamu cemburu?”

“Hah?” Qiuna jadi keong seketika.

Sudut bibir Dicky terangkat, dia mendengus geli. “Kalimat terakhir kamu artinya, jangan dekat-dekat sama Zarsha dan Gisya, Pak. Saya gak suka, saya cemburu. Saya benar, ‘kan?”

Qiuna menunduk dalam-dalam. Merutuki Dicky ribuan kali yang menyimpulkan dengan tepat sasaran. Padahal Qiuna bisa mengelak, tapi dia terlanjur terdorong jatuh dan kesulitan melakukannya.

Dicky tersenyum puas. Dia mengambil ponselnya, mengirimi Anton pesan untuk mengantar Qiuna pulang. Lebih baik Qiuna berada di bawah pengawasannya.

“Oh ya. Minta Zarsha menemui saya di ruangan besok.”

“Baik, Pak. Saya pulang dulu.”

“Saya sudah pesankan taksi. Kamu tunggu di lobi.”

“Ma-makasih. Selamat malam, Pak.”

Dicky mengangguk sekali. “Hati-hati.”

Bicara tentang Zarsha. Entah benar atau tidak, Zarsha sempat datang ke pertandingannya sebelum Dicky kalah telak. Wanita itu yang menghancurkan konsentrasinya. Hanya dengan satu panggilan setelah itu Dicky tidak ingat.

Dicky rasa dia harus menghubungi Rachel. Sudah lama sekali sejak wanita itu melarangnya mencari tahu keadaan Rina kecuali Rachel sendiri yang memberi kabar. Fokus pada pemulihannya. Baru seminggu, tapi keadaan yang tenang begini membuat Dicky bertambah khawatir.

“Aku sudah bilang jangan hubungi aku dulu. Kalau ada kabar pasti aku beri tahu, Dick.”

How are you?”

Rachel mengepalkan jemarinya. Mengambil napas sebanyak-banyaknya lalu mengembuskan pelan. Entah sejak kapan kapasitas paru-parunya terasa berkurang banyak. “I am fine.”

Just fine?”

“I am really doing well.”

“Mama?”

Rachel terdiam. Napasnya tercekat di tenggorokan begitu pula jawabannya. Tidak mungkin dia memberi tahu Dicky kenyataannya. Tidak. Dicky belum pulih total dan itu hanya akan membuatnya melakukan tindakan gila.

“Ya ... She’s ok.”

“Syukurlah. Papa?”

“Ya. Dia juga.” Rachel mengurut pelipis. Hampir kehabisan akal untuk menenangkan situasi. “Gimana tangan kamu?”

“Kaku. Tapi gak papa.”

“Ya sudah. Istirahat, Dick. Di sana sudah larut.”

“Besok aku mulai ke kantor.”

What?”

“Gak papa. Di rumah sama di kantor gak ada bedanya. Seharian duduk di ruangan, depan monitor. Lagi pula tangan kananku masih berfungsi dengan normal.”

Are you sure?”

Dicky mengangkat sudut bibir. Jika Qiuna saja khawatirnya bukan main, apalagi Rachel. “Iya, Rachel. Aku titip Mama Papa, ya? See you.”

Telepon itu terputus. Dicky berdiri, segera masuk ke dalam kamar untuk istirahat. Dicky merebahkan tubuhnya perlahan, meletakkan guling di sisi tubuhnya untuk membantu menjaga lengannya agar tak tertindih ketika tak sengaja berbalik badan.

Tak sedikit pikirannya dipenuhi dengan kerja keras mencari memori yang dia rasa hilang. Antara percaya tidak percaya. Samar dan begitu meragukan. Yang jelas, dia tahu dari Rachel jika mamanya baik-baik saja. Dan yang waktu itu dia dengar, hanyalah rasa takut yang tertanam di dalam dirinya.

⚪ D i c k n o ⚪

Terima kasih sudah membaca. See you🙌🏻

Dicky ZeknoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang