BAB 32

26 9 0
                                    

Selamat membaca ❤️

⚪ D i c k n o ⚪

“Papa Iky!”

Kaki mungil Gisya bergerak cepat menghampiri Dicky, dalam sekejap masuk ke dalam pelukan pria itu tanpa pamrih. Begitu senang sampai tidak sadar ada sesuatu yang baru di tangan kiri papanya itu.

“Saya permisi, Pak.”

Manik mata keduanya bertemu. Jaska yang mengantar Gisya kemari, bukan Zarsha.

“Gisya ....”

“Iya?” Gisya menjauhkan tubuhnya, menatap wajah Dicky penuh tanda tanya.

“Kamu lupa, ya?”

“Lupa apa? Oh!”

Cup.

Gisya terkekeh geli setelah mengecup gemas pipi Dicky. Dua mata bulatnya menatap Dicky, menunggu pria itu melontarkan pujian padanya.

“Bukan, Sayang ... bilang terima kasih sudah diantar.”

Seketika wajah Gisya berubah masam. Dia menatap Dicky dengan mata yang memohon untuk tidak melakukannya. Namun, Dicky tidak ingin menunjukkan bahwa dia setuju jika Gisya tak bersikap baik pada ayah kandungnya.

Dengan berat hati tubuh mungil itu berbalik. Berjalan beberapa langkah mendekati Jaska, mendongak menatap wajah yang waktu itu pernah marah besar padanya. Gisya masih menyimpan rasa takut itu di dalam hati mungilnya.

“Makasih sudah antar Sya.” Setelahnya Gisya kembali ke pelukan Dicky. Memeluk erat pria itu menunggu Jaska pergi.

Jaska bersikeras menahan senyuman masam yang bisa mewakili perasaannya. Dia tersenyum ramah pada Dicky, benar-benar pamit kali ini.

Suara pintu tertutup akhirnya terdengar. Gisya kembali menatap Dicky, tersenyum lebar. Kali ini, dia baru menyadari sesuatu yang berbeda dari Dicky.

“Ini apa, Pa?” tanya Gisya penasaran.

“Ini alat bantu untuk menyangga tangan saya.”

Kepala Gisya miring sedikit, tidak mengerti. “Tangan saya terluka, biar aman harus memakai ini.”

Gisya mengerjap, menjauhkan tangannya secara spontan. Dia takut sentuhannya melukai Dicky. “Maaf, Sya gak tahu.”

Dicky tersenyum hangat. Tangannya yang bebes meraih puncak kepala Gisya, membelai lembut rambutnya. “Gak papa, gak sakit kalau cuma Sya pegang.”

“Cepat sembuh Papa.”

Dicky mengangguk. Perlahan tubuhnya kembali menjulang di hadapan Gisya, tangan kanannya menarik lembut tangan mungil Gisya, mengajaknya duduk di sofa.

“Sya senang akhirnya bisa ketemu Papa Iky lagi!”

“Kangen, ya?” Manik mata Dicky menyorot lembut wajah Gisya. Dia tahu jelas mereka berdua tak memiliki hubungan darah, tapi ikatan keduanya terlanjur kuat.

“BAAAANGET!” Gisya terkekeh geli lagi. Kakinya bergerak-gerak sangking senangnya.

“Saya juga kangen. Gimana di sekolah?”

“Itu ituu. Si Ika sama Alan sudah gak berebut mainan! Soalnya Gisya ajarin gantian. Hehe.”

Good job. Gisya sudah jadi anak yang bijak.”

Gisya terkikik geli, semakin senang mendengar pujian Dicky menggema di dalam telinganya.

“Tapi ... Sya bosan kalau pelajarannya diulang-ulang. Sya, kan, sudah bisa!”

“Teman Sya sudah bisa semua?”

Gisya menggeleng.

“Coba lain kali Sya bantu ibu guru berbagi ilmu yang Sya punya. Kalau teman Sya kesulitan, Sya bisa jelaskan.”

Gisya mengangguk antusias. “Nanti Sya bantu Bu Guru!”

“Anak baik.”

Gisya diam masih dengan senyuman yang merekah. Dia menatap kakinya yang bergoyang-goyang sembari berpikir mau menceritakan apa lagi pada Dicky. Sangking banyaknya hal yang ingin dia ceritakan, dia jadi bingung sendiri memulainya.

“Sya ngambek sama Papa Jas.”

Dicky melirik, meneliti wajah cemberut Gisya yang menekuk dalam. Goyangan kakinya semakin cepat, diakhiri sentakan kesal. Keningnya mengernyit, mendongak menatap Dicky dengan amarah yang berkobar di matanya.

“Papa Jas marah sama Sya! Sya gak boleh ketemu Papa Iky padahal Papa Iky sakit di rumah sakit! Papa Jas teriak, Sya kaget.” Menggebu dengan amarah, diakhiri dengan cicitan kecewa. Ekspresi Gisya tidak bisa berbohong sekarang.

Gadis kecilnya dimarahi karena ingin bertemu dengan Dicky? Sepertinya Jaska cemburu padanya perihal dirinya bisa sedekat ini dengan Gisya. Tidak salah, hanya kurang bijak. Seandainya keadaan dibalik, Dicky pun akan merasa cemburu melihat darah dagingnya mengakui orang lain. Ditambah lagi dengan hubungan mereka yang sebatas saling kenal tanpa sengaja.

“Sya tahu arti cemburu?”

Gisya mendongak, kembali menengok ke bawah untuk berpikir. Jemarin mungilnya menyentuh dagu, melengkapi. “Cemburu itu iri!”

Dicky terkekeh geli. “Nanti tanya ke Mama ya? Gisya harus paham apa artinya iri dan cemburu.”

Gisya mengangguk patuh. Manik matanya bergerak memutar, menemukan sesuatu di sudut otaknya. “Tangan Papa kapan sembuh?”

“Mungkin sekitar dua bulan lagi.”

“Dua bulan?” Gisya tampak berpikir. “Satu bulan empat minggu. Empat tambah empat ... delapan. Satu minggu tujuh hari .... Tujuh hari ada delapan kali.” Gisya menyerah dengan hitungan jemarinya, dia tampak frustrasi.

“Banyak hari! Lama!”

“Satu bulan tiga puluh hari. Tiga puluh tambah tiga puluh, enam puluh hari, Sya. Atau tiga puluh kali dua, enam puluh. Kurang lebih enam puluh hari.”

Pupil mata Gisya membesar karena takjub. Otak kecilnya bekerja lebih keras, kemudian baru sadar ketika dia menghitung dengan cara yang lebih sulit. Pantas kepalanya hampir botak.

“Kenapa Sya hitung susah!”

“Gak papa. Cara hitung Gisya juga gak salah. Tujuh kali delapan itu lima puluh enam. Kurang lebih selama itu tangan saya baru pulih.”

“Ooh.” Mulut mungil Gisya membulat, mengangguk mengerti. “Tapi kenapa beda?”

“Karena hitungan yang benar hanya ketika Sya menghitung kalender. Satu bulan gak selamanya tiga puluh hari. Dalam satu bulan gak selalu tepat empat minggu.”

Gisya menundukkan, mengarahkan telunjuk mungilnya menyentuh dagu. Tampak berpikir, mencerna ilmu baru yang Dicky berikan.

“Sya mau catat!”

Dengan cekatan dia membuka ristleting tas, mengambil salah satu buku dan pensil yang di atasnya terdapat gantungan Hello Kitty. Benda itu bergerak-gerak setiap Gisya menoreh garis. Dicky memperhatikan dengan saksama, tersenyum tipis melihat tingkah gadis mungilnya.

Jika Dicky punya anak nanti, apa dia akan seperti Gisya? Mungil yang cerdas.

⚪ D i c k n o ⚪

TIIIIIIIIIIIIINN!

Anton memukul kemudi kehabisan kesabaran. Dia menghela napas kasar, turun dari mobil untuk mengecek siapa orang super egois yang berhenti di tengah gang sesempit ini. Dia ingin pergi bekerja saja dihalangi begini. Anton semakin kesal ketika membayangkan bagaimana Dicky memberi ekspresi remeh padanya nanti.

Mobil dengan pelat itu akan Anton hafal di luar kepala. Ketika dia berulah lagi, Anton akan benar-benar menemui pemiliknya. Memukul kepalanya agar dia sadar jika dia punya otak manusia, bukan hewan. Kenapa pelat bukan di pengemudi? Karena tidak semua orang mengemudikan mobilnya sendiri. Anton contohnya.

Tok tok!

“Permisi.”

Kaca mobil dibuka tanpa membiarkan Anton melihat keseluruhan wajahnya. Dilengkapi masker gelap dan kacamata yang lumayan gelap dia berlagak seakan tak pernah membuat masalah. Dengan santainya melontarkan pertanyaan yang dalam sekejap sukses mendidihkan ubun-ubun Anton. Sudah terlanjur habis kesabaran, ditambah bertemu manusia berperilaku seperti hewan. Anton memang brengsek, tapi tak melupakan jati dirinya sebagai manusia.

“Pak, Anda tahu ini gang sempit dengan maksimal dua mobil kecil. Jika memang ada hal yang SANGAT mendesak, Anda bisa parkir mepet ke samping. Bukan di tengah jalan.”

Kaca mobil bergerak naik. Suara mesin mobil terdengar dinyalakan. Anton menggerutu, masih beruntung Anton tidak mengeluarkan cacian higienis dari kebaikan.

Dua langkah terpatri sebelum Anton melihat mobilnya ditabrak mundur dengan cukup kencang. Sontak kedua matanya mendelik tajam, mobil bagian depannya penyok parah dan orang itu kabur begitu saja tanpa rasa bersalah.

“Sinting. BILANG AJA LU GAK BISA NYETIR BANGSAT!

“Untung bukan mobil gue lu.”

Pria itu segera bergerak, melajukan mobilnya menuju apartemen Dicky. Ini pertama kalinya Anton akan masuk ke dalam sana. Seberapa mewahnya sudah bisa Anton bayangkan. Apalagi tahu jika  sekretarisnya sering bekerja dari sana. Tidak lazim saja cewek dan cowok tanpa hubungan darah berada satu atap dalam waktu yang cukup untuk berbuat lebih. Namun, sejauh mengenal Dicky, Anton tahu dia bukan pria yang seperti itu. Hanya saja tidak ada yang tahu kapan manusia kehabisan pertahanan untuk menghalau nafsu bejatnya.

Kini tubuhnya sudah berdiri di depan pintu. Anton memencet bel, tak lama Dicky membukakan pintu untuknya. Dia berjalan masuk, tak lupa menutup kembali pintu sebagai perbuatan kecil yang baik. Lagi pula, siapa yang membiarkan pintu apartemennya terbuka?

“Sudah makan?”

Anton menoleh dengan ekspresi ngeri. Pertanyaan semacam itu sangat horor ditanyakan ke sesama pria macho gagah dan berani.

“Ekspresi lo barusan bilang gue masih normal.”

“Belum.”

“Oke. Pesan aja.” Dicky berjalan mendekat sembari memberikan iPad yang berisi menu makanan. Kebetulan dia juga belum makan, sembari berbincang lebih baik mereka mengisi energi.

Dicky juga tak ingin membuat pertemuan di luar kantor begitu formal. Dia tahu bagaimana Anton tidak menyukai formalitas yang mengekang kebebasan pribadi seseorang. Padahal tujuannya baik, tapi tipe seseorang sepertinya akan sulit menerima dan memberikan umpan balik yang lebih baik.

“Sekre lo mana?” tanya Anton. Tangannya asik menggulir layar, mencari-cari makanan yang menggugah selera.

“Di rumahnya.”

“Gak lo bawa?”

“Untuk apa?”

Anton mengangkat bahu, sok tahu berkedok bertanya. “Oh, tadi mobil lo ditabrak orang sinting di gang.”

“Bawa ke Ketok Magic aja.”

“Kirain lo gak ngerti gituan.” Anton tertawa mengejek. Dia geleng-geleng, seharusnya orang kaya sejati tidak tahu hal-hal lumrah di masyarakat menengah ke bawah. Atau Ketok Magic saja yang sudah naik takhta? Wah, mengesankan.

Beberapa makanan sudah Anton pesan. Dia meletakkan benda pipih berukuran besar itu di meja. Berdehem, mempersiapkan diri untuk menguras otak.

“Jadi gimana? Maksud rencana lo bawa ke sini itu gimana?”

“Kecurigaan terbesar gue ada di keluarga gue sendiri. Jadi gue gak perlu ngorbanin orang lain.”

“Wah, keluarga killer sampai lo butuh orang kayak gue.”

“Dari pemerasan harta sampai akhir-akhir ini mulai ke ranah fisik. Gue gak pernah mempermasalahkan permintaan mereka selama baik-baik walau sebagai manusia gue pusing sendiri. Gue cuma butuh mereka sadar, nyokap gue selamat.”

Anton mengernyit tipis. “Bukannya nyokap lo sudah gak ada?”

Dicky terdiam, kemudian mendengkus geli. “Tahu dari mana? Gue anaknya aja gak pernah dengar kabar itu. Nyokap masih perawatan di rumah sakit.”

Anton terdiam cukup lama. Antara dia menerima informasi yang salah dari Selnan, atau Dicky yang bermasalah karena frustrasi dengan keadaan.

“Bukannya Zarsha sudah kasih lo kabar?”

“Zarsha?” Dicky balik bertanya.

“Iya. Waktu lo tanding bareng Johan, Zarsha teriak di tengah-tengah pertandingan. Kebetulan waktu itu gue juga ada di sana. Lo gak ingat?”

⚪ D i c k n o ⚪

Terima kasih sudah membaca❤️

Dicky ZeknoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang