Raden #14

822 106 5
                                    

Halo,

Sugeng rawuh, Pendatang Baru. Selamat datang di karangan ini.
Juga untuk Pembaca yang menemani Ratri dari awal chapter, terimakasih telah setia menanti.

Aku ga nyangka sudah setahun memarkir Ratri di sini, buat yang bertanya-tanya kenapa mangkrak, well, aku harus ngaku kalau aku sempat ga pede buat lanjutin setelah baca ulang dari awal 😅. Demi apa itu menggelikan menurutku jadi berasa pen cabut untuk disetel ulang. Anw, aku mau terimakasih buat teman-teman yang bersedia vote dan comment, pun dengan yang udah dm, aduh aku terkesan banget sih. Jangan sungkan untuk komen karena aku selalu baca dan usahakan untuk membalas kok. Jangan heran juga kalau aku aktif balas tapi ga lanjut-lanjut hhew. Aku sedang berusaha produktif dan jadi penulis logis nih ceritanya jadi memang bolak-balik masuk ke dunia oranye ini, hehe. Jujur, Si Ratri sebenarnya udah re-stock buat di-publish tapi aku belum ke
temu pede untuk mengunggah. Hawanya kepengin ngubah aja!

Okelah, too much information, have enjoy!


***


Alas Pepaten, Mangsa Ketelon, Wulan Sura

Lolongan serigala menggema di seluruh ruang pendengaran Ratri. Diam-diam, tangannya menyeka jejak keringat di pelipis.

Kemudian terdengar lagi lolongan semakin panjang mengantarkan birai kering itu tersenyum miris. Ratri menunduk. Lubuk hatinya bergetar membayangkan sekawanan serigala menikmati hidangan lezat nan berlimpah

Tenaganya tersisa habis mengingat kekacauan yang menyebabkan darah menganak-sungai limaratus mil dari tempatnya berdiri kini

Sudah sebulan, tetapi Ratri hanya punya harapan antara hidup dan mati. Membunuh, atau dibunuh. Ratusan ribu pasukannya tidak tersisa! Dia hanya bergantung pada dirinya sendiri

Srat!

Lihatlah! Dia bahkan tidak boleh lengah sedikitpun,

"Apa yang Anda lakukan, Raden?"

Ratri mengelap sudut bibirnya yang mengelupas mengeluarkan cairan kental berwarna pekat.

Netranya membidik semakin tajam, mendapati pria di hadapannya mulai mengoyak baju zirahnya

"Tidak ada pilihan lain." Katanya. "Di pertempuran ini, harus ada yang kalah, bukan begitu, Diajeng?"

Dua tangannya bersiap menggenggam pedang di kanan dan belati tajam di sisi kiri. Meski bersikap tenang, tetapi waspada terhadap gerakan sekecil apa pun sudah menjadi tindakan lumrah seorang prajurit. Terlebih hanya tersisa Ratri dan pria dari Sancang ini.

Ratri menggenggam pedangnya semakin kuat saat armor itu compang dan memperlihatkan sebagian tubuh Sang Lawan

"Saya akan mendapatkan hal bagus jika Anda bersedia menjadi permaisuri kami, tetapi saya tahu Anda akan membuat itu menjadi rumit. Berterimakasihlah karena dengan ini, kita tidak perlu saling membunuh lagi!"

***

"Diajeng?!"

"Diajeng, Sadarlah," Sarti berlutut memegang lengan junjungannya.

Tangan itu bergetar, Sarti paham. Keringat di telapak tangan, disertai hawa dingin yang nyaris membuat Sarti menangis ketakutan.

Setelah sekian lama,

Mimpi buruk itu kembali lagi.

Ini tahun ketiga Sura, pantas jika Ratri harus menderita di malam-malam begini. Ah, padahal demam masih enggan meninggalkan Ratri sejak seminggu berlalu.

RadenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang