Sugeng Dalu, Para Pamiarsaa~
Selamat datang Pembaca Baruu.
Untuk yang masih stay jugaa, terimakasih. Yuk sebelum baca coba ingat² dulu terakhir bacaannya dah sampe mana?
Hehe,
Selamat membaca yaa 🌻💃
***
Di Rindusiwi, itu adalah tahun ke-54 pada Wangsa Rajasa. Saat ini memasuki bulan Ruwah dimana panas sedang terik-teriknya. Debu berterbangan menghampiri bilik militer, sekadar singgah ke sudut ruangan atau menyapa tiap-tiap mata yang terbuka di tengah peristirahatan menuju malam.Daun Bulung yang disulap menjadi welit terlihat berkilau tersentuh senja meski warnanya kini cokelat kehitaman ditempa hujan dan panas menahun. Raden menengadahkan diri ke atas menyadari sebagian dari atap itu berlubang, andai hujan pasti bocor. Biarkan Djiman naik untuk mengganti dengan welit yang kemarin dianyam tentara belakang. Lama di perbatasan dengan segala kekurangan memaksa siapa saja untuk bertahan dengan kekuatan nalar, meski keterampilan pria tidak pernah selembut wanita dalam menganyam tetapi atap di seluruh barak ini memang dicipta oleh tangan-tangan kasar kaum tentara.
Memanen daun bulung (pohon sagu) di dekat lembah, mereka bersemangat merangkai helai demi helai untuk menutupi langit tempat berlindung. Menggunakan belahan bambu selebar tiga senti dengan panjang dua setengah meter, daun-daun itu dijahit menggunakan benang dari serat bambu lainnya sebelum dinaikkan ke langit.
Prihatin adalah prihatin. Dasar politik di dalam kerajaan memang berbeda dengan perbatasan. Mereka keras dan nelangsa, berbanding terbalik dengan pejabat ibukota yang kaya bersulam emas. Sebagai satu-satunya putri kerajaan, Ratri harus tinggal dalam keterbatasan. Sebuah rahasia kecil yang tersemat dalam napas bahwa dia satu-satunya wanita yang bebas berkeliaran melintasi barak hingga ikut mengangkat senjata perang. Tanpa diketahui orang. Satu orang pun kecuali Sang Kresna tentu saja.
"Sudah cukup membaik?" Tanya Pandji mendekati bungsu, "ulurkan kakimu, Raka akan mulai menjahitnya."
"Apakah tidak ada tabib?"
"Anda bercanda? Tabib ketentaraan semuanya pria. Jadi yang memungkinkan melihat betismu adalah Pangeran Ini. Sebagai raka kandungmu. Lagipula apakah Anda kuat menghadapi pengobatan barak?"
Memang benar, Ratri telah bersumpah kepada Maharaja agar menutupi identitas, "Raka terlalu cerewet." Katanya mengangsurkan diri. Ia jatuh dari tebing ketika bersembunyi dari Pasukan Putih.
"Kenapa berwajah masam? Yakinlah luka ini tidak akan berbekas."
Berbekas pun bagi Ratri tidak masalah. Daging tetap daging, ditambah itu miliknya sendiri.
Kakak beradik itu bertukar kata untuk membunuh sunyi.
Dahulu, ketika negara pertama berdiri, Pendeta Kuil Kerajaan pernah meramalkan posisi kuat Maharaja dengan tiga anak bertalenta langit. Sulung Raden Danu dengan berkat politik bertugas mengawasi pemerintahan dari dalam, putra kedua Raden Pandji adalah penjelajah yang berkharisma. Busur panah miliknya terbentang dari timur ke barat sehingga setiap manusia merasa gemetar pada auranya. Ia bebas mengembara atas izin Sang Ayah, berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa bisa dilacak selama tahun-tahun sesuai kehendak hati. Konon tersebutlah ia sebagai titisan Kresna berkat keahliannya membaca takdir. Diberkati dengan dua putra surga, kejayaan Maharaja diprediksi makin memuncak di bawah kaki putra ketiga.
Adalah kehamilan terakhir permaisuri sebagai tanda berakhirnya keturunan Maharaja sebagaimana ramalan. Itu akhir malam tetapi cukup jauh dari fajar ketika tangisan bayi terdengar. Istana menyambut kabar gembira, putra andalan Maharaja telah lahir. Meski persalinan berjalan sangat lama dan sulit bagi Permaisuri, namun seluruh penjuru istana telah bersiap sepanjang tahun, sehingga waspada dan tetap gembira. Kemudian saat tangisan bayi merah mengudara, sebuah kepala terpisah dari tubuhnya. Penyergapan! Pembunuhan di ruang bersalin menjadi sejarah buruk, bagaimanapun ini ruang pribadi bagi wanita Raja yang tak lain adalah Ibu Negara. Seorang pelayan pribadi Permaisuri menjadi korban demi melindungi tuannya. Maka murka lah Maharaja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden
Historical FictionDia adalah keturunan biru yang membaur dengan rakyat jelata. Wajah menawan, otak cemerlang, jiwa yang kuat, dan rendah hati siapa pria yang mampu menolaknya! Tutur kata begitu lembut namun tegas dan garang memimpin pasukan. Sungguh Jagad Dewa teng...