Raden #12

858 108 4
                                    

Djiman mengantarkan Mantri Kerajaan ke luar dari paviliun selatan. Mantri itu datang atas pesanan Selir Pertama setelah mendengar Ratri mengalami penurunan kesehatan tiga hari terakhir.

Di lain tempat Sarti tengah menyiapkan teh untuk Ratri yang kini menjadi lebih bugar. Meski ia harus melayani dengan tangan sendiri karena banyak pelayan dipindahkan ke Paviliun milik Selir Narmi, dia tidak mengambil lelah. Tubuh tua nya justru menjadi bersemangat ketika Ratri mulai menebarkan senyum kepada tanaman jahe di sekitar paviliun

"Diajeng, setelah jahe Anda terpanen bagaimana jika kami menanam bunga? Simbok mendengar tanaman melati cocok untuk dijadikan pajangan karena keindahan warna, semerbak harumnya, juga kualitas teh yang dihasilkan."

Ratri meletakkan cangkirnya, "begitukah? Saya justru berencana menanam cengkeh dan beberapa palawija yang cepat tumbuh agar bisa dinikmati banyak orang."

Sarti tersenyum, "Simbok lelah jika harus terus memuji kemuliaan Anda, Diajeng. Tapi mendengar kebijaksanaan Anda setiap hari membuat Simbok yakin bahwa Anda adalah perpaduan antara titisan Dewi Sri dan Dewi Wara Srikandi."

Ratri tersenyum kepada tanaman jahenya, "Sayang, baik Dewi Sri maupun Srikandi lebih memilih mati atau sendiri dibandingkan memiliki madu,"

Ukhuk ukhuk

Ukhuk

"Raden, tolong berhati-hati."

Gumiwang menatap khawatir kepada junjungannya, "apakah perlu bawahan ini memanggil tabib istana?"

"Hentikan sikap borosmu, Jendral. Aku tidak seperti pangeran lima tahun."

"Harap ampunan, Raden."

Raden Sanu membiarkan pelayan mengangsurkan cawan dan serbet padanya

"Sampai di mana tadi?"

"Raden," Durmadi menginterupsi Sanu yang tengah sibuk dengan strategi perangnya, "Selir Liandri meminta audensi,"

"Minta dia menunggu sementara saya menyelesaikan obrolan ini."

Pemimpin pelayan itu membungkuk

Sanu kembali kepada kesibukannya bersama Jendral Gumiwang. Baru terjadi beberapa saat sebelum Durmadi kembali masuk,

"Raden, Selir Binaru meminta audensi,"

"Biarkan dia menunggu bersama yang lain."

Durmadi berdiri lagi,

"Satu lagi, Durmadi. Jangan menginterupsi saya ke depannya."

"Nuwun kasembadanipun, Raden. Abdi ini bersalah,"

Atau kemudian, "Raden, selir Pucarya memohon audensi,"

"Raden, Selir Windari meminta audensi,"

"Raden, Selir Gatrini meminta audensi,"

"Raden,.. ."

"Raden, .. "

"Raden, . ."

Hingga berlama-lama kemudian Durmadi terus menerus melaporkan kehadiran selir istana

"Cukup, Durmadi." Rahangnya sedikit mengencang kali ini

"Saya sedang sibuk dan tidak bisa diganggu. Pergi suruh semua orang pergi!"

Durmadi berlutut takut, "Raden?"

"Berani masuk dan membantah, pergi ke aula penghukuman!"

"Sendika dhawuh, Raden." Durmadi bergetar dan memucat seketika. Siapa yang tidak tahu hukuman kerajaan Sancang adalah hukum terkuat di tanah jawa?

"Pergi," Sanu merendahkan suaranya

"Anda juga, Jendral. Laporkan perkembangan informasi yang saya minta"

"Baik, Raden."

Sanu meminum tehnya perlahan untuk mencerna sisa-sisa amarah yang ada. Wajahnya memerah, nafasnya cepat dan tidak tertahankan,

"Berikan teh lagi!" Sehingga seluruh pelayan berduyun masuk dengan nampan di tangannya

"R-Raden?"

"Apa kali ini, Durmadi?! Anda benar menguji tuan Anda sekarang?!"

"N-nuwun sembah nyuwun, Gusti." Katanya berlutut menjauh

Gulungan lontar dengan cetak biru permukaan bumi mengambil alih konsentrasinya sekali lagi. Dengan dahi berkerut disertai tatapan tajam miliknya tidak ada yang berani bergerak dari tempat kecuali tetesan keringat belaka.

Perang adalah bidang keahliannya sehingga dalam masalah ini dia akan dengan detil meletakkan fokus hingga terlupa kepada waktu untuk beristirahat.

Sanu kembali meneguk tehnya, konsentrasi membutuhkan nutrisi. Tidak seperti kesempatan sebelumnya, teh ini terasa berbeda

"Apa yang dapur masukkan kepada teh saya?"

Pelayan di sekitar menunduk bingung, hendak menjawab tetapi takut salah berijab

"Durmadi!"

Lelaki itu masuk dengan tergesa, "inggih, dalem, Raden."

"Beritahu apa yang dimasukkan dapur ke teh ini"

"Tidak mungkin ini racun, Raden." Durmadi semakin menggigil, "panggil Kepala Dapur ke depan Raden!"

Tak berselang lama, seorang laki-laki berjanggut datang diiringi pengawal di kanan dan kiri

Sambil berlutut dia berujar, "kawelasan ing ngarsanipun Raden!"

Durmadi mengambil posisi, "katakan apa yang dapur Anda masukkan ke dalam teh milik Raden!"

Kepala Koki itu menggoyangkan biji matanya, mencoba mencari jawaban tepat agar kepalanya tidak sampai digantung di gerbang kota

"Raden, apakah ada yang terjadi? Dapur kami tidak memiliki sesuatu di luar kebiasaan di dalam teh Anda."

"Omong kosong! Raden telah mengeluhkan tehnya hari ini. Panggil tabib untuk memeriksa Raden dan seret kriminal ini ke Aula Penghukuman untuk dicambuk sampai mati!" Durmadi bertindak tegas, dia yidak bisa membahayakan keselamatan tuan yang dikasihinya sepenuh hati

"G-Gusti?! Raden, tolong ampuni saya, saya tidak melakukan kejahatan terhadap teh Anda!"

Sanu yang sedari tadi diam menyaksikan mulai bereaksi, "berhenti. Anda berlebihan, Durmadi! Adakah saya berbicara racun tadi?!" Katanya dengan intonasi tegas

"Kepala Koki, katakan kepada saya apakah anda mengganti gula yang biasa? Atau adakah sesuatu berbeda?"

"Ampun, Gusti. Abdi ini tidak berani, gula yang dipergunakan merupakan gula batu komoditas pilihan dari Desa Gendis yang terbaik di Kerajaan Sancang, air yang digunakan sudah dijernihkan selama satu hari agar menjadi titik embun, tidak ada sesuatu berbeda," Kepala Koki tercekat, "Kecuali.. . ."

Ruangan menjadi sunyi mencekam

"Teh yang kami gunakan merupakan jenis teh baru dari bunga melati yang Ibu Suri kirimkan secara khusus untuk Anda."

"Ibu Suri?"

"Benar, Raden."

Sanu mengernyit, "selidiki darimana Ibu Suri mendapatksn teh jenis ini."

"Nuwun sewu, Raden. Teh melati ini merupakan kiriman dari Raden Ajeng Ratri Yang Mulia."



































RadenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang