"Raden, Ibu Suri sedang menuju ke Istana Sareh menyusul rilisnya berita bahwa Sang Permaisuri telah siuman." Kata Gumiwang pada tuannya yang berada di ruang belajar.
Seorang pemuda gagah dengan mahkota di kepalanya itu membalik buku sambil tersenyum tipis, "lepaskan."
Gumiwang mengerutkan alis, dia sedang berjaga menggantikan Durmadi yang menerima hukuman sejak semalam dan belum kembali hingga tengah hari ini. Sejujurnya dia ingin bertanya lebih banyak, mengapa raja muda di depannya tidak pergi ke Istana Sareh saja untuk meredam isu buruk menyebar? Tetapi itu terasa tidak pantas sehingga dia lebih menuruti dan kembali ke sudut ruangan. Gumiwang baru kembali membereskan masalah di luar istana terkait penyergapan tempo hari sehingga banyak tertinggal berita, termasuk bagaimana Durmadi bisa dikirim ke Paviliun Dingin untuk menerima tongkat. Sisi pikirannya menduga bahwa lelaki itu masih belum belajar, sehingga terlalu comel dan membuat marah tuan. Gumiwang tentu tidak ingin mengikuti metode Durmadi jika tidak mau reputasi bersihnya sebagai utusan mahkota tercederai. Abaikan saja!
Tak berbeda jauh dari Gumiwang yang kembali ke sudut dengan banyak pertanyaan di kepala, Raja Sanu juga diam-diam tenggelam ke dalam memorinya tadi malam ketika datang ke Puri Bulan secara sembunyi-sembunyi membawa orang-orangnya bersama Durmadi.
Saat itu Sanu ingat siluet lembut tidak bergerak di pembaringan. Wajahnya pucat dan lemah, kebaya berdarah yang dia lihat di tempat kejadian sudah berubah menjadi gaun tidur berwarna putih. Pelayan kiriman Ibunda pasti yang membantunya. Mengingat Ibu Suri membuat tangannya mengepal kuat, darah di bawah kasa putih hasil pengobatan oleh Prameswari yang dia datangi tadi mengalir lebih kencang, membuat semua sia-sia. Setelah ini, Sanu harus kembali ke sana lagi. Karena hanya Prameswari satu-satunya orang yang bisa dia percayai selama ini.
Di tempat lain, Ratri membuka mata--menatap ke sekeliling ruang. Tampak asing dari pencahayaan sebelumnya. Tidak lebih hangat tidak juga menjadi terlalu dingin seperti kemarin, biasa saja.
Mungkinkah dia berpindah?
Sebagaimana kamar tidur yang didesain sesuai model joglo yang kokoh hasil warisan leluhur, nuansa seni dan kesederhanaan berpadu menjadi satu. Dibanding tempat sebelumnya, kamar ini jauh lebih luas, mungkin sebelas tiga kali lipat luas pekarangan pribadinya di Rindusiwi. Hanya saja dekorasi mayor digubah kepada warna hitam, bukan cokelat sebagai warna dasar kayu jati yang tersohor hingga ke dunia timur sana.
Tempat tidurnya adalah amben (ranjang dalam bahasa jawa) tua berkelambu putih mengitari empat saka atau tiang tempat tidur yang di atasnya bertutup anyaman bambu untuk menghalau kotoran atap jatuh ke tubuh yang tengah beristirahat di bawahnya. Ratri cukup terkesan, tubuh itu masih lemah untuk bergerak sehingga dia masih bertahan walaupun matanya terbuka sempurna.
Gusti Paring Rahayu Slamet, (Tuhan memberi berkah keselamatan), benak berkata. Keheningan ini, syukurlah dia masih selamat.
Gadis itu memandang ke atas, merasakan atmosfer ganjil yang berhasil membawa nalurinya mengembara. Berputar dalam lagu bahagia, berlari, menari, semakin tertawa, kemudian terhimpit, ditekan, hilang, terhempas hampa dengan air mata. Menetes, menyesap, meretas, di sudut lengkung diafragma. Bercucuran tanpa gejolak, terus saja mengalir tanpa sebab.
Ratri sekali lagi hanya merasa--hampa.
Nuansa ini menjadi ganjil yang bukan hanya datang karena Ratri tidak jua bangkit meski Bathara Surya telah berulang kali naik-turun tahta di cakrawala, sebagaimana biasanya dia beraktivitas bersama Simbok, tetapi karena siluet seorang pria yang masih setia menyandarkan punggungnya di salah satu kursi terdekat. Itu adalah pemuda yang jatuh ke kereta!
Sama sekali tidak menunjukkan tanda hendak beranjak. Tidak dengan tubuh, pun sorot matanya yang masih gemar curi tatap menatapi seberkas wajah dari bayangan kelambu. Tiba-tiba cubitan datang ke dada Sanu, membuat getar seolah bisa meremukkan jalinan tulang rusuk--oh, dan bukankah seseorang di sana juga rusuknya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden
Historical FictionDia adalah keturunan biru yang membaur dengan rakyat jelata. Wajah menawan, otak cemerlang, jiwa yang kuat, dan rendah hati siapa pria yang mampu menolaknya! Tutur kata begitu lembut namun tegas dan garang memimpin pasukan. Sungguh Jagad Dewa teng...