Raden #8

847 105 2
                                    

Suasana Dusun Sundul kian tak menentu. Puluhan mayat berserakan di sana-sini akibat wabah yang menggempur perkampungan itu. Seseorang dengan pakaian putih menginstruksikan bawahannya untuk mengurus perkuburan mayat-mayat itu.

"Raden, penduduk yang selamat berhasil kami ungsikan ke perbukitan sebelah"

Ksatria muda itu mengangguk, "Aku mengerti. Pastikan mereka sehat dan tidak kurang suatu apa pun hingga wabah ini berakhir."

Semua pasukan putih berlutut mengikuti perintah ketua.

Di sisi lain Ratri tengah menyelundupkan diri melewati pengawal istana yang berjaga dengan ketat di perbatasan menuju Desa Sundul. Setelah melalukan perjalanan sehari-semalam tentu akan sangat berdosa bila ia tak mengakui letih yang mendera. Ia masih Ratri yang dulu, sebelum maupun sesudah menikah. hanya saja status yang berubah! Selebihnya ia masih tetap Raden Ajeng Kusuma Ratri! Yang pantang menyerah dan berdiri kokoh menopang tubuhnya!

Tak ada yang ia harapkan dari orang lain, baik dari keluarganya maupun suaminya yang kerap menikah lagi. Ratri bahkan tidak yakin apakah ia istri kesembilan atau dua puluh! Itu benar-benar tak mengubah dirinya, hanya satu syukur yang ia ucapkan ketika ia tahu bahwa laki-laki yang menikahinya melakukan pernikahan dengan cara islam, agama yang diyakini gadis itu.

"Siapa Anda, Tuan?"

Ratri menurunkan beban di pundaknya,

"Saya buruh panggul, Ki Sanak. Ini adalah jahe. Saya hanya ingin membantu warga di sini"

Ia bersyukur penyamarannya tidak terbongkar,

"Tolong jangan menaruh curiga! Saya membawa hasil panen dari daerah asal saya. Ki Sanak bisa melihat saya meraciknya"

Semua orang menatap aneh gadis itu bahkan Sang Ketua dari ketinggian sekalipun! Pemuda ini kaget melihatnya, salah satu pasukan memeriksa kedok buruh aneh ini, tetapi secara acak ketua tim putih dari kejauhan menyetujui tanpa syarat sehingga mereka mengarahkannya pada rumah penampungan korban wabah.

Ratri mengikuti, kemudian mengeratkan kain yang menutupi wajah.

Ia memeriksa denyut nadi warga di hadapan, matanya menatap bercak merah yang menempel pada tubuh korban. Ia juga dapat merasakan suhu tubuhnya yang sangat panas.

Tidak salah lagi! Beberapa minggu yang lalu ia pernah mendapati kejadian yang sama di klinik kecil Mantri Parman.

Kala itu seorang anak kecil menjadi korban. Kulitnya dipenuhi bercak merah, tubuhnya panas tinggi, hingga menelan satu keluarga Si Bocah . Kasus ini sempat menghebohkan kerajaan, karena penasaran Ratri turun tangan memeriksa.

Dapat ia saksikan Parman dengan telaten mengamati anak kecil itu hingga sebulan lamanya! Kemudian dia teringat

"Ki Sanak, adakah pohon mengkudu di daerah ini?"

"Kami mendapati beberapa di atas bukit"

Ratri mengangguk. Sementara mereka mengambil, hal yang harus dilakukan adalah menurunkan panas.

Ia meraih daun cabai di sekitar pondok, dihaluskan daun itu untuk ditempelkan di kepala bagian depan, setelahnya bangkit menuju dapur dan mencuci bersih jahe yang dibawa.

Dengan dibantu pasukan putih yang ada ia menghaluskan jahe untuk kemudian diseduh. Sama seperti yang dilakukan Parman. Ia menyelimuti tubuh-tubuh lara itu dengan kain yang ada, kemudian meminumkan seduhan jahe secara berkala

Ratri begitu telaten merawat puluhan korban yang tersisa

Tanpa disadari, sepasang mata tengah mengamatinya dari kejauhan. Menyeringai, mata itu memberikan perhatian di sana

"Kejang! Ada yang kejang!"

Ratri bergegas menghampiri bangsal paling akhir. Dengan tenang ia membuka selimut dan membaluri tubuh pasien dengan bedak dingin dari beras. Tumbukan daun cabai yang mengering telah diganti baru,

"Pak? Bapak bisa mendengar saya? Ayo sadar, Pak! Lawan penyakit ini!"

Ia membimbing Sang Pasien menuju kesadaran. Bedak yang kering ia seka dan ganti berulang, lima menit berselang demam turun, kejang hilang. Ia mengarahkan pria itu meminum rebusan tumbukan mengkudu, mengompres keningnya teratur, dan mengajaknya sesekali bicara.

Tingkah gadis itu terus diamati sepasang mata yang menjadi pemimpin pasukan putih

Ratri tak merasa hanya konsentrasinya terfokus pada korban yang makin berjatuhan, sementara waktu tak banyak.

Ia ingat Parman mengoleskan jagung muda dan kacang hijau di tubuh bocah itu. Dua bahan tersebut sudah barang tentu melimpah di istana, tapi untuk kembali sungguh membuang waktu! Ia tak boleh terdahului ayahnya! Ah iya! Ratri sempat melihat pasukan kerajaan bergotong royong membereskan kekacauan dusun ini, hatinya sedikit lega melihat Ayahandanya memiliki kepedulian.

"Saudara, adakah lagi yang bisa kami bantu? Panas warga sudah mulai berkurang"

Ratri melihat tabib istana di sampingnya,

"Ah! Sepertinya kita membutuhkan jagung muda dan kacang hijau untuk dibalurkan pada kulit mereka"

Tabib istana menjawab, "Saudara, kami melihat persediaan istana kami dan membawanya segera. Raja mengirimnya di lumbung ini semalam"

Mata gadis itu melebar, "Benarkah? Ah! Tolong tumbuk mereka masing-masing dan jadikanlah seperti bubur! Mari kita oleskan ke kulit mereka"

"Baik!"

Ratri tersenyum senang. Setelah dua malam berlalu panas warga menurun, beberapa pasien yang mengalami gejala dinyatakan sembuh dan korban semakin berkurang. Ini benar-benar di luar perkiraan. Ke depan ketika ia bertemu Parmin yang tengah berguru ke negeri timur, ia akan memamerkan hasil belajar mereka itu.

"Saudara, kami telah menjalankan arahan Anda. Selanjutnya apa lagi?" Seorang ketua kesehatan kerajaan berjalan mendekat

"Saya rasa sudah cukup, Tuan. Ketika jangung dan kacang hijau selesai itu bisa dibalurkan secara rutin. Mengkudu harus terus diminumkan untuk menyembuhkan gatal di kulit, ah! Jahe juga, jangan lupa memberikan teh jahe kepada warga yang tidak terdampak, selimut juga jangan dilupakan. Saya harap wabah akan segera berakhir"

Utusan itu mengangguk, "Saudara, kami sudah bekerja keras tetapi belum mengetahui apa penyebab dan nama penyakit ini, dan—dan bagaimana Anda tahu?"

"Saya mengetahuinya dari teman. Kami sempat mendiskusikan ini, karena sempat terjadi di daerah asal kami. Namanya cacar dan sangat menular. Dia adalah tabib hebat tetapi hampir kewalahan karena hanya satu anak selamat sementara orang tua dan tiga saudaranya meninggal."

Pria itu mengangguk, diam-diam ia mengagumi Ratri dengan setelan kumuh namun cerdas

"Tuan, saya lihat persediaan di lumbung sangat tinggi. Dari mana mereka berasal?"

"Ah! Itu kerajaan kami atas perintah Raja, juga bantuan dari Raden Syarif"

Raden Syarif

Raden Syarif

Raden Syarif

Ternyata pria itu lagi!

Dunia memang sempit. Ratri menyunggingkan senyum mirisnya. Menikmati lara barang secuil.



*
Upload-tidak-upload-tidak?

Dan akhirny up!

RadenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang