Haii! Apa kabar?
Ada yg kangen aku gak?🌝
Selamat membaca!
⚪ D i c k n o ⚪
Prang!
Dicky menghela napas, bersandar dengan tumpuan tangan kanan di atas meja. Sekilas menatap pecahan beling di bawah. Penglihatannya berbayang tanpa kacamata, bahkan untuk sekadar meletakkan gelas saja Dicky tidak becus melakukannya.
Pria itu menarik napas, mengusap wajahnya. Lantas kembali melangkah membiarkan pecahan itu selayaknya dia membiarkan perasaan dan dirinya pecah berkeping sejak dulu.
Dicky membaringkan tubuhnya di sofa. Menutupi silau cahaya dengan lengan kanan. Begitu banyak informasi yang kepalanya terima. Dari berbagai arah, dari yang entah bagaimana harus Dicky organisasikan.
Tubuhnya perlu istirahat. Kepalanya dan seluruh informasi di sana perlu berbenah. Perlu waktu untuk menemukan tempat yang seharusnya agar Dicky tidak merasa kewalahan.
Malam ini Dicky tidak berencana untuk tidur di atas kasur yang tak dimiliki semua orang. Di bawah pengawasan Qiuna, Dicky memang sempat pulang ke apartemen. Namun, setelah itu dia kembali lagi ke kantor untuk memastikan ruangannya sendiri. Detik ini mereka terasa asing.
“...punya Rachel. Saat datang kemari, dia sempat membelinya. Saya juga gak tahu untuk apa.”
Tiba-tiba lewat begitu saja, kepala Dicky semakin pening.
“Rachel ....”
Dicky membuang napas. Rasanya mau gila jika dia terus-terusan mengurusi percintaannya. Walau Karlo berpesan untuk segera menikah mengingat umurnya yang akan terus bertambah, Dicky rasa sekarang memanglah bukan saatnya saja.
Dicky bisa menikah kapan saja. Toh, ibunya belum meminta dan belum memungkinkan untuk memberinya restu.
“Tidak ada karyawan yang mencurigakan.”
Syukurlah. Dicky menghela napas. Dia selalu berharap perusahaannya dalam keadaan aman. Satu saja personal yang membuat masalah, itu akan meremukkan salah satu tiang. Retakan akan terus merambat seiring berjalannya waktu, lantas akan menghancurkan segalanya.
“Oh ya. Dulu ... Bu Rina punya rival. Setelah permasalahan persaingan terakhir, pesaing memilih mengalah dan mengubah produk.”
“Siapa?”
“Dari perusahaan ini.”
Dicky mengernyit, meraih berkas di meja. Membacanya sekilas, menemukan satu nama yang tidak asing di ingatan. Perusahaan besar ini ... dulu adalah pesaing perusahaan ibunya?
“Yang saya tahu, ada fitnah yang membuat keduanya bermasalah. Namun, Bu Rina sudah menyelesaikannya dengan baik. Sebelum beliau nyaris menyerah dan akhirnya jatuh sakit.”
“Ada informasi tambahan?”
Tok tok tok
Dicky tersentak, keluar dari rangkaian ingatan yang mulai pulih perlahan. Pria itu menatap pintu ruangannya sekilas, menatap jam dinding di atasnya.
“Masuk.”
Pukul sebelas malam.
Suara gagang pintu dibuka terdengar. Seiring pria itu berjalan masuk menghampirinya, Dicky pun beranjak untuk duduk dengan benar. Memperhatikan tamunya, meneliti sorot matanya yang tampak sedikit bingung melihat pecahan gelas.
“Ini.”
Anton menghela napas, mengabaikan gelas yang mendistraksinya. Mengulurkan sebuah buku saku miliknya, lantas duduk dan menikmati empuknya sofa orang kaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dicky Zekno
Fanfiction| Ricky UN1TY | "Hiduplah untuk seseorang yang saya cintai sebagai syarat." -- "Seharusnya gak pernah ada kita ... kalau ujung-ujungnya cuman banding-bandingin luka." -- "Bukan kewajiban semua orang untuk maklum sama lo cuma karena luka di hati lo!"...